4. Tidak Ada Pilihan

1593 Words
Zara's PoV Tok! Tok! Tok! Di hadapan pintu bercat putih berdaun dua, tangan kananku terangkat dalam keadaan terkepal untuk kuketuk-ketukkan ke papan sebanyal tiga kali. Aku sudah siap untuk bertempur. Dari rumah, aku sudah hapal skenarioku hingga di luar kepala. "Masuk," sahut seseorang dari arah dalam dengan suara terdengar maskulin, tidak usah ditanyakan lagi siapakah sosok di baliknya. Lepas tubuh melesat ke ruang perawatan, tidak ada hasrat untukku duduk santai di samping brankar. Aku memilih berdiri dan menciptakan jarak cukup jauh dari sana dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Wajah angkuhku dalam hitungan singkat sudah mendominasi. "Pak, saya tidak akan berbasa-basi," ucapku. "Tolong." "Jangan laporkan saya." Jelas, dari nada bicara dan pilihan kata-kataku, sama sekali tidak menunjukkan adanya niat. Jadi, bagaimana mungkin bisa dikabulkan? Pak Zaka hanya mengangkat wajahnya setelah mengedip sekali, waktunya untuk istirahat sejenak dari buku bacaan tebal di atas pangkuannya, tanpa merasa harus menegakkan badannya, masih dibuat setengah duduk dengan punggung tersandar. Laki-laki itu menatap ke arahku, diam-diam terlihat malas untuk menjelaskan ulang, tetapi tidak diungkapkan. "Zara, seperti ucapanku kemarin, kau tidak usah khawatir karena aku tidak akan menuntutmu, selama dirimu berkenan untuk membayar kerugianku dengan cara merawatku seumur hidupku." Dilatarbelakangi maksud untuk menusuk hatiku dalam-dalam, Pak Zaka sempat menatap kedua kakinya dengan wajah sedih, kedua kakinya memang terlihat memprihatinkan karena sedang dibalut perban, bahkan berlapis-lapis. Laki-laki itu mengambil nada rendah selama mengatakan, "Yah ... kau tahu sendiri, sekarang kondisiku sudah tidak seperti sebelumnya." Aku meluruskan kedua tanganku ke bawah dalam keadaan terkepal, berlagak menahan amarah dan kekesalan tiada tara. "Tapi, Pak, saya masih terlalu muda untuk menjalani bahtera rumah tangga dan tidak mungkin mampu merawat Bapak," ucapku dengan irama menggebu-gebu dan dihujani emosi, "terlebih lagi ... saya hanya anak manja, mana tahu caranya mengurus orang sakit." Ujaran keberatan barusan tidak digubris dengan baik. Persis dengan perkiraanku. Pak Zaka masih bersikukuh terhadap rencananya semula. Meski hatiku terbilang puas, tentu aku merasa kalau masih diperlukan bumbu untuk membuat cita rasa dari drama kami semakin lezat hingga dapat membuat ketagihan sesudah menikmatinya. Laki-laki itu menghela napas selama sekian detik untuk mengucapkan, "Ketahuilah, maksudku menikahimu tidak lain untuk sebatas memberikanmu sebuah ganjaran atas sikap sembronomu ... masih tidak paham?" "K- kau!" Atas dasar refleks palsu, aku menunjuk muka laki-laki itu dengan kedua pupil mata terlihat penuh hingga menyerupai bulan purnama. Aku menarik napas seraya menurunkan tangan kananku dengan kasar sebelum mendengus singkat. "Baiklah." "Nikahi aku!" "Bisa kupastikan, kau akan terus dihantui dengan sebuah penyesalan tidak terbatas!" Oktaf dari suaraku terbilang sangat tinggi. Mungkin, nyaris melewati tangga nada terakhir. Tanpa menghapuskan tampilan kedua mata melototku, tatapan tajam segera kuhibahkan kepada calon suamiku beberapa detik sebelum terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Brak! "Dasar, wanita tanpa hati." "Bisa-bisanya bersikap tidak sopan kepada kakakku." Ha? Ada suara feminin? Aku memutar badan sebesar empat puluh lima derajat, menuju arah berlawanan dengan putaran jarum jam. Yang aku temukan adalah sosok wanita muda sedang berjalan mendekat ke tempatku dengan wajah dipenuhi gurat ketidaksukaan. Jengah mendadak, aku tahu-tahu sudah memutar kedua bola mataku. Haruskah aku meladeninya? Di tengah-tengah daerah ruangan terkosong, kami berdua saling beradu mata. Aku merasa diuntungkan sekaligus karena tinggi badanku lebih unggul. "Jelas bersalah. Tapi," ucap wanita berhijab merah bata di hadapanku dengan muka sinisnya, "bukannya meminta maaf dengan tulus, kau malah berusaha untuk mengintimidasi kakakku ... harusnya kau bersyukur karena kakakku sudah berbaik hati dengan mengampunimu." "Tapi, di sini kakakmu sangat tidak masuk akal," ucapku dengan kedua tangan terangkat lagi untuk kulipat di depan d**a dalam rangka menggambarkan keegoisanku sehingga terlihat bertambah nyata. "Oh." Aku beralih menatap ke arah Pak Zaka dengan makna khusus, apalagi kalau bukan menuduh berdasarkan anggapan asal-asalanku. "Aku paham sekarang ... mungkin gara-gara kakakmu sampai umur segini masih belum laku-laku sehingga memutuskan untuk memaksakan pernikahan denganku," cemoohku. "Kata siapa? Dengar, sebagai dosen, kakakku sangat terkenal di kalangan mahasiswi, bahkan dalam beberapa kesempatan mereka selalu menghalalkan strategi untuk bisa berdekatan dengan kakakku." Yang tidak terima malah calon adik iparku, seperti lupa dengan dirinya sendiri, terlalu berlebihan hingga menandingi kakaknya. Alisku terangkat sebelah untuk mempersilakan atas kemunculan dari tatapan merendahkan dari kedua netraku. "Oh, ya?" gumamku santai, tetapi tetap diciprati sikap meremehkan. Diremehkan olehku, calon adik iparku hanya membisu seraya menggigit bibir bawahnya, seolah-olah sedang menahan bara api di puncak kepalanya. Aku malah memperkeruh suasana hatinya dengan mengatakan, "Ya, sudah, kalau begitu, suruh kakakmu untuk menikahi salah satu dari mereka." Dari ekor mataku, Pak Zaka terlihat memijat pelipis kepalanya sebentar hanya dengan menggunakan tangan kanannya, besar kemungkinan karena terserang pening gara-gara keributan barusan. "Uluh, uluh, kasihan sekali." "Janna." "Wanita di hadapanmu sudah bersedia untuk menikah denganku." "Jadi, mulai sekarang ... hormatilah dirinya seperti ketika dirimu menghormatiku." Benarkah aku sedang dibela? Rasanya, aku sungguh tidak tahan untuk segera tertawa terbahak-bahak, tetapi mustahil kalau bisa kulakukan untuk masa sekarang. Duh, amat disayangkan. "Idih," ucap Janna dengan kedua tangan diangkat dan disedekapkan, tidak mau kalah dariku, "status tidak akan mengubah apa pun." Lirikan sinis aku dapatkan dari calon adik iparku. Disambung dengan dengusan pelan. "Aku tidak sudi kalau harus bersikap baik kepada wanita tidak tahu terima kasih seperti dirinya," ucapnya dengan mata hanya memandang ke arah kakaknya tercinta. Aku menepuk jidatku sekali dengan pukulan pelan dan hanya menggunakan tangan kiriku sebagai tangan terlemahku seraya menggeleng ringan. "Lucu, sejak kapan aku tertarik untuk dihormati oleh gadis kecil sepertimu?" Diawali dengan dagu kudorong maju sepintas, kedua kelopak mataku kubuka cukup lebar sebagai bekal untukku mengucapkan, "Ingatlah baik-baik. Aku tidak pernah gila hormat." "K- kau," ucap Janna dengan tangan kanan diangkat tinggi, sedang mengarahkan ujung jari telunjuknya ke mukaku gara-gara naik pitam setelah mendengar suara bernada angkuhku untuk kesekian kali. Syukurlah. Aku masih bisa memegang teguh prinsipku. Yaitu kita tidak boleh sombong, kecuali kepada orang-orang menyebalkan. Yang aku saksikan berikutnya, Pak Zaka mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan dibiarkan ke depan dan badan atas ditegakkan. "Sudah. Sudah." "Berhentilah berdebat," tegasnya, "kalian berdua harus belajar untuk akur!" Dua tangan diluruskan ke bawah dan badan sedikit diputar ke arah kanan, adalah awal mulaku untuk memusatkan perhatian kepada sosok laki-laki berpakaian ala pasien rumah sakit di atas kasur. "Pak Zaka, ayah memberikan dua syarat. Pertama, acara diselenggarakan secara sederhana. Kedua, maharku adalah sebesar satu miliar," kataku. "Cih." "Kalian benar-benar tidak tahu malu. Bahkan, nyawa kakakku hampir melayang karenamu." Yang berkomentar barusan bukan calon suamiku. Aku tidak merasa perlu untuk menyebutkan namanya karena hanya akan menyebabkan bibirku kelelahan. Tiada efek positifnya untuk dilakukan. "Baiklah," ucap Pak Zaka untuk mendinginkan udara, terutama di sekitar kami berdua, meski tetap kelihatan berat sebelah, "katakan kepada ayahmu kalau aku akan menyanggupinya." "Kak," ucap Janna. Dari mimik mukanya, masih diliputi keberatan. Dia terlihat tidak bisa merelakan kalau harus memiliki kakak ipar semacam diriku, barangkali karena kesan pertamaku teramat buruk, seperti manusia tidak berhati dan tidak berguna. Baguslah. Aku tidak harus dicintai mereka terlalu banyak. Kelak, tentunya akan sekadar merepotkan. Pak Zaka menghela napas dengan kedua tangan ditumpukan di atas kasur, di sisi kanan dan kiri tubuhnya. Mungkin, laki-laki itu bukan hanya mulai kacau akibat tingkah laku kami, melainkan memang sudah kacau. "Sudahlah, bukan masalah besar untukku," ucapnya dengan karakter suara seperti tengah menahan sesuatu. Ketika Janna menghampiri Pak Zaka, aku hanya diam di tempat, sebatas menjalankan sikap siap khas selama upacara bendera berlangsung kalau sudah lemas. "Tapi, uang satu miliar bisa didapat dari mana?" "Kau tidak perlu cemas ... tabunganku sudah lebih dari cukup," sahut Pak Zaka. Aku menarik rambutku ke belakang dengan menggunakan tangan kiriku, kutahan sebentar karena pikiranku sedang berkelana ke mana-mana. "Apakah aku akan menikah dengan laki-laki tidak waras?" tanyaku di dalam hati dengan segenap keherananku. Aku melanjutkan membatin dengan manik mata memandang penuh selidik ke arah objek pikirku, "Calon suamiku sangat aneh, sudah dijahati habis-habisan, malah terlihat menerima dengan lapang dada." "Terserah. Tapi, ingatlah. Aku tidak pernah memaksa," ungkapku dengan ketus, tetapi hanya ditanggapi dengan kepala dingin, sama sekali tidak terpancing. "Iya." Aku sungguh bertanya-tanya sekarang. Benarkah laki-laki itu masih layak disebut dengan manusia? Apakah tidak terlalu baik? "Ish." Adu kalimat kututup dengan desisan kilat sebelum kedua kakiku terayun cepat untuk enyah dari hadapan kakak-beradik terklop di dunia. Langkahku dimudahkan setelan semi formalku, atasan berupa blazer warna krem dengan dilengkapi celana panjang berwarna senada bercorak kotak-kotak. Dalam setiap pijakan kakiku, secara tidak terduga pikiranku melayang hanya demi mengenang wajah tampan dari calon suamiku. "Aku baru menyadari, bahwa ternyata ... berdrama dengannya bisa sangat menyenangkan," gumamku dengan salah satu sudut bibir melengkung tipis. Aku tiba di parkiran setelah menghabiskan waktu lima menitku dalam alunan langkahku. Di dalam mobil pintarku, sebagian besar fasilitas serba berjalan secara otomatis hanya dengan mendengar perintah dariku. Di rumah pun aku terbiasa dengan kecanggihan teknologi, seperti membuka pinti tanpa harus menyentuk, menyalakan lampu tanpa harus menekan saklar, membuka gorden tanpa harus beranjak dari kasur, dan masih banyak lagi. Entah mengapa, aku tidak langsung enyah dari pekarangan rumah sakit, secara mendadak malah terbayang akan sosok kedua teman kuliahku untum mendukung sandiwaraku karena aku masih diawasi calon suamiku, sepertinya. "Jahat, kenapa tega sekali dirimu, diam-diam merebut suami masa depanku." "Benar." "Bukankah dulu ... setiap kali kami sedang menaruh kekaguman kepadanya, dirimu tidak pernah satu pemikiran dengan kami?" "Dasar, wanita munafik, hanya berani mengalahkan kami dengan cara menusuk dari belakang." "Tidak!" "Aku bukan wanita munafik." "Tapi, aku hanya tidak diberikan pilihan lain." Bertubi-tubi, aku mengirimkan sugesti berupa kalimat-kalimat bertekanan demi bisa mendalami peran dengan lancar. Aku menggeleng berulang-ulang dengan sebelah tangan terangkat untuk membekap mulutku, berharap kalau pesanku dapat tersampaikan dan menyetuh hati calon suamiku, sisi terpurukku harus menjadi senjata ampuhku untuk melumpuhkan laki-laki itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD