16. Langkahku Bisa Menjadi Petaka Untukku

1573 Words
Zaka's PoV "Pelan-pelan saja, Pak. Tidak usah dipaksakan." "Iya, Dok." "Ayo, Kak, semangat!" Dua logam sejajar di samping kanan dan kiriku menjadi alat bantu dari kedua kakiku selama berpijak di permukaan lantai. Aku bisa merasakan sensasi sejuk di kedua telapak kakiku ketika mencoba untuk melangkah secara perlahan-lahan. Di ujung, wajah istriku terlihat cerah berkat senyuman lebarnya ketika menyemangatiku, hingga dapat membuatku tertular meski dalam keadaan terkendali, hanya tipis saja. "Jika langkah kakiku bisa menghadirkan tawamu, maka aku akan melangkah. Tapi, aku tahu benar bahwa langkahku bisa menjadi petaka untukku." Brukk! "Kak Zaka!" Aku baru bisa mencapai tiga per empat bagian dalam waktu cukup lama, bermenit-menit, tetapi sudah ambruk duluan. Yang menjadikanku gagal dalam meraih kedua tangan istriku, tentu gara-gara pikiranku mendadak teralihkan dengan sesuatu. Aku akan mengakui secara terang-terangan, bahwa diriku masih tidak dianugerahi dengan kerelaan. Jika aku bisa berjalan sekarang, maka perpisahanku dengan istriku sudah menungguku di depan mata. Dibantu berdiri oleh istriku, mimik sedih menjadi prioritasku untuk mewarnai wajahku selagi aku fokus menatap kedua manik matanya. "Maaf, aku mengecewakanmu," ujarku dengan suara bernada rendah, dalam rangka menggambarkan ketidakenakanku, meski tidak bisa dibilang seratus persen demikian. Zara langsung membalas, "Bukan mengecewakanku, Kak. Tapi, membuatku cemas setengah mati." Tidak ada kata-kata bermakna menghakimi. Dia malah mengoreksi pernyataanku. Aku masih terhipnotis dengan netra berlensa jernih di hadapanku ketika istriku bertanya dengan lembut, "Kak Zaka tidak terluka, bukan?" Aku menggeleng pelan diikuti dengan seulas senyuman tipis. Agar tidak membuat istriku bertambah resah. Wanitaku harus merasa lega, tanpa harus terbebani dengan apa pun. "Syukurlah," ungkap istriku. "Kak, lain kali, kalau sudah kelelahan, harus langsung berhenti," tambah istriku, setelah menaruh senyuman di wajahnya, "mengerti?" Aku hanya mengangguk ringan sebelum terpikirkan untuk menegaskan dalam bentuk kalimat. "Iya, aku mengerti, kok," ucapku kemudian. Interaksi kami berdua terkesan manis, terutama karena sempat saling berbicara lewat tatapan, ditambah senyuman serba malu-malu sebagai aroma penyedapnya. Aku tidak tahu, apakah dokter berjenis kelamin laki-laki di dekat kami dibelai rasa risih atau tidak. Toh, aku tidak peduli-peduli amat. "Baiklah, Kak, sudahi sampai di sini dulu," ujar Zara. Aku dan Zara segera berpamitan, terapiku akan dilanjutkan di lain waktu. Hingga detik audah berganti menit, kursi rodaku sedang didorong istriku untuk menyusuri lorong, hendak menuju halaman depan rumah sakit. "Berhubung hatiku sedang senang," ucap istriku sambil lalu, "dalam rangka mengapresiasi usaha keras kakak ... aku akan memasak makanan spesial sebagai jamuan untuk makan malam nanti." "Bagaimana? Hm?" Tanpa menoleh ke belakang, aku bisa memastikan kalau wajah istriku tengah berbinar-binar, bangga dengan kemajuanku, walau belum seberapa, sepertinya. "Ide bagus. Tapi, awas kalau sampai tidak enak," tanggapku tidak lama kemudian, terdengar senada dengan irama dalam suara feminin istriku. "Enak, dong," jawab Zara, terkesan sangat meyakinkan karena diucapkan dengan rasa percaya diri luar biasa. Aku tidak akan berharap lebih, sih. Takutnya, kalau ternyata hasil akhirnya tidak sesuai dengan ekspektasi awal. Pada waktu otakku masih berkelana, Zara tahu-tahu sudah menambahkan, "Karena Kak Zaka wajib membantuku." Aku tertawa singkat dan langsung menyimpulkan, "Berarti bukan murni masakanmu." "Kata siapa? Nanti, Kak Zaka cukup memberikan instruksi." Jelas, Zara tidak terima dengan anggapanku, mungkin gara-gara tidak sangga tidak bersungguh-sungguh dalam bekerja. "Kak, aku tetap seorang wanita," katanya, tentu disuarakan dengan nada tidak bisa dibantah, "dengan segenap jiwa keibuanku, tantangan memasak akan terlalui dengan mulus." Lepas sekian menit berlalu, kamu sudah hampir mencapai beranda rumah sakit. Tiba-tiba, Zara sedikit bergeser dan membungkuk ke arahku untuk mengatakan, "Kak, aku izin ke toilet dulu. Jangan ke mana-mana." Dia tidak menunggu respons dariku. Aku tidak keberatan sebenarnya. Toh, waktuku masih bisa dimanfaatkan untuk merampungkan masalah lain. Aku sudah bernapas dengan santai untuk menikmati sari-sari udara, tetapi terganggu karena nada dering dari ponsel pintarku. "Halo, Pa, " sahutku tidak lama setelah panggilan dari ayah mertuaku terhubung denganku, dimana tangan kananku terlihat kokoh selama berperan sebagai penyanga. "Aku sudah melakukan semuanya." "Kapan kau akan memulihkan kondisi perusahaanku?" "Akan aku lakukan. Tapi, selama syarat keduaku bisa dipenuhi dengan baik." Intonasi santai teramat cocok untuk difungsikan. Inilah jalan untuk menempuh suatu kondisi dimana kesan mempermainkan dapat terlihat nyata, seperti tidak dibuat-buat. Aku harus berbangga hati karena dapat membuat ayah mertuaku terpaksa berkata, "Aku berjanji kepadamu. Mulai sekarang, aku tidak akan mengedarkan barang-barang ilegal lagi." "Baiklah." "Tunggulah sampai besok." Meski aku berkata begini, bukan berarti disertai dengan jaminan. Aku sudah merenungkan matang-matang. Jika ayah mertuaku tidak benar-benar taubat, maka tindakan hukum harus ditunaikan, tanpa pernah mengenal hubungan kekerabatan. "Maaf, Kak," tanya istriku dengan sebelah tangan digunakan untuk menepuk pundakku sekilas, "apakah aku terlalu lama?" Untunglah. Acara main kataku barusan sudah tamat sebelum kedatangan istriku. Aku tidak perlu dibuat panik. Adalah langkah cemerlang dalam setiap perguliran detik hidupku. Aku mana bisa membatu kalau dihadapkan dengan kegagalan. "Tidak, kok," balasku. Aku dan Zara melanjutkan ke wilayah beranda, tidak berlama-lama di sana karena mobil hitamku sudah dikendarai Pak Seno—sebuah kewajaran karena memang bertugas sebagai nahkoda—dari arah parkiran untuk menghampiri kami berdua. Aku sudah tidak sabar untuk cepat-cepat sampai di rumah dan menyaksikan atraksi dari istriku. Alangkah menarik sekali karena bertemakan dapur. Ini akan sangat menggugah hatiku hingga dapat mengusir suntukku, semoga saja. *** Di depan meja dapur dengan nuansa khas karena diberi sentuhan warna putih dan abu-abu, aku benar-benar memerhatikan susunan racikan istriku sebelum mulai terjun ke proses mengolah makanan dengan memaaatkan api. Meski hanya berlangsung singkat, aku manggut-manggut dan berkomentar, "Wah, sekarang cara kerjamu semakin rapi." "Begitulah," jawab istriku dilengkapi dengan senyum sumringahnya, "usaha tidak pernah mengkhianati hasil, bukan?" "Ya." Aku ikutan tersenyum. Faktor penyebab utamanya adalah karena kedua mataku merasa tenteram ketika melihat wanitaku sedang mengenakan celemek berwarna cokelat s**u dengan motif polkadot, hingga dapat membuat aura keibuannya terpancar ke mana-mana. "Sudahkah seluruh bahan selesai disiapkan?" tanyaku tidak sampai berselang lama setelah aku cukup dipuaskan dengan kebahagiaan sederhanaku. "Baiklah, bisa kita mulai sekarang," kataku, setelah menerima balasan berupa anggukan. Yang bisa dinamakan dengan kolaborasi, mungkin aku hanya akan dianggap sebagai sosok pemandu. Aku tidak masalah, sih, asalkan bisa menyenangkan hati dari wanita pemilik hatiku. Aku memberikan instruksi pertama dengan berseru, "Haluskan bumbunya." "Di mana blendernya?" tanya Zara. Dia terlihat merasa kalau persiapan sebelumnya tidak terlalu sempurna karena dirinya hanya peduli dengan bahan, sedangkan sekian peralatan malah dibiarkan luput dari perhatian. "Ada di lemari atas," sahutku, dimana langsung mendapatkan respons positif dari istriku. Mendapati Zara sedang kesusahan untuk meraih blender di dalam lemari atas di dekat wastafel, tahu-tahu terbit sebuah inisiatif di dalam diriku untuk bertanya, "Apa terjangkau?" "Sebentar," balas Zara, masih bersusah payah hingga menuai suatu keberhasilan, bisa disebut dengan prestasi kecil-kecilan. Andaikan kedua kakiku sudah dapat berfungsi dengan normal, aku akan membangun sebuah adegan romantis seperti di dalam drama korea. Dilanda kegagalan secara bertubi-tubi, Zara berusaha untuk mengatur strategi. "Aku akan mencari tumpuan." Aku menjadi cemas sendiri ketika istriku menyeret-nyeret kurai kayu untuk kemudian dinaiki, bahkan tanganku sudah memasuki detik-detik untuk menggerakkan kursi rodaku, tetapi terurungkan dan bibirku hanya terbuka untuk mengatakan, "Awas, hati-hati." Di atas kursi, Zara malah menyempatkan untuk menolah dan menatap ke arahku seraya berkata, "Tidak usah khawatir, Kak. Meski dari luar diriku terlihat feminin, aku cukup ahli untuk urusan seperti ini." Apakah kau sedang bercanda? Bagaimana aku bisa tidak khawatir? Entah mengapa, aku malah tidak mengutarakan suara hati asliku. Aku yakin benar, bukan karena gengsi, tetapi ... entahlah. "Baguslah. Jantungku bisa terselamatkan." Aku berlagak tenang hingga tahu-tahu langsung dibayar kontan. Zara bisa mendaratkan kedua kakinya di lantai dengan selamat. Tanpa disertai luka maupun lecet. Aku dapat bernapas dengan lega untuk memasuki tahapan memasak berikutnya. "Ambil baskom." "Sudah." "Cuci daging sampai bersih." "Sudah." "Panaskan panci." "Sudah." "Tuangkan beberapa sendok minyak." "Sudah." "Masukkan racikan bumbu kuningnya." "Sudah." "Kalau sudah cukup beraroma dan sebelum mengering, tambahkan dua gelas air." "Sudah." "Masukkan dagingnya." "Sudah." "Aduk-aduk." "Sudah." "Tambahkan sedikit garam dan gula." "Sudah." Dihadapkan dengan instruksiku barusan, Zara langsung mengindahkan dengan tangkas. Dia selalu memberikan energi di dalam setiap gerakannya. Ada bisikan berulang-ulang di kedua telingaku supaya berbuat iseng. Aku hanya tersenyum tipis sebagai ancang-ancangku untuk mengawali gurauanku. "Berikan aku hatimu," kataku. "Sudah." Persis seperti perkiraanku, secara otomatis istriku akan menjawab dengan satu kata sama. Mendadak, aku dibuat ragu kalau istriku benar-benar mendengarkan semua instruksiku dengan baik. Dia malah terkesan sudah bisa bergerak sendiri tanpa harus menunggu disuruh olehku. "Ha? Kak Zaka berkata apa barusan?" respons istriku dengan muka bodoh dan suara bernada polos, tentunya setelah mencium adanya ketidakberesan. Lagi, aku tersenyum. Alih-alih mengulang kalimatku untuk meluruskan, akalku malah mengatakan kalau menjadikan sebagai masa lalu adalah pilihan terbaik. Tidak usah dibuat muncul ke permukaan lagi. Ada bagusnya dikubur dalam-dalam, daripada ketahuan. Aku segera berkata, "Lupakan." Dibalik senyuman simpulku, masih tersimpan rasa heranku, tidak disangka-sangka istriku terperosok ke dalam jebakanku. Menarik, sih. Aku bisa terperdaya dengan tampang polosnya. Dirasa nyaris kelupaan dengan nasib masakan istriku, aku bergegas untuk memerintahkan, "Ah ... tutuplah pancinya." Jeda sekian detik. Aku masih memerhatikan ke arah panci di atas kompor hingga tahu-tahu bibirku sudah terbuka untuk melanjutkan, "Lalu, tunggulah sampai dagingnya matang sempurna." "Siap." Zara mengangkat tangan kanannya untuk membuat gerakan hormat sepintas. Lagi, senyumku mekar berkat kelakuannya. "Aku ke kamar dulu," ucapku tidak berapa lama kemudian. "Oke." Istriku tidak lupa untuk pamer ibu jari dari tangan kanannya. Aku memutar kursiku ke arah berkebalikan. Di momen-momen hening dengan ditemani suara istriku ketika senandung sekadarnya, binar di mukaku berubah meredup hanya dalam waktu sekejap selama aku melewati lorong di area ruang makan. "Zara, kuatlah, karena kurang dari semalam, kabar buruk akan menghampirimu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD