3. Kenapa Harus Menikahinya?

1587 Words
Zaka's PoV Zara Adya Mecca. Gadis itu kasihan sekali. Lima belas menit sebelum mencapai kesepakatan dengan Zara, entah mengapa aku malah terpikirkan untuk menipunya dengan berpura-pura kalau masih belum sadar. Aku teramat picik dalam bertindak, sepertinya. Jelas, kesadaranku sudah kembali beberapa jam sebelumnya, bahkan aku bisa langsung menghubungi adik perempuanku untuk memberikan kabar terkini mengenai kondisiku sehingga masih tidak pulang ke rumah meskipun sudah semalaman berada di luar. Janna baru masuk ruang perawatanku tidak lama setelah Zara dan Tuan Yusuf melangkah keluar dari kamar dan berlalu untuk meninggalkan area rumah sakit dengan teramat tergesa seakan-akan sudah tidak tahan akibat terus mencium aroma khas obat-obatan di sekitar. Duduk di kursi di sebelah kanan brankar, adikku terlihat mencebikkan bibirnya. Dia asyik menggerutu karena merasa tidak terima sesudah mendapatiku habis diperlakukan dengan semena-mena, tidak dihargai sama sekali sebagai manusia. "Benar-benar keterlaluan." Adikku terlihat garang dengan kedua lengan dilipat di depan d**a, terlebih karena didukung sorot mata tajamnya. Aura feminin dari gamis cokelat tua dan kerudung mustard-nya terkubur dalam-dalam. Dia malah memperparah kerutan di dahinya selama mengucapkan, "Gadis itu sudah membuatmu sampai begini." "Parahnya, ayahnya malah memilih untuk menawarkan uang damai kepadamu." Dilatarbelakangi dengan ketidakpuasan, adikku terus mengungkapkan kegondokan hatinya dengan pandangan masih dibuat lurus ke depan. Adikku tiba-tiba menoleh untuk menatapku sesudah memperoleh keberanian, entah dari mana. "Kak." "Hm?" sahutku. Aku tahu benar. Meski dari luar adikku terlihat tangguh, sebenarnya sekarang sedang remuk sehancur-hancurnya. Gadis itu terlihat meremas kasur dengan mata berkaca-kaca selama bertanya, "Apakah kau baik-baik saja?" Aku memperlembut tatapanku dengan memaksakan sedikit tersenyum untuk mewarnai wajah pucatku. Adalah langkahku untuk menenangkan adikku satu-satunya. Aku berinisiatif untuk mengangkat tangan kananku dan mengelus puncak kepala adikku sepintas. "Tentu saja," jawabku kemudian. Air mata adikku mulai berguguran. Jatuh secara perlahan-lahan. Ibarat disesuaikan dengan suatu irama musik selama menuruni wajahnya. "Aku tidak paham," ucap adikku dengan suara serak dan basahnya, "kenapa kau bisa terlihat tidak sedih sama sekali? Tapi, malah bersyukur." Aku mencoba memahami maksud dari ucapan adikku. Ada kesedihan mendalam di sana. Apakah masih bisa dikeruk? Entahlah. Mungkin, akan sangat menyulitkan untuk diupayakan. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengutarakan, "Janna, setiap cobaan datangnya dari Allah. Itulah mengapa aku bersyukur dalam keadaan apa pun, artinya aku sangat diperhatikan oleh-Nya." Janna mendadak terdiam. Luncuran cairan hangat dari kedua sudut matanya mulai terhenti. Aku menduga kalau adikku sedang memutar otak. Mungkin, dilakukan untuk memikirkan nasibku. "Kak," ucap adikku dengan suara bernada rendah, "bagaimana kalau aku membatalkan pendidikanku di luar negeri?" Dimintai tanggapan untuk sesuatu bermakna bertolak belakang dengan suara hatiku, mana mungkin aku bisa memberikan restu sehingga aku segera membuka bibirku untuk membantah, "Tidak, Janna. Aku tidak akan mengizinkanmu." Aku meraih salah satu pundak adikku dengan menggunakan tangan kananku, berusaha menguatkan niat adikku semula. "Ketahuilah. Impianmu adalah sebagian dari impianku, aku tidak suka andaikan dirimu sampai mengorbankan impian terbesarmu," kataku. "Lalu? Bagaimana denganmu?" Jeda sebentar dengan netra kami tahu-tahu sudah terkunci seketika. "Bahkan, sekalipun gadis itu bersedia untuk menikah denganmu, tetap saja ... sebagai satu-satunya saudaramu, aku masih tidak tenang. Dia terlihat seperti anak manja, mustahil sekali bisa merawatmu dengan baik," ucap adikku, "lagipula, kenapa harus menikahinya, sih? Logis. Ada cara-cara lain untuk membuat sosok penyebab kecacatanku bisa membayarkan perbuatannya. Akan tetapi, aku malah memilih keputusan kurang masuk akal. Jadi, wajar sekali andaikan adikku sampai bertanya-tanya. Aku hanya mengarang alasan sesuka hatiku. "Yah ... alasanku terbilang sederhana, karena aku hanya bersedia dirawat oleh mahramku tanpa harus mengeluarkan banyak biaya," ucapku, "sudah cukup jelas, bukan?" "Ya. Tapi, kenapa harus dirinya?" Tatapan Janna kepadaku berubah menuntut. Adikku terkesan tidak menyukai keputusan instanku. Aku merasa bersalah karena tidak melibatkan adikku terlebih dahulu sebelum memilih suatu tindakan. "Apakah kau menyukainya? Aku menghela napas dengan telapak tangan menciptakan gerakan cengkeraman pelan selagi menumpu di atas kasur. Baiklah. Sikapku memang sudah terlalu berlebihan. Aku akan mengakuinya dengan suka rela. Hingga secara tiba-tiba, ekspresiku berubah suram. "Lain waktu," ucapku dengan nada tidak suka sesudah tangan kananku melepaskan salah satu pundak adikku. "Jangan pernah menguping secara sebarangan, sungguh tidak sopan." Dapatkah aku memilih antara cinta dan rasa iba? Aku sendiri tidak paham. Bagaimana bisa aku berupaya untuk menyelamatkan seseorang dengan cara membawanya masuk ke dalam kehidupanku? Unik, sih. "Ish. Aku hanya tidak sengaja mendengar dan merasa nanggung untuk dilewatkan." "Kak." Adikku secara mengejutkan malah memegang salah satu lenganku dengan menggunakan kedua tangannya. Aku hanya memberikan balasan singkat berupa gumaman pelan, "Hm?" Rupanya, Janna memaksaku untuk berkata jujur. Dia tidak tanggung-tanggung karena hanya berselang sebentar sudah menyerukan, "Jawablah pertanyaanku sebelumnya." "Tidak ada alasan khusus," balasku sebagai usahaku menghindar supaya tidak ditanya lebih lanjut, "aku hanya akan merasa puas kalau gadis itu bisa bersikap dewasa dengan cara menebus kesalahannya." Lagi, menutupi sesuatu adalah keseharianku. Alibiku untuk menjadi sosok malaikat tidak bersayap bagi Zara sudah semakin menguat sejak sekian hari lalu, apalagi kalau bukan gara-gara adanya cuplikan adegan mengesalkan di layar komputerku, ketika kedua mataku menyaksikan gadis itu sedang dibentak-bentak dan dipukuli meskipun tidak melakukan kesalahan apa pun. Baik Tuan Yusuf dan Nyonya Maya, mereka berdua sama-sama sangat tidak layak dihormati sebagai sosok orangtua. Oh, astaga ... sekarang aku dibelenggu curiga, barangkali rasa ibaku sudah menjelma menjadi cinta luar biasa. *** Zara's PoV "Apa keputusanmu, Sayang?" Helaan napasku terdengar jernih. Sungguh, sebaris pertanyaan dari bibir seorang wanita paruh baya bergaun abu-abu sebatas lutut di seberang meja makan terdengar mengusik kedua telingaku tanpa mengenal permisi. "Duh, Ma. Aku lagi malas berakting." Namun, segalanya percuma. Aku tahu benar, baik ayah dan ibuku sama-sama menginginkan supaya masalah keluarga dapat terkelarkan dengan cepat. Pak Zaka harus segera tenggelam dalam perangkapku. Itulah intinya. "Mau menyelesaikan masalah melalui meja hijau atau pasrah dengan menerima tawaran laki-laki itu?" tanya ibuku kemudian. Mungkin, aku terlalu kelamaan dalam menyiapkan respons. Mimik muka tidak berselera harus segera kutampilkan. Dari hasil meng-hack smarthome di rumahku, Pak Zaka tentu bisa mengawasiku, apalagi dengan keberadaan kamera CCTV di salah satu sudut atas ruangan. Aku sudah sukses dalam menarik perhatian laki-laki itu, bahkan dimulai sejak kesan pertama. "Tidak keduanya, Ma," sahutku dengan kedua tangan kuperintahkan untuk memainkan sendok dan garpu dalam waktu bersamaan, hanya sebatas mengaduk-aduk nasi di piringku. "Jangan bodoh." Aku dihadiahi tatapan tajam dari ayahku. Mungkin, kalau diperhatikan baik-baik, akan lebih layak kalau disebut dengan pelototan hingga rasa-rasanya aku harus terlihat segan ketika menatap ke arah ayahku. "Dengar." "Jika dunia sampai tahu kalau dirimu terkena suatu kasus, maka nama baik keluarga bisa hancur dan ... bagaimana dengan nasib perusahaan nanti?" imbuh ayahku sebelum menaruh ponsel di salah satu tangannya ke atas meja. Dia sudah mempersiapkan sebuah ultimatum. "Menikahlah dengannya." Di mata Pak Zaka, ayahku terkesa terlalu cepat berubah pikirkan. Menurutku, bukan masalah besar karena ayahku sudah sukses dalam membangun karakternya, sebagai sosok orangtua otoriter sehingga setiap keputusan sudah tentu tidak dapat diganggu gugat lagi. "Tapi, Pa," ujarku dengan nada keberatan. Ayahku berusaha untuk terlihat tidak peduli kepadaku dengan cara mengisikan satu sendok sayur sop ayam ke piringnya. Dia harus menampilkan mimik muka tidak terbebani selama berkata, "Tidak usah khawatir. Papa akan memberikan dua syarat kepadanya. Pertama, acara diselenggarakan secara sederhana dan tertutup. Kedua, maharnya sebesar satu miliar." Aku berlagak mencari pembelaan dengan meluruskan wajahku untuk menatap ibuku di seberang meja. "Ma," ujarku kemudian, tetapi ibuku tetap asyik menyantap makan malam. "Sudahlah, sepertinya tidak ada pilihan lain," ucap ibuku dengan gaya bicara cuek minta ampun, sebagai karakter buatannya. Aku tidak diberikan kesempatan untuk berbicara. Begitulah adanya. Ide dari kedua orangtuaku bisa dibilang cukup cemerlang. Bukankah dengan demikian, di mata sasaran ... nasibku akan semakin terkesan memprihatinkan? "Egois!" ucapku dengan suara bernada tinggi, bersamaan dengan kedua tanganku ketika melepaskan kedua gagang alat makanku sementara tubuhku sedang berupaya untuk tegak sebelum kedua kakiku dipenuhi energi sehingga dapat tergerak cepat dan mengantarkanku ke kamar. Ini adalah kehidupan keluargaku, dimana kami bertiga sama-sama terpaksa menjadi orang lain. Ayahku, sebagai sosok berwibawa dan penyayang keluarga harus bersikap seperti manusia tanpa hati, selalu ditakuti anak buahnya dalam kiprah kariernya selaku bos besar di sebuah perusahaan di bidang makanan. Ibuku, sebagai sosok wanita lembut dan hangat harus kehilangan sifat keibuannya untuk digantikan dengan kaum sosialita hingga gemar mengabaikan keluarga. Aku, sebagai sosok gadis muda berjiwa kuat harus rela untuk selalu berpura-pura angkuh, tetapi rapuh, cengeng dan seperti hilang arah. Lepas duduk di tepian kasur, air mataku muncul secara tidak terkendali, bahkan diiringi dengan ungkapan kesedihanku dalam satu tarikan napasku. "Apa salahku? Kenapa mereka tidak pernah mendengarkan pendapatku?" Dibuka dengan usapan telapak tangan kananku di area kedua mataku secara bergantian, kepalaku bergegas melahirkan gerakan gelengan pelan sementara bibirku tergerak untuk menggumamkan, "Tidak. Tidak." "Aku tidak sudi untuk menikah muda, apalagi bersama laki-laki dengan usia terpaut cukup jauh dariku. Apa kata teman-temanku nanti?" Isak tangis kubiarkan lolos untuk mendramatisir keadaan, ditemani dengan terkatupnya kedua kelopak mataku. "Aku tahu," gumamku di sela-sela irama napas tidak teraturku, "segalanya memang salahku. Tapi, kenapa harus menikah?" Aku meremas lembaran kain berwarna kuning dari potongan gaun santai selututku di atas kedua pahaku dengan diperkaya banyak energi. Dadaku mendadak menari dengan lincah, naik dan turun. Awal mula atas adanya ketegangan di setiap pori-pori wajahku. Aku bertanya-tanya dengan menggunakan suara bervolume rendah, "Bukankah laki-laki itu sama artinya dengan mencuri kesempatan di dalam kesempitan?" Jeda sebentar. Aku akan berpura-pura kalau sedang berpikir serius, seakan-akan enggan menerima kesalahan, meski tercipta secara tidak sengaja. "Tidak ada cara lagi. Aku harus bisa bertemu dengannya dan mencoba untuk bernegosiasi. Yah ... siapa tahu, laki-laki itu akan berubah pikiran setelah berbicara empat mata denganku," ucapku setelah mengatur mimik mukaku hingga hanya menampilkan raut ketegasan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD