11. Adikku Hanya Satu Kalau Kau Tidak Lupa

1570 Words
Zaka's PoV Matahari belum mendaki langit hingga mencapai titik tertinggi, masih dalam tahap permulaan. Aku berjemur untuk berburu vitamin D sembari minum teh dan makan biskuit di teras samping. Tiba-tiba, Pak Anton, selaku salah satu dosen di kampus, melakukan panggilan video kepadaku. Yang mana, aku langsung menyahut hingga terkesan seperti menyambut dengan hati berbunga-bunga. "Pak Zaka, bagaimana kabarmu sekarang?" "Kapan akan kelihatan di kampus?" "Apakah masih sering merasa tidak enak?" Aku dihadapkan dengan tiga pertanyaan bertubi-tubi barusan hanya dalam hitungan singkat setelah basa-basi pendek sebagai salam pembuka. Jujur, rasa-rasanya aku terlalu malas untuk menyusun jawaban, hingga akhirnya aku memilih untuk sebatas tersenyum saja. Aku akan segera terselamatkan setelahnya. "Ya, ampun, Pak," sosok wanita berkerudung krem di sebelah Pak Anton mendadak menyela, tanpa permisi, "tanyanya satu-satu." "Pak Zaka sampai kebingungan untuk menanggapinya." Nah, beginilah ... caraku terbebas. Pak Anton mulai terlihat segan, mungkin karena berpikir kalau sudah berlaku terlalu berlebihan, di luar batasan seharusnya. "Maaf, aku hanya terlalu bersemangat, terlebih ... selama beberapa minggu, setiap sudut kantor seperti kehilangan nyawanya, terutama kalau sudah berhubungan dengan kaum ibu-ibu di sini." "Ibarat vitamin C, Pak Zaka seakan-akan dapat mengobati sariawan mereka ... sebagai akibat dari adanya konflik di rumah mereka masing-masing?" Dirasa merupakan salah satu kaum ibu-ibu, Bu Dian terkesan kurang setuju dengan pendapat Pak Anton. Dia tahu-tahu sudah meralat dengan mengatakan, "Bukan vitamin C, Pak. Tapi, es kelapa muda di musim kemarau." Pak Anton lantas membalas, "Bu Dian bisa saja, nih." Lagi, senyuman di wajahku mekar. Aku tidak memungkiri bahwa gurauan mereka memang selalu terdengar garing. Pada intinya, aku tidak tahu metode untuk menyenangkan mereka selain sekadar melengkungkan bibirku dengan disertai tawa renyah. "Oh, iya, Pak," Pak Anton secara tiba-tiba berseru lagi. Aku segera memasang wajah antusias untuk mendengarkan lanjutannya. Laki-laki itu hanya membuat selang waktu sebentar untuk mengimbuhkan, "Nanti sore, kami boleh mampir ke rumah Pak Zaka, bukan? Ee ... kami mau sekalian kenalan sama istri Pak Zaka." "Boleh, kok," sahutku, ditutup dengan seulas senyuman, "silakan kalau mau mampir." Aku tidak membiarkan kedua lawan bicaraku untuk memberikan respons kepada karena aku sudah mendahului mereka dengan menambahkan, "Tapi, tidak akan saya bukakan pintu kalau kalian hanya datang dengan tangan kosong." Pak Anton berlagak kecewa, tetapi ekspresi mukanya malah datar. "Yah, sebagai rekan kerja kami ... Pak Zaka kejam sekali," ujarnya. Bu Dian ikut-ikutan dengan mengatakan, "Jujur, kami semua masih kecewa karena Pak Zaka menikah tanpa mengundang kami." Aku hanya bisa memasang wajah tidak enak. Dari awal, seluruh urusan mengenai pernikahan diurus pihak wanita. Jadi, aku bisa apa? "Maklum, Pak," ucapku dengan suara beroktaf rendah, "calon istriku sangat histeris dengan kecelakaanku kemarin, hingga langsung menuntutku supaya segera menikahinya dan mengancam kalau akan kabur dari rumah apabila tidak cepat-cepat dipenuhi." Di luar kesadaran masing-masing, kami berdua terus bercakap-cakap hingga waktu bergulir banyak, tahu-tahu hari sudah siang dan kedua teman bertukar kataku cukup tertegun karena mereka malah melupakan tugas-tugasnya. Aku tertawa setelah melihat kelakuan mereka tidak berapa lama kemudian, terlihat kelabakan sendiri, seolah-olah akan dihadapkan dengan razia dari kepolisian. *** Zara's PoV Lelah aku menangis. Yang mengherankan, kenapa setiap pemain sinetron masih mampu untuk melanjutkan syuting meski dituntut untuk selalu menangis? Masalahnya, waktu istirahat untuk kedua mata mereka hanya sekian jam, bukan sekian hari. Aku akan menggunakan kesempatanku dengan baik. Air mataku harus segera dibayarkan dengan tawa. Mungkin, salah satu pemicunya adalah menonton acara-acara komedi di televisi. Impian sederhanaku berujung memilukan. Kak Zaka masih Work From Home (WFH) sehingga aku cukup sering memperoleh gangguan, seperti sekarang, ketika aku sedang duduk-duduk di ruang keluarga seraya menikmati tontonan lucu, secara tiba-tiba suamiku sudah berada di sebelahku. Oh, astaga. Refleks, sebelah tanganku terangkat untuk mengelus dadaku sebagai pertolongan pertama terhadap serangan dadakan barusan. "Zara, nanti sore ... kau tidak ke mana-mana, bukan?" tanya Kak Zaka, entah sejak kapan bisa satu ruangan denganku, tidak ada tanda-tanda, "teman-teman kerjaku mau datang ke sini, bisa tolong siapkan camilan dan minuman untuk mereka?" Aku menoleh dengen cepat untuk memastikan tebakanku. "Maksudmu, bapak dan ibu dosen di kampus?" tanyaku. "Aduh, Kak!" Sifat kekanak-kanakanku muncul ke permukaan. Aku merengek habis-habisan dengan disertai gestur senada. "Mereka bisa mengenaliku. Aku tidak mau keluar untuk menyambut mereka! Bisa-bisa, aku malah diwawancari habis-habisan." Aku melipat kedua tanganku di depan d**a, tidak lupa membuang muka karena telanjur malas, enggan membahas lagi. Bagiku, kedatangan rekan kerja suamiku bukanlah urusanku, mana ada hubungannya denganku. "Ya, sudah. Tidak apa-apa," Kak Zaka menjawab sekenanya, terlihat sudah teramat muak dalam menatapku. "Taruh semuanya di ruang tamu. Kau tidak perlu keluar." Aku merasa sudah menyinggung suamiku hingga sampai keluar suara bernada dingin tersebut. Bagaimana, sih? Aku berniat untuk mulai menyerang dan meraih sebutan pemenang, tetapi belum apa-apa malah sudah kena tulah duluan. Kak Zaka berani sekali menyindirku dengan mengucapkan, "Toh, aku sangat tidak suka apabila kau muncul hanya untuk mengaku-ngaku sebagai adikku." Lirikan suamiku cukup sukses dalam menarik perhatianku, tentu saja. Aku terhipnotis dengan kedua kornea bulatnya, terlebih dibingkai dengan rapi hingga sisi maskulinnya dapat terlihat menonjol. "Adikku hanya satu, kalau kau tidak lupa," ucap suamiku beberapa detik sebelum berlalu meninggalkanku di ruang keluarga sendirian. Menatap ke arah suamiku, aku cukup tercengang dengan kedua tangan sudah menumpu di dudukan sofa berwarna biru tua di sisi kanan dan kiri tubuhnya. "Ish, sensitif sekali," cibirku, "kenapa dengannya?" "Entahlah." Anehnya, daripada bertanya langsung kepada orangnya, aku menjawab sendiri. Aku menjambak rambutku dengan menggunakan kedua tanganku. "Aarrghh! Harus bagaimana aku?" "Aha! Aku memiliki ide." Tanpa disangka-sangka, lampu bohlam berwujud fiktif menyala terang di atas kepalaku, diikuti dengan cerahnya raut mukaku ketika jari telunjuk dari tangan kananku terangkat sampai sebatas telinga. Haha, sudah bukan rahasia pribadi, kinerja otakku memang selalu luar biasa. *** Zaka's PoV "Loh?" "Pak Zaka buka pintu sendiri?" Lucu, sebagai tuan rumah, aku malah dituding dengan pertanyaan barusan sesudah membukakan pintu untuk tamu-tamuku. Aku tidak sampai menunggu lama, hanya dalam waktu singkat sudah membawa mereka untuk segera masuk rumah hingga mempersilakan mereka untuk duduk di deretan sofa berwarna abu-abu tua di ruang tamu. "Di mana istri Pak Zaka? Kenapa tidak kelihatan?" tanya Pak Anton. Dia duduk di arah sudut kiriku bersama dua dosen laki-laki dalam posisi terdekat denganku, sementara tiga dosen wanita—kebetulan semuanya berkerudung—duduk di arah sudut kananku. Mereka berenam terlihat kompak karena masih mengenakan setelan seragam. Aku segera beralasan. "Dia sedang memiliki urusan," kataku seadanya. Moga bapak dan ibu dosen di tempatku bekerja tidak terlalu kecewa. Akan tetapi, keenam tamuku tiba-tiba memfokuskan perhatian ke belakangku. Aku menoleh hingga mengikuti ke mana langkah sosok wanita berpakaian serba tertutup berwarna merah tua dengan wajah disembunyikan dengan cadar berwarna abu-abu. Siapa wanita ini? Bagaimana bisa di rumahku? Kenapa sampai repot-repot membawakan nampan oranye berisikan teh panas ke ruang tamu? "Selamat sore, Pak, Bu." Oh, aku tahu sekarang. Bukan Zara kalau tidak berkelakuan unik. Aku menahan senyumanku dengan sebelah tangan terangkat hingga berada di sekitaran mulutku ketika istriku sedang merendahkan badan untuk membagikan minuman, disusun rapi di atas meja. Lepas badan ditegakkan kembali dengan sudah memeluk nampan, istriku terlihat berusaha tersenyum, dapat tergambarkan melalui sinar matanya selama mengatakan, "Mari, silakan diminum." Tiap tamuku—tanpa peduli dengan masalah gender—sama-sama terpesona, masih menatap takjub ke arah istriku. "Maaf, karena hanya disambut dengan seadanya," ucap Zara dengan suara terdengar tidak enak hati. Pak Anton secara mengagetkan malah berdehem, seolah-olah tenggorokannya diserang serak. Aku curiga. Ada unsur kesengajaan, sepertinya. "Eh? Tidak masalah. Ini sudah lebih dari cukup," katanya kemudian. Kenapa Pak Anton bersikap manis kepada istriku? Apakah aku sedang terbakar api cemburu? Aku disikut Pak Anton. Otakku sudah cukup mengerti akan maksudnya tanpa harus bertanya-tanya terlebih dahulu. Aku meraih tubuh istriku dengan sebelah tanganku dan mengucapkan, "Pak, Bu, perkenalkan. Ini adalah Zara, istri saya." Zara mengangguk sebagai salam perkenalan secara massal. Dia cukup pandai dalam membaca situasi dengan tidak melewatkan untuk melengkungkan mata dan bibirnya. Bu Dian, sosok wanita di posisi terdekat denganku selain istriku, tahu-tahu berdecak pelan seraya menggeleng berulang dan mengatakan, "Wah, wajar sekali kalau Pak Zaka betah di rumah, ternyata istrinya merupakan salah satu bidadari dari surga." "Jujur, aku sungguh penasaran. Kenapa Dik Zara bisa cinta mati sama Pak Zaka?" Kini, Pak Dimas mendapatkan jatah untuk bertanya. Laki-laki berkacamata di sebelah Pak Anton memang terlihat sedang dibelenggu dengan rasa penasaran. "Ha?" Zara terperangah. Dia terkesan bodoh karena tidak mengetahui apa-apa. Duh, haruskah aku mengungkapkan sebuah kegilaanku kepadanya? Tapi, memalukan sekali. Aku sudah terlampau narsis. Meski aku tidak berniat memberitahu dan hendak membiarkan segalanya mengalir begitu saja, Pak Anto malah secara sukarela berkenan untuk mewakilkanku, di luar kemauanku. Dia mampu menjelaskan dengan cukup terperinci. "Kata Pak Zaka, setelah Pak Zaka mengalami kecelakaan, Dik Zara langsung menuntutnya untuk segera dinikahi." Aku dihadiahi istriku dengan cubitan keras di salah satu lengan atasku. Mau mengaduh kesakitan, akan menimbulkan problematika lain. Andaikan aku boleh berterus terang, sebagai pengantin baru, aku ingin terlihat romantis dan harmonis bersama istriku. Akan tetapi, Zara sudah telanjur kesal gara-gara aku pernah bercerita tidak sesuai dengan fakta. Di dalam benakku, mendadak malah muncul bayangan istriku ketika tengah membatin, "Kak Zaka, tunggulah pembalasanku nanti!" "Yah. Begitulah," Bu Dian menyela tanpa didahului peringatan apa pun, "kalau sudah cinta, terkadang pikiran bisa tidak terkendali." Entah mengapa, momennya bisa begitu pas. Aku yakin sekali. Zara sedang menggigit bibir bawahnya sebagai bentuk upaya untuk menahan emosi di puncak ubun-ubunnya, meski sudah hampir siap untuk meledak. "Maafkan aku, Istriku. Aku tidak pernah bermaksud untuk memfitnahmu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD