5. Jangan Pernah Berharap Lebih Kepadaku

1930 Words
Zaka's PoV TANTEKU—adik dari ibuku—datang ke rumah sakit beserta suaminya untuk menjengukku. Mereka berdua berangkat dari Kota Surakarta dengan menggunakan mobil pribadi dan sampai di Kota Semarang sesudah menempuh waktu selama 2,5 jam. Aku dibawakan buah-buahan segar. Diharapkan dapat menemaniku terutama dalam masa-masa kosongku selagi masih dihadapkan dengan tahap pemulihan. "Ya, ampun, Zaka," ucap Tante Indah dengan suara cemasnya, duduk di pinggir ranjang, menghadap ke arahku. "Kenapa kau bisa mengalami kejadian malang hingga membuatmu harus ...." Diperhatikan fisikku hampir secara menyeluruh, bibirku cepat-cepat berinisiatif dengan membuat celah dan menyela, "Allah bisa menegurku kapan pun, Tan. Mungkin, karena aku kurang berhati-hati." "Duh, Kak," ucap gadis manis di sisi sebelah kiriku, siapa lagi kalau bukan adikku tercinta, "apa susahnya sih berkata jujur!" "Iya. Iya," kataku sebagai harapan palsu untuk adikku. Meski aku tahu benar maksud dari ungkapan adikku, aku tidak membiarkan raut masam terhapus dari muka adikku. Yang mana, aku malah memanfaatkan kesempatan berbicara untuk memberitahukan kepada kedua kerabat dekatku mengenai rencana pernikahanku. "Om, Tante, aku mau memberitahu sesuatu," ungkapku dengan mimik wajah sungguh-sungguh, "mm ... kalau tidak ada halangan, sebentar lagi aku akan menikah." "Kak, maksudku—" Janna kasihan sekali, bernasib malang untuk sekian kalinya, ucapannya terpotong Tante Indah. "Benarkah?" Aku sudah mengira bahwa kabar bahagia dariku akan melambungkan hati tanteku. Wajah sumringahnya dapat dinikmati setiap mahkluk bernyawa di kamar rawatku. "Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan calon istrimu," ujar Tante Indah dengan cahaya di wajah masih tetap kentara, tidak berkurang sekalipun berdetik-detik sudah berlalu. Janna terlihat memberengut kesal dengan kedua tangan dilipat di depan d**a, sementara aku sudah semakin membuat Om Ilham dan Tante Indah hanyut dalam pusaran berupa ribuan kelopak bunga. "Om dan Tante bisa menemaniku untuk melamarnya, bukan?" tanyaku kemudian. Om Ilham terkekeh. Laki-laki berkumis di sisi sebelah kananku tersenyum renyah kepadaku. "Tidak usah ditanya lagi," katanya seraya menepuk pundak kananku sepintas, "kami akan selalu siap." "Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Kak!" Adikku marah, mungkin merasa kepanasan karena berdekatan dengan orang sepertiku—suka pura-pura tidak peka—hingga memutuskan untuk segera berlalu meninggalkan ruangan. "Eh, ada apa, sih?" tanya Tante Indah dengan gurat penasaran sudah bergelantungan di permukaan dahinya. "Kenapa adikmu terlihat tidak senang? Apakah karena adikmu belum merestui kalian berdua?" tanya Om Ilham, sama penasarannya dengan istrinya, bahkan sempat menatap heran ke arah adikku ketika sedang melangkah keluar dengan ayunan kaki cepat. "Mungkin," jawabku, tetapi hanya mengada-ngada saja, "Janna masih tidak menyangka kalau kakak satu-satunya akan segera menikah." "Ah." Tane Indah kubiarkan menarik kesimpulan sendiri. Wanita itu manggut-manggut dan mengatakan, "Aku paham. Dia tentu sedang ketakutan apabila harus kehilangan sebagian dari kasih sayangmu." Aku hanya tersenyum tipis, bahkan setelah tanteku mengutarakan rencana baiknya. "Nanti, aku akan mencoba berbicara dengannya dan berusaha untuk mengertikan dirinya." Bukan maksudku untuk bersikap kurang sopan. Aku hanya kalau khawatir kalau terjadi kebocoran informasi gara-gara mereka berdua saling bertukar kata satu sama lain. Dirasa terlalu berisiko, aku harus cepat-cepat mencarikan solusi. "Tidak usah repot-repot, Tan," kataku, "aku bisa menyelesaikan sendiri." "Baiklah," balas Tante Indah dengan ditemani tersenyum lembut, seakan-akan sedang mencoba berdamai terhadap kelakuanku, "aku tidak akan memaksa." *** Zara's PoV Acara pernikahan diadakan seadanya, tanpa resepsi dan hanya akan dilangsungkan selama setengah hari. Aku dan Pak Zaka menikah ketika masa liburan kampus belum selesai. Tidak ada tamu undangan selain kerabat dekat. Tidak ada hiburan pula. Begitulah, semuanya serba sederhana. Di hadapanku, bapak-bapak selaku petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) sedang mengonfirmasi identitas kami, bahkan termasuk memastikan kalau pernikahan kami tidak didasari dengan unsur paksaan. "Ananda Zara Adya Mecca, apakah engkau bersedia untuk menjadi istri dari saudara Zaka Wardhana Kusuma?" Disapa dengan pertanyaan demikian, sebagai langkah pertama, aku menarik napas dalam-dalam, harus percaya diri karena sudah melakukan persiapan sebelumnya. Lepas menatap kedua orangtuaku secara bergantian, bibirku terbuka untuk menyerukan, "Aku tidak bersedia, sebelum Mama dan Papa berjanji untuk tidak bercerai dan saling setia hingga maut memisahkan." Hadirin di ruang tamu rumahku tercengang seketika. Wajah mereka seperti tengah sibuk bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Kenapa dalam momen sakral, aku malah sempat berdrama? "Zara, apa-apaan dirimu?" tanya ayahku dengan suara sengaja dipelankan, berlagak tegang bebarengan dengan ibuku. "Pernikahan tidak akan dilanjutkan selama Papa dan Mama belum membuat kesepakatan denganku, hitam di atas putih," tegasku. Aku dilirik calon suamiku. Anehnya, bukannya kecewa, malah tersenyum tipis di dalam kebisuan. Laki-laki itu sedang menilaiku cerdik karena bisa memanfaatkan kesempatan dengan baik, bukan? Dalam rangka meredakan suasana tegang di sekitar, perjanjian hitam di atas putih segera ditunaikan ayah dan ibuku. Mereka tentu sudah mengetahui rencanaku. Jadi, sudah bukan hal mengejutkan lagi. Hari sudah hampir siang dengan matahari akan menduduki posisi puncak hanya dalam hitungan menit. Akad nikah cepat-cepat dilaksanakan. "Saudara Zaka Wardhana Kusuma bin Lanang Wardhana, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Zara Adya Mecca binti Yusuf Ade Bachtiar dengan maskawin berupa seperangkat alat sholat, perhiasan emas senilai dua puluh gram dan uang sebesar satu miliar rupiah dibayar tunai!" Saat menjabat tangan kanan penghulu, Pak Zaka terlihat tenang selama melafalkan jawaban ijab atau lebih dikenal dengan kabul. "Saya terima nikah dan kawinnya, Zara Adya Mecca dengan maskawin tersebut dibayar tunai." "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah!" Usai hubungan suami dan istri di antara kami diakui, aku mencium tangan kanan suamiku dilanjutkan dengan dikecupnya keningku oleh bibir suamiku. Aku tersenyum penuh arti, bukan untuk pamer kebahagiaan. Aneka unek-unek di dalam atinku meronta-ronta untuk dilepaskan. Yang didukung dengan mimik mukaku, sorot mata dan gerakan kecil-kecilan dari alisku. "Suamiku." "Jangan pernah berharap lebih kepadaku!" *** Zaka's PoV Hari kedua pasca menikah, hubunganku dengan istriku masih belum menuai kemajuan. Dia belum terbiasa dengan kehadiranku, begitu pula sebaliknya. Aku hanya sering berusaha untuk menutupi kekakuanku dengan tersenyum. Di meja makan, arah sudut kanan dari tempatku, terlihat istriku sedang memainkan ponsel dengan sebelah tangan digunakan untuk memegang perut datarnya. "Duh, hari sudah siang, lama-lama perutku bisa bermasalah gara-gara telat makan terus, kenapa kalian tidak mempekerjakan pembantu, sih?" "Takut miskin?" Lirikan mata istriku sungguh mengena. Aku baru akan menjadi ketika suara feminin beroktaf rendah dari dapur menginterupsi tanpa izin. "Dasar, wanita tidak berguna, cuma bisa mengoceh dan tidak peka, harusnya sebagai seorang pendatang bisa sadar diri." "Hei," ucap Zara dengan irama kasar, "asal kau tahu. Meski suaramu sangat kecil, kedua telingaku masih mampu untuk mendengarnya!" Panas adalah santapanku setiap mereka berdua bertatap muka, keduanya sama-sama mudah tersinggung, selalu terpancing kalau salah satu sudah berkilah. "Oh, ya? Baguslah," adikku menanggapi tanpa diliputi perasaan bersalah. Ini baru dua hari, bagaimana kalau setahun? Entahlah. Aku sedang tidak sanggup untuk membayangkannya. Yang aku upayakan adalah sekadar mendekatkan keduanya secara pelan-pelan. "Zara, bantulah adikku, kasihan kalau harus mengerjakan semuanya sendirian," ucapku tanpa disertai pemaksaan kehendak, melainkan hanya sedikit dibumbui dengan bujuk rayu. "Apa? Kau menyuruhku?" balas Zara terdengar tidak terima setelah berhenti bermain ponsel, entah untuk waktu lama atau sebentar, otakku tidak berani menjamin hingga sampai menebak-nebak. "Lupakah? Aku masih kelelahan akibat ulahmu semalam." "Maaf, sungguh ... semalam aku benar-benar tidak tahan," jawabku. Kemarin, waktu akan tidur, kami terus bersitegang masalah suhu ruangan hingga berakhir dengan berebut remote Air Conditioner (AC). Aku tidak tahan dingin, sementara istriku tidak tahan panas. Beginilah adanya, kami benar-benar saling bertolak belakang hanya untuk perkara sederhana. "Ish," ucap Janna secara tiba-tiba, "kalian menyebalkan sekali!" Adikku tahu-tahu membanting seluruh bahan makanan ke dalam baskom, melepaskan celemek di tubuh kurusnya seraya menatap sengit ke ruang makan, hanya beberapa meter dari dapur. "Aku mau sarapan di luar!" Gadis itu berjalan cepat dengan muka cemberut untuk menuju bagian rumah terdepan. Bibir merah delimanya dikerucutkan selama melewati daerah kosong di sebelah meja makan. "Aku baru sadar, ternyata adikmu tidak kalah aneh darimu," gumam istriku beberapa detik kemudian. Aku hanya mengangkat bahu, walaupun diam-diam sudah diselubungi keheranan. Di mana sisi anehku? Aku tidak tahu. Apa karena mataku buta sehingga tidak dapat melihatnya sendiri? Adakah cermin untuk membantuku? "Lalu," ujar Zara, "bagaimana sekarang?" Lugu sekali. Aku menoleh sedikit untuk menatap istriku dengan sorot menghakimi atas sikap tidak pekanya. "Kenapa masih harus bertanya? Laksanakan tugasmu." "Aku?" Mulut Zara terbuka lebar. Dia habis bertanya dengan sebelah tangan diangkat untuk dihinggapkan di depan dadanya. "Idih, sejak kapan memasak menjadi tugas istri, di mana-mana memasak adalah tugas seorang koki." Istriku luar biasa angkuh. Aku segera menopang pipi kiriku menggunakan kepalan tangan kirinya sesudah kutekuk dengan area siku kutumpukan di atas meja sementara kedua netraku masih tidak melepaskan rupa ayu istriku. Aku bertanya dengan mode santai, "Begitu?" "Oh .... kalau benar demikian," imbuhku tidak sampai berselang lama, teramat menikmati permainan kata-kata kami, "coba sebutkan macam-macam tugas istri." "Bagiku," jawab Zara, "tugas utama seorang istri adalah menghabiskan uang suami." "Benar, bukan?" Aku tahu benar. Zara tidak mau berbelit-belit. Akan merasa direpotkan kalau harus menyebutkan banyak-banyak. Jadi, jalan pintas adalah pilihan terbaik. Aku menghela napas, mencoba melapangkan d**a sebelum menuturkan, "Zara, tugas utama seorang istri adalah melayani suaminya." Zara malah bertanya, "Tapi, bagaimana kalau aku hanya bisa melayanimu dalam keadaan terpaksa?" Pintar. Dia sangat tahu bagaimana caranya menghancurkan mood-ku. Aku benar-benar terusik karenanya. Jalan pintasku adalah wajah melasku. "Masaklah sesuatu sebagai sarapan untuk kita berdua," ucapku dengan nada memerintah, tetapi tetap terkesan halus, "kau tahu benar, dengan kondisiku sekarang, aku tidak bisa menggantikan peranmu." "Iya. Iya." Hati melunak, Zara segera beranjak dari kursi dengan meninggalkan ponsel pintarnya di atas meja untuk mulai beraksi di dapur. Aku sedang memutar kursi rodaku sebesar seratus delapan puluh derajat searah gerakan jarum jam ketika istriku masih berupaya untuk mengenakan celemek, sungguh bersusah payah selama menciptakan simpul di balik badan rampingnya. Meski wajah dalam kondisi ditekuk, Zara masih tetap cantik, bagaikan dewi kecantikan dalam keabadian. Siapa pun akan betah untuk memperhatikan dirinya. Tidak akan menuai kebosanan. "Aww! Aww!" "Tolong aku, mereka meletus-letus!" "Hahaha." Melihat Zara terlihat ketika menggoreng lauk, tawaku pecah. Amatlah lucu. Wanita itu menyipitkan mata dan tubuhnya dibuat terlalu berjarak dengan kompor. Yang dimajukan hanya tangan kanannya. Kepalanya dicondongkan ke belakang demi keamanan. "Aduh." "Pak Zaka, kenapa masih diam di situ?" "Aku sudah hampir kehilangan masa depanku sebagai seorang wanita." "Pak, cepat bantu aku untuk mematikan kompornya!" Aku membiarkan istriku terus mengoceh bagaikan burung beo. Instruksi darinya hanya kutanggapi dengan santai. Aku segera ke sana untuk mematikan kompor. Lepas menaruh spatula ke wajan, istriku melenguh kesakitan. "Awhh." "Sakit? Perlihatkan tangan kananmu," tuturku dengan suara lembut dan intonasi tidak dibuat terburu-buru. Aku menerima uluran lengan kanannya dengan tangan kananku. Tiupan angin ringan mulai lepas landas dari mulutku. "Apa sudah lebih baik?" tanyaku dengan kepala terdongak sehingga memudahkan sorot mataku untuk bertemu dengan milik istriku di satu garis fantasi. "I- iya," sahut istriku hanya sepersekian detik sesudah tangan kanannya ditarik mundur. Aku harus bisa mengikhlaskan. Hening, suasana terkuasai sepi. Aku sudah menunduk lagi karena istriku memutus kontak mata denganku. Akan tetapi, hanya sekian detik berselang, bibirnya melontarkan sesuatu untuk memanggilku. "Pak." "Iya?" jawabku setelah mendongak. "Kenapa Bapak tidak terlihat terbebani sama sekali?" tanya Zara, baru memperoleh nyali untuk menatap kedua manik mata beriris hitam kelam milikku. "Jelas-jelas, aku sudah menghancurkan hidup Bapak." "Ikhlas. Itulah kuncinya." Aku menjawab sesuai kata hatiku dengan penuh ketenangan. Yang kuharapkan dapat menular ke istriku. Ingin rasanya tanganku tergerak untuk menggenggam tangannya dengan penuh kehangatan, tetapi lubuk hatiku ragu hingga tahu-tahu istriku sudah berseru, "Kak, katakan kepadaku." "Kenapa sesudah memaksakan pernikahan denganku, suamiku malah bersikap lembut sekali? Apakah tidak memiliki dendam sedikit pun kepadaku?" "Mau tahu sekali?" "Bisa habis dirimu apabila sampai termakan tipu dayaku." Mungkin, aku terlalu optimis. Mustahil, kalau wanita di hadapanku bisa langsung menambatkan hatinya kepadaku. Tapi, talahkah misalkan aku benar-benar berharap? Tidak. Alasannya, karena aku hanya mengharapkan dari kekasih halalku, bukan dari wanita lain. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD