9. Aku Adalah Primadona Kampus

1844 Words
Zaka's PoV "Pak Zaka tahu?" Aku menarik napas dalam-dalam. Dari lubuk hatiku terdalam, rasa syukur senantiasa tercurahkan kepada penciptaku dalam setiap aliran darahku. Yang kukatakan adalah, "Aku sangat lega karena secara tiba-tiba niatmu terurungkan." Dalam menghadapi tudinganku, Zara berusaha untuk berkilah. Jerih payahnya sungguh menakjubkan, dengan pertama-tama harus menghilangkan noda-noda sendu di wajahnya hingga memasuki waktunya untuk menuturkan, "Ah, Bapak hanya salah paham. Di sana, maksudku hanya sekadar untuk bersantai selagi menunggu kelas berikutnya." Dari hasil tangkapan lensa mataku, kedua netra istriku terlihat berkaca-kaca. Akan percuma kalau melakukan pembelaan sekarang. Jejak basah di setiap helaian bulu mata istriku terlalu sukar untuk disembunyikan. Jadi, bagaimana mungkin .... aku bisa ingkar sementara bukti-bukti di hadapanku sangatlah spesifik? Demi menjaga perasaan istriku, aku merelakan diriku untuk dicundangi. Meski dalam tafsiran sesungguhnya, mengalah tidak selalu berarti kalah. "Baiklah, semoga aku benar-benar hanya salah paham," ucapku, dimana di dalam kata-kataku, kubiarkan tersemat satu doa dariku. Entah mengapa, aku merasa terganggu akan sesuatu. Di sini, aku dan istriku masih teramat berjarak, hendak kukikis meski hanya dengan metode sederhana dan bersifat seperti tabungan, sedikit-sedikit lama-lama akan berbukit. Aku menjatuhkan tatapan lembut ke kedua kornea mata istriku dan menuturkan, "Zara, bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan Bapak?" Aku bermaksud untuk memperjelas hubungan, status di antara kami. Kata orang-orang, cinta bisa datang karena terbiasa. "Di rumah, aku adalah suamimu, bukan dosenmu," kataku, sebagai strategiku untuk membiasakan. Zara tersenyum ambigu—menurutku malah terlihat konyol—apalagi kalau bukan untuk menggodaku. "Sayang? Cintaku? Honey?" Dia menawarkan tiga panggilan kepadaku, entah bagaimana, semuanya terdengar menggelikan di kedua telingaku. Aku tahu benar. Jika dilontarkan dari bibir wanita lain, maka kemungkinan besar tidak akan seabsurd seperti kalau diucapkan istriku. "Duh, ternyata tidak mudah." Zara mulai bertindak rasional, jari telunjuk dari tangan tangannya digunakan untuk mengetuk-ngetuk dagunya, sebagai media bantu dalam berpikir. "Mn ... bagaimana kalau Kak Zaka?" tawarnya kemudian. Berkat sentuhan kewajaran dalam nada bicara istriku, hingga membuat berhenti dibelit kejijikan terhadap ketiga panggilan menggelikan sebelumnya. "Aku bisa menerima, asalkan kau merasa nyaman," balasku. "Baiklah. Itu saja," sahut istriku, sudah merupakan keputusan final. Tiba-tiba, kami berdua saling membisu, hingga bunyi-bunyi aneh sampai menjadi raja di ruangan. Tunggu, suara cecapan dari mana barusan? Ada ketidakberesan di sini. Apakah aku kelupaan sesuatu? Oh, astaga. Aku dan istriku sudah mengabaikan televisi di depan sana. "Mm, aku sudah mengantuk," ucap Zara secara tiba-tiba, "selamat tidur." Aku yakin benar. Dia sudah sempat melirik ke arah layar televisi. Itulah sebabnya, sehingga dirinya langsung berbaring membelakangiku dan bergegas membungkus tubuhnya dengan menggunakan selimut sampai sebatas lehernya. "Zara, Zara, aku tidak bisa dibohongi." "Tapi, selama bisa membuatmu merasa tenang, aku rela mengalah untukmu." Larut malam, nyala televisi segera kupadamkan, sudah waktunya untuk terlelap. Siapa tahu, aku akan mimpi indah. Di alam bawah sadarku nanti, setiap menyelam ke dalam cerita, barangkali aku akan ditemani seseorang, tidak seperti hari-hari lalu. *** Author's PoV Pada suatu sore, ketika Janna dibuat pusing dengan urusan dapur dalam rangka mempersiapkan makan malam, Zara hanya duduk di ruang makan seraya menikmati salad buah, tetapi beberapa waktu disempatkan mengamati adik iparnya, tentunya tanpa merasa hina karena berdosa. Di hari panas, memuaskan lidah dan kerongongan dengan makanan atau minuman segar adalah kebutuhan utama selain mengenakan pakaian serba minim. Zara sangat heran, sebenarnya. Janna masih mengenakan pakaian tertutup rapat, bahkan lengkap dengan kerudungnya, meskipun sedang berada di rumah. Dia merasa kalau mereka berdua sungguh berkebalikkan. "Kenapa aku malah repot-repot memikirkan orang lain, sih?" "Kau sudah benar-benar yakin untuk berangkat besok?" tanya Zara. "Kenapa? Mau menahanku karena masih belum puas menyuruh-nyuruhku?" balas Janna dengan nada tidak ramah, sebatas melirik ke arah kakak iparnya sekilas pula. Dia tahu, esok adalah hari keberangkatannya ke Jerman untuk menggapai mimpinya, menempuh pendidikan strata satu di bidang kimia murni. Bagi Zara, Janna terlalu narsis. Dia tidap pernah merasa kalau sudah menjadikan adik iparnya sebagai pelayan pribadinya. Gadis itu sudah memfitnah tanpa didukung dengan bukti konkret. "Kapan aku pernah menyuruh-nyuruhmu?" tanyanya dengan nada tidak terima, mulutnya terlihat masih menahan beberapa remahan buah, sementara kedua lengannya ditumpukan di atas meja. Di sini, bibirku terasa ringan selama bergerak untuk meluruskan, "Aku hanya memintamu untuk mengajariku dalam melakukan beberapa pekerjaan rumah." "Alasan." Janna menatap kakak iparnya sepintas, masih belum bisa berlaku ramah. Zara dianggap tidak dapat diandalkan sama sekali, selalu berperan layaknya benalu, selain sebagai orang baru di rumah tetapi tidak pernah tahu malu. Dia hanya membutuhkan waktu sebentar untuk mengimbuhkan, "Faktanya, setiap kali aku mengajarimu, kau malah tidak pernah memperhatikan dengan benar." Garis keras, sindiran barusan tetap hambar di kedua telinga Zara. Dia terlalu kebal untuk hal-hal demikian. "Ingatlah baik-baik, selama aku di luar negeri, kau harus mampu untuk mengurus semua keperluan kakakku," ucap Janna dengan gaya bicara memperingatkan, disertai sedikit bumbu ancaman, "kalau tidak, tamatlah riwayatmu!" Zaka akan bersikap baik dengan tidak melawan. Dia berlagak menerima dengan pasrah. "Iya. Iya," katanya, mungkin terdengar tidak bersemangat, "aku akan mengusahakannya." Untuk sementara waktu, mereka berdua saling diam. Janna terlihat sedang konsentrasi mengolah makanan. Zara malah hanya mengangkat garpu dengan menggunakan tangan kanannya hingga di depan muka untuk dipandangi secara intens. "Jan." Jika dibilang memanggil, maka kurang memadai karena dilantunkan dengan suara bervolume pelan. Dinilai terlalu lemas, seakan-akan tidak diberikan tenaga. Zara seperti tengah melamun. "Apa?" Janna hanya menjawab sekenanya. Dia tidak terlalu berminat dengan kegiatan kakak iparnya. Zara baru mulai bercerita setelah meletakkan garpu di tangannya ke dalam mangkuk dan menyedekan kedua tangannya di atas meja sementara kedua sorot matanya diarahkan ke adik iparnya. "Kau tahu, semalam kakakmu sangat lucu, sudah tertangkap basah sebagai pecinta sesama jenis, malah tidak mau mengaku." "Tidak. Tidak," ucap Janna, beberapa detik lalu disempatkan menggeleng secara berulang-ulang, "mana mungkin kakakku ...." "Begitulah, terkadang kenyataan memang susah untuk diterima," sela Zara dengan nada enteng, rasa percaya dirinya seakan-akan habis meningkat drastis. Janna merasa ikutan terlibat, kalau kakaknya sampai dijelek-jelekkan, maka dirinya akan langsung turun tangan. "Alah." "Aku tidak akan percaya dengan akal-akalanmu. Kau mau memfitnah kakakku supaya terlihat buruk di mata orang lain? Mustahil." Emosi tersulut, Janna menatap tajam ke arah kakak iparnya dengan melontarkan kata-kata bernada menghakimi. Akan tetapi, Zara tidak mau kalah dalam merespons. "Dasar, Kepala Batu," ucapnya, terdengar memberikan kepastian, "aku bisa memberikan dua alasan kepadamu." "Pertama, kakakmu tidak pernah dekat dengan satu wanita pun selama dua puluh enam tahun hidupnya. Kedua, kakakmu tidak berbuat apa pun ketika melihat adegan berbau dewasa ... sekalipun sesosok wanita cantik sedang berbaring di sebelahnya," tambah Zara dengan ekspresi angkuhnya, hitungan kesatu dan kedua diperagakan dua jari terpanjang di tangan kirinya. Alis Janna terangkat sebelah dengan kedua tangan menumpu di meja dapur, sedangkan wajahnya sedikit didorong ke depan. "Mau tahu sebabnya?" balasnya kemudian. Tanpa menunggu Zara menyahut, Janna sudah melanjutkan, "Itu karena dirimu tidak menarik." Melihat Janna melawan dengan halus, Zara tentunya tidak hanya berdiam ketika harga dirinya sedang dipertaruhkan. "Mana ada. Aku adalah primadona kampus," katanya sebagai metode pembelaan. Dia sudah menerbitkan kebohongan, kalau masih tingkat departemen, dirinya masih bisa dimaafkan. Tapi, kalau tingkat kampus? Dia sudah tentu tengah terjebak di dunia penuh ilusi. "Mungkin, gara-gara mata kakakmu sudah minus terlalu banyak ... atau karena kakakmu tidak pandai menilai?" Zara manggut-manggut, terpaksa meyakini anggapannya sebagai suatu kebenaran hakiki. Dia sadar sekarang, alangkah berat tugasnya. Bisa dicintai laki-laki itu adalah fakta langka. "Yah, tidak salah lagi," ucapnya, seakan-akan tidak pernah tanggung-tanggung dalam menarik kesimpulan. *** Zaka's PoV Jadwal keberangkatan adikku ke luar negeri kupercepat, beberapa hari lebih awal dari seharusnya. Ini semua gara-gara kusesuaikan dengan momen kepulangan ibu mertuaku selepas liburan bersama seorang laki-laki dewasa, selain suaminya. Lebih mudahnya, dapat disebut sebagai selingkuhannya. Yang kuharapkan, istriku dapat menangkap basah mereka selama berada di bandara untuk mengantarkan adikku. Maksudku adalah supaya Zara dapat segera mengetahui kebenaran bahwa kesalahan atas keretakan rumah tangga kedua orangtuanya tidak sepenuhnya berasal dari salah satu pihak—ayahnya saja—karena mereka sama-sama tukang selingkuh. Yah ... begitulah kira-kira, hasil dari penyelidikanku. Di tengah keramaian, Janna berdiri di hadapanku dengan menggunakan lututnya. Dia sedang memegang kedua tanganku dengan kedua mata basah, terlihat murni dan seakan-akan dapat memantulkan sinar ketika digunakan untuk menatapku. Wajah manyun adikku benar-benar mengganggu. Diperhatikan orang-orang di sekitar, aku sudah berusaha untuk mengingatkan adikku dengan mengatakan, "Malu, Janna. Berhentilah menangis, orang-orang sampai memperhatikan ke arah kita." "Tapi, tidak bisa kutahan, Kak," ucap adikku dan terdengar seperti anak kecil, meskipun tangisnya tidak terlalu parah hingga terisak-isak. Aku meraih puncak kepala adikku untuk kuelus-elus sekilas dalam rangka menenangkan dirinya seraya mengatakan, "Kita masih mungkin untuk bertukar kabar dengan berbagai cara." Di zaman serba canggih, harusnya adikku sudah cukup mengerti karena telah beradaptasi sejak lama mengingat sekarang dunia digital benar-benar cukup berkompeten dalam menguasai semesta. Jika terus dibiarkan, bisa-bisa adikku malah gagal meniti pendidikan di negeri orang. Mungkin, aku terkesan tidak sabaran ketika mengatakan, "Ayolah, pesawatnya sudah akan lepas landas." "Ampun, deh," ucap wanita berkaus putih dan dengan kedua kaki dibungkus celana jeans berwarna biru di sebelah kananku, enggan menatap ke arah kami selagi melipat kedua tangannya di depan, "sebagai kakak dan adik, kalian malah terlihat seperti sepasang kekasih, sama-sama tidak sanggup ketika dihadapkan dengan momen perpisahan." Jelas, Janna terpancing. Dia tahu-tahu sudah menoleh selain mengangkat dagu dan menatap tajam ke arah istriku. "Kenapa? Masalah?" ucap adikku dengan wajah berang. "Idih, mana ada." Anehnya, Zara malah terlihat risih dan geli dengan balasan adikku. Yang kutakutkan, misalkan di antara mereka menghadirkan ketegangan, hingga menyebabkan terjadinya kosleting, meletus-letus di luar kontrol. Syukurnya, segalanya hanya terealisasikan di dalam imajinasiku semata. Janna mengambil langkah dewasa dengan tidak memperumit keadaan. Dia sudah meluruskan kepala dan menatap ke arahku untuk berpamitan. "Kak, aku berangkat sekarang," ujarnya dengan suara lembut, teramat berbeda apabila dibandingkan dengan sebelumnya. "Iya," sahutku tanpa berlama-lama. "Jaga dirimu baik-baik." Janna mengangguk, berdiri dan memelukku singkat. Dia hanya berpamitan kepadaku, tidak kepada istriku. Aku tidak mampu menerka-nerka, mengenai kapan mereka berdua bisa akur dan sama-sama merasa saling memiliki sebagai satu keluarga. Aku menatap tubuh adikku dalam balutan gamis biru muda berpadukan putih dengan perasaan kehilangan. Lepas kepergian adikku, Zara tidak segan untuk mencemooh, "Payah, adikmu cengeng sekali." Dahiku menerbitkan kerutan samar. Aku segera menoleh ke samping kanan, tetapi sedikit terarahkan ke atas. "Kau tidak salah mengatai adikku? Bukankah kalian sama saja?" tanyaku kemudian. "Ish, berbeda!" Zara mengempaskan kedua tangannya hingga lurus ke bawah, selaku dampak dari kekesalannya kepadaku. Dia terlihat sangat optimis selama menyerukan, "Tiap aku menangis, aku masih tetap cantik, sedangkan adikmu tidak!" Melihat istriku sampai semangat menggebu-gebu, alasanku untuk berkata sebaliknya tenggelam di udara. Aku merasa kalau tingkah istriku teramat menggemaskan, susah untuk ditolak. "Iya. Iya," gumamku, mungkin terdengar tidak tulus, "kalian tidak sama." Zara tidak bisa mendiamkan kepalanya, terlalu aktif meski tidak diberikan vitamin khusus. Hingga kemudian, kedua matanya menyaksikan bayangan tubuh seorang wanita dewasa, berumur sekitar di atas 40-an, terlihat mengenakan pakaian berkelas khas korea selatan, berkulit cerah dengan polesan make up cukup tebal. "Eh, sebentar ... itu 'kan," ucapnya, seolah-olah berupa refleks. "Mama?" Yang kuinginkan sudah tercapai. Barusan, istriku benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika ibunya sedang menggandeng laki-laki asing dengan mesra. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD