14. Drama Keluarga

1558 Words
Zara's PoV [Zara, aku ada rapat, tugas sudah kukirimkan ke emailmu, nanti harus dikumpulkan tepat jam tiga sore di ruanganku.] Aku senyum-senyum sendiri ketika menangkup wajahku dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku sedang memegang ponsel pintarku. Berhubung teman-teman di kelas sama-sama sibuk bermain ponsel dan sebagain hanya mengobrol dengan teman terdekat mereka, alangkah beruntung diriku karena tidak disangka kalau sudah kehilangan kewarasan. Pesan dari suamiku di w******p adalah hiburan tersendiri untukku. Aku mulai menggerakkan ibu jari dari tangan kanan dan kiriku untuk mengirimkan sebuah balasan pendek. [Iya, Kak.] Beberapa detik setelah aku mengirim pesan siaran ke grup kelas berkenaan tugas dari suamiku, kebanyakan dari teman-temanku langsung melayangkan kata-kata protes, merasa tidak sanggup untuk menyelesaikan, baik dari segi waktu maupun kapasitas otak. "Ha? Masa cuma dikasih waktu dua jam?" "Iya, ih." "Mana mungkin bisa selesai." Aku sangat bingung dengan mereka semua. Yang bisa kusimpulkan sekarang, soal-soal dari suamiku masih termasuk dalam kategori mudah dan hanya membutuhkan waktu sebentar—mungkin, sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit—untuk dipecahkan. "Zara, coba, deh," Winda, sosok wanita berkemeja putih bergaris-garis vertikal berwarna cokelat di sebelah kananku memberikan saran, "mintakan waktu tambahan, kalau bisa, sampai jam empat nanti." Helaan napasku terdengar pelan. Dadipada aku diamuk satu kelas, pilihan terbaikku adalah mengikuti saran kawan baikku, meski tanpa sadar kedua bola mataku sudah terputar. "Iya. Iya, sebentar," jawabku kemudian. [Kak, kalau jam empat, bagaimana?] [Bisa. Tapi, nilai kalian akan aku kurangi lima poin.] Aku merasa akan dibunuh suamiku tanpa harus dengan cara mengotori tangannya. Baiklah, berhubung tawar-menawar dengan adalah kemustahilan, aku hanya perlu mengerjakan hingga selesai dan segera memberikan contekan kepada teman-teman satu kelasku. Ini adalah langkah terefektif, menurut versiku. Aku tidak merasa dirugikan karena tidak pernah menganggap mereka sebagai sainganku. Pada akhirnya, dengan berat hati, kawan-kawan satu kelasku harus pasrah dan mulai mengerjakan, meski mereka tidak luput pernah dari mengeluh untuk setiap menitnya. Akan tetapi, sesudah satu setengah jam berlalu, tiba-tiba aku mendapatkan satu pesan baru dari suamiku. Aku cukup terpaku selama memegang ponsel pintarku dengan tangan kanan masih menggenggam pena. Jujur, rasa-rasanya sekarang aku teramat berhasrat untuk membanting ponselku ke arah lantai. [Zara, tugasnya dikumpulkan waktu pertemuan berikutnya saja.] "Aarrrrgghhh!" Aku menggeram setelah meletakkan ponselku di atas meja dari kursiku dengan kedua tangan terangkat untuk meremas ramputku. Irama napasku berubah tidak keruan. Dadaku bergerak naik dan turun. Inilah bukti bahwa aku sudah kehilangan kesabaran. "Zara, kau kenapa, sih?" Winda terlihat heran selama menatapku setelah aktivitasnya ditunda sejenak. Mungkin, karena aku sudah berkelakuan tidak wajar ketika hari masih terang. Dia bisa berpikir kalau aku sedang dirasuki mahkluk halus. "Aku ... tidak apa-apa, kok," jawabku, bersikap seperti tidak terjadi apa pun, dimana aku sudah memutuskan kalau tidak akan menunggu hingga minggu depan untuk sebatas mengumpulkan tugas, nanti akan langsung aku kumpulkan ... di rumah. *** "Marah, nih?" tanya Kak Zaka ketika aku masih sibuk di depan meja rias untuk menyapukan perona wajah di kedua pipiku, tipis saja. Aku harus tetap terlihat cantik walaupun tidak bepergian ke mana-mana, hanya ke rumah orangtuaku. "Mana ada, marah kepadamu hanya akan membuang-buang energiku," jawabku dengan nada ketus, tanpa menoleh maupun melirik ke arah samping kiriku untuk mengabsen paras tampan suamiku. Aku masih malas untuk berurusan dengannya setelah diperlakukan secara semena-mena, hanya karena merupakan salah satu dosenku di kampus, bukan berarti suamiku bisa selalu dibenarkan setiap mengerjaiku tanpa alasan berdasar. Aku segera berdiri tegak, memutar badan dan sedikit bergeser seraya merapikan gaun berwarna ungu pucat berlengan pendek selututku karena sempat tersingkap waktu aku masih duduk manis di kursi. Aku sedang akan meraih gagang kursi roda suamiku ketika mengatakan, "Sudahlah. Lebih baik, kita berangkat sekarang. Mereka bisa menunggu lama kalau kita terus berdebat." Waktu tempuh dari rumah suamiku ke rumah kedua orangtuaku kira-kira tiga puluh menit. Meski sama-sama dekat dengan wilayah kampus, letak rumah kami berlawanan arah sehingga menjadi terkesan cukup berjarak. Aku dan Kak Zaka sudah selesai makan malam bersama kedua orangtuaku dengan ditemani spektrum putih dan abu-abu, di tengah langit-langit adalah wadah dari sumber cahaya, berupa lampu besar berbohlam lima dengan bentuk seperti bunga. Di salah satu sisi ruangan, sebuah lukisan bergaya klasik terlihat bernaung di dinding dengan sejuta daya tariknya. Yang tidak kalah menarik perhatian, meja kayu berwarna cokelat sungguh rapi dan enak dipandang ketika dikelilingi lima kursi-kursi empuk dengan bantalan terbuat dari busa berkualitas dan diperindah dengan nuansa kuning kecokelatan sebagai warna dasarnya. Dari mimik mukaku sekarang, aku akan terlihat seperti tengah bertanya-tanya, 'Kenapa Papa sama Kak Zaka malah tatap-tatapan?' Agar suamiku dapat terpuaskan secara emosional, maka bisa dikatakan aku sudah mengerahkan kemampuan terbaikku dalam bermain peran. Atas jerih payahku, suamiku mulai sadar akan posisinya, dalam keadaan terjepit di dalam prahara dari keluarga intiku sebelumnya. Dia sudah bergumam, "Mm ... sepertinya, orang asing harus minggir sebentar." Kak Zaka sudah sedikit memutar kursi rodanya ketika menatap ke arahku sepintas dan menuturkan dengan suara lembut, "Zara, tetaplah di sini, aku mau masuk kamar duluan." "Eh?" "Kak Zaka." Aku berlagak keberatan dan seolah-olah hendak mencegah, tetapi tidak benar-benar demikian. Kak Zaka sudah menjauh dari meja makan, menuju kamar tamu sebagai tempat kami untuk beristirahat selama berada di sini, tidak mungkin ke kamarku karena berada di lantai dua. Aku cukup berani untuk meninggikan suaraku ketika menyerukan, "Pa, Ma, tidak bisakah kalian bersikap lebih baik kepadanya?" "Dia akan merasa diperlakukan seperti tamu tidak diundang." "Salahkah?" Di seberang meja, wanita bergaun santai warna putih dengan motif bunga-bunga terlihat luar biasa cuek, hanya terfokuskan dengan cairan berwarna oranye dalam gelas di hadapannya, diraih sebentar untuk diteguk isinya, salah satu minuman segar favoritnya. "Toh, wajar sekali kalau selama masih di rumah sendiri, semua sesuka hati kami, terlebih lagi ... kami memang tidak mengundang suamimu." "Lupakan, aku terlalu malas untuk memaksakan." Aku mau kalah. Di dalam drama keluargaku, karakterku adalah tokoh utama protagonis, selalu tersiksa, memiliki sisi rapuh di balik sikap kuat dibuat-buat akibat racun kepalsuan, tidak pernah suka apabila terlihat lemah di depan orang lain, tetapi hasilnya selalu di luar harapan. "Lalu, kalian di sini hendak menyampaikan sesuatu kepadaku atau hanya sebatas formalitas sebagai alasan sehingga bisa bertatap muka denganku?" Di sudut kiriku, sosok laki-laki berkaus hitam polos terlihat menautkan kelima jemari di kedua tangannya, sengaja diatur berpasangan sedemikian rupa sebagai titik mula dari helaan napas beratnya. Aku dibuat hanyut selama kedua tatapan kami bertemu di udara. Ada keinginan untuk menembus sebuah lapisan tidak kasat mata, mirip sekali dengan sebuah kaca berketebalan melebihi diameter uang koin. Di sini, kami bertiga sama-sama saling merindukan suasana damai dan selalu dibalut dengan kehangatan. Tapi, segala bentuk refleksi dari kerinduan kami bertiga hanya sebatas mimpi belaka, akan hancur berkeping-keping seiring dengan bergantinya hari. "Zara." "Maafkan kami." "Untuk?" Aku bertanya singkat dengan tampang polosku sebelum tergantikan dengan muka angkuh kelewat batasku. "Oh, aku tahu ... untuk perselingkuhan kalian berdua?" ucapku dengan nada sombong, merasa kalau setiap kata-kata dari mulutku adalah kebenaran. Tiba-tiba, aku tertawa layaknya orang gila dengan telapak tangan kiri berada di dahi dan tangan kanan sedang memainkan sendok di atas piring kotorku selama beberapa detik. "Lucu, sudah cukup lama dilakukan," kataku seraya menatap sinis ke ayah dan ibuku secara bergiliran. "Tapi, menyesalnya baru sekarang," sindirku secara terang-terangan. Dirasa ayahku kurang efisien dalam menjelaskan, ibuku segera menatapku dengan maksud supaya aku bisa mengerti kondisi mereka. Dia mulai angkat bicara untuk menegur ketidaksopananku sebagai anak. "Zara, dengarkan sampai selesai dulu." "Iya. Iya." Ada dosa di dalam kata. Meski aku hanya menjalankan skenario, entah mengapa aku bisa terbawa perasaan. Ini sudah merupakan risikoku, tidak mudah untuk diabaikan karena aku bukanlah robot, dimana dalam setiap langkahku, hatiku ikutan terlibat. "Papa dan Mama sudah lama bercerai." Tidak ada canda. Ibuku benar-benar terkesan seperti sudah memperhitungkan semuanya hingga aku cepat-cepat mengukir ekspresi tertegun di wajahku. Aku sudah mengupayakan untuk dapat terlihat tidak percaya. "Ha?" "Tunggu," kataku, "bisa diulang lagi?" "Oh, astaga ... apakah Papa dan Mama sedang bercanda?" Mungkin, aku terlalu serakah karena tidak membiarkan kedua orangtuaku untuk berbicara terlebih dahulu, seolah-olah seluruh alur cerita berada di tanganku. "Tidak, Nak." Dari guratan halus di wajah ibuku, aku bisa menangkap gambaran perintah supaya aku tidak mengedepankan argumenku sendiri. "Pernahkah kami menjadikan hal serius sebagai bahan candaan?" Yang barusan bukanlah pertanyaan, melainkan hanya salah satu bentuk penegasan. Aku beralih menatap ke arah ayahku dengan kedua mata sudah dalam keadaan berair selama ayahku menerangkan, "Zara, kami menikah berdasarkan perjodohan kedua kakekmu dan kami sama-sama tidak bisa bahagia sebagai pasangan dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya." "Tapi, setelah melihat kondisimu ... meski sudah berpisah, kami tetap tinggal satu atap, sekalipun masing-masing dari kami sama-sama telah memiliki pasangan baru," tambah ayahku. Aku tertawa di sela-sela hujan air mataku hingga aku mengucapkan, "Jadi, selama bertahun-tahun ... aku sudah dibodohi?" "Hebat," aku bertepuk tangan dengan gerakan pelan dan wajah terkadang tertunduk, "kalian bisa dilirik sutradara nomor satu di dunia kalau sudah melihat kesempurnan kepura-puraan kalian hingga membuatku tidak dapat sadar dengan cepat." Detik berlalu dengan cepat, tawaku sudah berhenti. Aku merusak suasana senyap dengan menghadiahkan tatapan menusuk kepada ayah dan ibuku, satu per satu. "Papa dan Mama sungguh menjijikkan, bahkan melebihi kotoran ayam di antara air berlumpur." Meski kesedihan bergelayut manja di wajahku, hatiku sedang berbunga-bunga hingga tumbuh senyuman licik di sana. Aku sudah cukup lama berlapang d**a selama menantikan waktu-waktu ke depan dalam menentukan kelangsungan kehidupanku beserta keluargaku. Wahai suamiku, bukankah drama keluargaku sudah sangat meresahkanmu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD