15. Wanita Adalah Makhluk Perasa

1487 Words
Zara's PoV Tangisku benar-benar pecah sesudah aku melesatkan tubuhku ke kamar tamu, duduk di tepian kasur seraya memeluk salah satu lengan suamiku. Aku tidak menghiraukan terus putih kekuningan di setiap dinding di ruangan, apalagi lampu tidur di sebelah kiri ranjang, bahkan selimut merah tua malah luput dari perhatianku hingga harus menjadi korban dari keganasan pantatku. "Kak Zaka, aku tidak mau berlama-lama di sini." Aku belum bisa berhenti merengek dengan terus mempererat belitan kedua lenganku. Jiwa bocah sedang merasuki badanku. Aku terisak-isak. "Ayo, kita pulang," tambahku di tarikan napas tidak beraturanku. Kak Zaka menejuk jari-jari di tangan kanannya, segera digunakan untuk menghapus jejak cairan hangat dan bening di bawah mataku, badan besarnya terlihat cukup terputar dan sedikit condong ke arahku. "Zara, aku tahu," ucapnya dengan suara lembut, disamakan dengan tatapannya, "ketika sedang menangis, kau tetap terlihat cantik." Aku mengusahakan untuk terkesan berada di dalam fase ketenangan sementara, terutama selama suamiku mengimbuhkan, "Tapi, aku ikutan sakit setiap kali menemukan kepedihan di wajahmu." Dirasa dapat mendramatisir keadaanku, kedua tanganku mulai menciptakan gerakan mencengkeram di lengan kiri suamiku, tanpa merasa harus untuk meminta izin terlebih dahulu. "Perih, Kak," lirihku, "hatiku tersiksa, dadaku sesak." "Tuhan tidak pernah berlaku adil kepadaku." Miris sekali, kalau suamiku masih tidak tersentuh olehku, maka dapat disimpulkan bahwa suamiku tidak mengamalkan sila kedua dari pancasila, benar-benar krisis empati. "Kak, takdirku ... selalu berupa air mata." "Zara," Kak Zara berseru dengan suara lebih keras, mungkin demi bisa merenggut seluruh perhatianku, membuatku lupa akan setiap goresan luka di hatiku. Aku sadar benar. Dia menatapku dengan penuh kelembutan selama menuturkan, "Yang terbaik di matamu, belum tentu terbaik di mata-Nya. Dia lebih tahu dari kita melebihi apa pun, segala-galanya." "Yang tidak bisa berlaku adil bukanlah sosok penciptamu, melainkan manusia-manusia tertentu." Aku mengangkat kepalaku dari bahu suamiku hingga mengakibatkan kedua mataku langsung bertemu dengan kedua manik mata beriris hitam milik suamiku, sorot mata kami sama-sama melekat selama sekian detik, baru dapat terbebas sesudah mataku terasa pedih dan aku memutuskan untuk berkedip. "Kak Zaka sudah mau istirahat?" tanyaku sebagai pintu gerbang untuk mencairkan suasana hening di antara kami berdua. "Iya," Kak Zaka membalas seadanya. Dia terlihat belum siap untuk memutus kontak mata denganku, tetapi tindakan sepihakku tidak dapat dihalang-halangi. "Tapi, aku harus gosok gigi dan cuci muka dulu," tambahnya. "Baiklah." Aku membiarkan Kak Zaka ke kamar mandi secara mandiri karena jaraknya bisa dikatakan cukup dekat dan tidak akan banyak menuai rintangan, sementara di dalam kamar gaun santai di badanku segera kuganti dengan kimono tidur warna ungu muda berbahan satin, sudah kusiapkan sejak sebelum acara makan malam dimulai. Brak! Tiba-tiba, terdengar suara benda terjatuh. Lepas mengikat kedua tali dari kedua sisi kimonoku di belakang, aku refleks berteriak untuk menyerukan nama suamiku dan berlari ke kamar mandi dengan mengabaikan gaun kotor di sandaran kursi di depan meja riasku. "Oh, astaga." "Bagaimana Kak Zaka bisa terjatuh?" Di batas pintu kamar mandi, kedua mataku melihat suamiku sudah terjungkal bersama kursi rodanya. Aku cepat-cepat mengambil tindakan supaya suamiku tidak terus-menerus dalam posisi mengenaskan. Saat Kak Zaka sudah aku amankan, aku merendahkan tubuhku dengan lengan kanan memegangi kursi roda, hingga tahu-tahu bibirku terbuka untuk bertanya, "Sakit?" "Tenanglah, aku tidak apa-apa," kata Kak Zaka selama menoleh ke samping setelah sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap kedua kornea mataku. Kak Zaka tiba-tiba menunduk dan mengedarkan pandangan ke setiap sudut lantai. Lepas aku ikutan menatap ke bawah, sebuah sabun muka terlihat tergeletak pasrah di lantai. Aku langsung memberikan respons dengan berseru, "Kak, kalau butuh apa-apa, harusnya segera memanggilku." Wajah Kak Zaka berubah murung. Dia terlihat cukup sedih sekali. "Maaf, untuk urusan-urusan kecil," tuturnya," aku hanya tidak suka kalau masih harus merepotkanmu." Aku merenggut sabun wajah berkemasan gelap dari atas lantai untuk kuletakkan di atas meja di dekat dengan wastafel di hadapanku. Jeda waktu singkat, aku segera bergeser untuk membasahi kedua tanganku dengan air jernih dari keran sebelum membuka penutup sabun muka untuk menuangkan sebagian kecil cairan kentalnya ke salah satu telapak tanganku, dilanjutkan dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk menghasilkan busa. "Nah, sekarang ...." "Kemarikan wajahmu, akan kulakukan untukmu," kataku tidak sampai berselang lama sesudah aku memutar badan hingga menghadap ke arah suamiku. Kak Zaka memajukan wajahnya dengan kedua mata dipejamkan. Aku bisa menyaksikan betapa hitam bulu matanya, mengamati setiap pori-pori kulitnya dan merasakan bukti nyata dari wajah terawatnya dengan menggunakan telapak tanganku dihalangi apa pun. "Katakan, apakah aku tampan?" tanya suamiku, masih mengatupkan kedua kelopak matanya ketika aku sudah selesai membilas wajahnya dan mulai mengelap sisa-sisa air di sana dengan selembar handuk kecil. "Tidak," aku hanya menjawab dengan sesuka hatiku, tanpa peduli meski sungguh bertolak belakang dengan lengkungan kedua sudut bibirku. Kak Zaka tahu-tahu sudah membuka mata dengan ekspresi dingin, seperti tersinggung dan kecewa teramat parah gara-gara ucapanku barusan. Dia tidak bisa diam berlama-lama, menepis tanganku dengan cepat dan berkata, "Minggirlah. Aku mau keluar duluan." Dibuka dengan meluruskan badan, aku hanya menatap kepergian suamiku dengan tawa tertahan di pangkal tenggorokan, sementara garis-garis di sekitar mataku dalam keadaan tertarik ke belakang untuk menyempurnakan senyumanku. "Yah ... aku malah terlalu lambat dalam menyadari, ternyata suamiku sangat memesona." *** Zaka's PoV Akhir pekan, mumpung memiliki waktu luang, aku sempatkan diriku untuk menghubungi adikku, sudah cukup memuaskan walaupun hanya bisa berkomunikasi melalui obrolan video. "Halo, Kak," sahut wanita berkerudung cokelat di seberang sana. Dia terlihat sedikit marah kepadaku, diwujudkan dengan kedua mata berpupil bulatnya, seolah-olah akan berperang untuk melawan bulan purnama. "Kenapa baru menghubungi sekarang?" Aku terlalu mengkhawatirkan adikku, sepertinya. Disangka akan kurus, ternyata adikku malah bertambah gemuk. Yang menjadi buktinya sudah teramat jelas, terwakilkan oleh kedua pipi berisinya. Meski sangat gemas, aku hanya bisa menggigit jariku sendiri karena tidak dapat mencubitnya secara langsung. Amat disayangkan. "Bukankah aku sangat memahamimu?" ucapku seraya tersenyum hangat, memberikan tanggapan logis, "sebagai mahasiswa baru ... tentu kau sangat sibuk." "Halah, alasan," Janna mencibir. Sikap adikku dapat dinamakan dengan 'lain di muka lain di hati' karena meski terlihat sebal kepadaku, tetap peduli terhadapku. "Bagaimana, Kak? Kau dirawat dengan baik atau tidak?" "Kalau tidak, nanti istrimu akan aku marahi habis-habisan." Tanpa disangka-sangka, tawa kecil akan menghiasi wajahku, sungguh di luar rencanaku. Aku dan adikku seperti sedang bertukar perasaan. Dikarenakan aku sudah mengira kalau adikku akan heboh minta ampun, wajar sekali apabila aku sampai bertanya-tanya. Yang sakit siapa, sih? Aku sudah mempersiapkan jawaban tegas. Diharapkan, dengan demikian, adikku tidak akan menghakimi istriku lagi. "Lihatlah sendiri," ucapku. "Yah ... wajahmu terlihat lebih bulat kalau dibandingkan dengan terakhir kali kita bertatap muka, bisa dikatakan bukti dari kerja keras istrimu sangatlah nyata." Apa tidak salah? Pipiku dikatakan bulat? Adikku sudah lupa bagaimana caranya becermin dan tidak tahu di mana letak daratan? Aku mencari aman. Tidak akan menyinggung masalah perubahan badan. Jika aku salah berbicara selama membahas topik-topik sensitif, maka hanya akan berakhir dengan pertengkaran. "Aku melihat bunga-bunga seperti bermekaran di sekujur wajahmu, Kak. Apakah karena kalian sudah ada kemajuan?" Janna mendadak tersenyum dengan maksud tertentu. Ada nuansa menggoda. "Wanita adalah makhluk perasa sehingga mudah didekati ketika sedang rapuh-rapuhnya. Berhasilkah aku?" "Tapi, salahkah aku kalau aku selalu berada di sisinya hanya untuk membuat dirinya menaruh perasaan kepadaku?" Yang dinamakan berjuang tentu bukanlah hal mudah untuk direalisasikan. Aku tidak suka kehabisan akal, masih menggunakan formula klasik—selalu di sisi istriku setiap kali istriku sedang kesusahan—untuk membuat istriku dapat mencintaiku dengan cepat. Dalam beberapa kesempatan, tidak dapat dipungkiri bahwa sesekali diriku pernah terbelenggu perasaan cemburu karena istriku dekat dengan laki-laki selain diriku. Jadi, kalau pesaingku hanya sebatas berjalan, bukankah aku harus berlari untuk bisa sampai duluan di tempat tujuan? "Mungkin?" Entah jawaban atau bukan, aku hanya sekadar mengikuti kata hatiku, dengan senyuman tipisku sebagai iring-iringannya. Dari hasil pemikiranku, aku dan istriku sudah bertambah akrab dengan interaksi cukup intens, meski tidak banyak tindakan-tindakan untuk menunjukkan adanya kedekatan khusus. Dari hasil perhitunganku, aku hanya kontak fisik dengannya dalam bentuk sentuhan-sentuhan ringan. Janna mendadak memasang muka masam. Aku sudah paham benar mengenai sosok pemicunya. Akan tetapi, adikku malah tidak keberatan untuk menegaskan secara gamblang. "Jujur, aku tidak terlalu suka dengannya." "Tapi, demi dirimu, selaku kakakku tercinta, aku akan tetap mendoakan kalian." Tidak ada tanggapan dariku. Adikku terlihat sudah diperingatlan oleh waktu. "Kak, aku harus berangkat kuliah sekarang," katanya, nada bicaranya terdengar sedikit terburu-buru, "kapan-kapan kita sambung lagi." Aku curiga kepada adikku kalau sudah menjadi tidak sadar dengan pergantian detik gara-gara terlalu larut selama mengobrol denganku. Artinya, sebagai teman bicara, bisa dibilang aku sangat menyenangkan. Benar, bukan? Maaf, aku kelewat narsis. "Baiklah, kalau begitu," ucapku, "selamat beraktivitas lagi." Lepas panggilan ditutup, istriku tiba-tiba membuka pintu kamar, berjalan ke tempatku untuk menjemputku, terlihat menggebu-gebu ketika berseru dengan lancar, "Kak Zaka, sudah waktunya untuk berangkat, nanti keburu sore." "Iya." Yang berbahagia adalah dirimu. Yang bersedih adalah diriku. Tidak bisakah kalau kita sama-sama bersuka cita? Aku teramat sibuk dengan teka-teki di dalam benakku. Begitulah. Aku hanya bisa membiarkan istriku mendorong kursi rodaku, meskipun hatiku berkata tidak mau. Saat orang-orang mengadu kepada kita kalau habis ditimpa musibah, kita selalu terbiasa menganjurkan kepada mereka untuk ikhlas. Tapi, aku sudah cukup paham sekarang, bahwa ikhlas memang akan terasa mudah di bibir, tetapi tidak berlaku di hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD