8. Aku Masih Normal

1680 Words
Zaka's PoV Ke mana istriku? Aku sudah menunggunya selama sekian jam di ruang tamu depan dengan segudang kecemasan. Wanita itu keluar dari rumah secara diam-diam, tanpa merasa perlu berpamitan dulu denganku. Bukankah wajar kalau aku sampai seperti kebakaran jenggot begini? Entah sudah berapa kali jari-jariku mengetik kedua pegangan di kursi rodaku, aku tidak terpikirkan untuk menghitungnya. Yang selalu kunantikan adalah kapan dadaku bisa membaik? Krieet! Derit pintu terbuka terdengar dengan kasar. Mimik mukaku berubah kecut. Aku menjalankan kursi rodaku untuk menghampiri istriku. "Aku tidak suka dengan kelakuanmu, sangat tidak sopan karena keluar dari rumah tetapi tidak berpamitan dahulu kepadaku," ucapku ketika istriku masih berdiri membelakangiku, tengah berupaya untuk mengunci pintu karena harus sudah kelewat malam. Lepas membalikkan badan dengan tampang malas, sahutan untukku baru dapat kuterima. "Bukan salahku, aku sudah mencari-carimu hingga ke setiap sudut rumah. Tapi, keberadaanmu tetap tidak bisa kutemukan." "Alasan," balasku dengan nada menghakimi, sungguh suasana di hatiku belum membaik, meski kedua netraku sudah mendapati batang hidung istriku. Zara terlihat tidak digelayuti dengan perasaan bersalah selama menuturkan, "Aku hanya berkata apa adanya." Ketika istriku enggan menatap ke arahku, hanya mengibaskan sebagian rambut hitam lurusnya ke belakang bahu, aku cepat-cepat merespons dengan mengucapkan, "Lalu? Kenapa tidak mengabariku dengan menggunakan ponselmu?" Tiba-tiba, Zara menggapai ponsel pintarnya dari dalam tas selempangnya. Dia terlihat terampil selama memainkan jari-jari lentiknya di atas layar sebelum disodorkan ke arahku selama beberapa detik. "Tidak ada kontakmu di ponselku," katanya, "masih kurang jelas?" Diminta melihat alasan dengan mata kepalaku sendiri, aku terlalu gengsi untuk memaklumi. Aku masih dibutakan rasa curiga. "Siapa temanmu? Pria atau wanita?" tanyaku kemudian. Aku tahu. Dikarenakan tuntutan terus meluncur dari mulutku, Zara lagi-lagi harus memutar kedua bola matanya. Jengah akan sikapku. "Jujurlah," kataku, "aku tahu, kau habis bertemu dengan seorang pria, aroma maskulin sampai menempel erat di sekujur tubuhmu." "Ha?" Zara terlihat tertegun. Di dalam satu waktu, terkesan sedang merasa lucu. Baginya, mungkin aku sudah luar biasa aneh, tidak seperti manusia normal. "Woah. Tajam sekali hidungmu," ucapnya. Dia secara mengejutkan beralih menyipitkan mata, mencoba untuk menduga-duga sebelum menatapku, entah untuk ke berapa kalinya. "Ooh ... sebentar, bagaimana caramu berlatih?" tanyanya. Tidak akan ada jawaban. Aku tahu benar. Dia hanya bergurau. Yang hanya dalam hitungan singkat, tahu-tahu sudah memfungsikan mulutnya lagi. "Wah, gawat ... bisa-bisa, setiap anjing di muka bumi langsung minder karena merasa kalah hebat darimu." Gurauan istriku sama sekali tidak memberikan efek kepadaku. Barangkali, semua gara-gara level dari keseriusanku sudah masuk dalam tahap puncak sehingga susah sekali untuk digoyahkan. "Zara, aku sedang serius," ucapku kemudian. "Dia adalah sepupu dari salah satu teman wanitaku. Puas?" sahut Zara dengan nada ketus, tidak disertai keikhlasan barang secuil pun selama sedang menginformasikan kepadaku. Aku berusaha untuk mendekati istriku, sedikit saja. Dari situ, akalku sudah cukup mampu untuk menarik suatu kesimpulan. "Mandilah, aku tidak suka apabila mencium aroma laki-laki lain di tubuh istriku," kataku dengan wajah berubah dingin hanya dalam sekejap. "Ha?" Lagi, Zara terlihat tertegun dengan kemampuanku hidungku dalam mengenali wewangian. Sejak dahulu, indra penciumanku memang memiliki tingkat kepekaan tinggi. "Iya. Iya," sahut istriku sesudah tatapanku bekuku sampai kepadanya. Dia terkesan enggan terlalu banyak dalam berkelit, sudah pasrah dalam menghadapiku. Aku cukup bersyukur karenanya. Berkat jerih payahku, dalam waktu sebentar, Zara sudah mulai sadar dan bergegas melangkah, tetapi bibirku segera kubuat terbuka untuk memanggil namanya, "Zara." "Apa lagi?" Wanita itu terlihat kesal, berbalik dengan terpaksa dan tidak tahan untuk meningkatkan volume suaranya. Aku berusaha untuk tenang, merasa wajib lemah lembut selama menuturkan, "Bantu aku ke kamar." Mungkin, karena tidak bisa menolak, Zara tetap mengindahkan perkataanku meskipun dengan didasari keterpaksaan hingga menyebabkan seulas senyuman terbit di wajahku secara terang-terangan. Aneh, tetapi nyata. *** Mulai memasuki waktu tidur, Zara berbaring dengan posisi membelakangiku sesudah membantuku menaiki kasur untuk bersiap-siap ke alam mimpi. Wanita itu menjadikan salah satu lengannya sebagai bantal kedua untuk dengan cara ditekuk sedemikian rupa. Aku benar-benar mengakui bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupku, kamar bernuansa temaram seperti melambangkan kesuraman, tanpa dispensasi walau unggul dalam ukuran. Ide harus dicetuskan untuk bermunculan sebelum suasana bertambah membeku. Menurutku, sebagai pasangan baru, kami berdua terlalu berjarak dan terlalu dingin satu satu sama lain. Jika terus dianggurkan, maka tidak akan mungkin bisa dalam mencapai kebahagiaan sejati. "Tadi nonton film apa?" tanyaku, merupakan langkah awalku untuk membangun kedamaian. "Orang belum sempat," Zara menjawab sekenanya, terdengar seperti seraya memanyunkan muka. Di dalam suara istriku, tersirat kesedihan, tertahan tanpa berencana untuk diungkapkan. "Maksudku, rencananya," ucapku untuk meluruskan. "Bukan urusanmu." Jawaban Zara terbilang ketus. Aku cukup terluka, tetapi tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan sikapku tadi, seolah-olah aku adalah manusia terbenar di muka bumi. "Mau nonton film lain?" tanyaku, masih berjuang untuk mencairkan suasana. "Tidak," sahut Zara, singkat sekali sebagai salah satu ciri dari rasa muak, tentu kepadaku. Otakku tidak gentar, terus berputar hingga menemukan alternatif baru. "Bagaimana dengan drama korea?" tanyaku kemudian. Agar bertambah menggiurkan, saraf-saraf di bibirku aktif lagi untuk menambahkan, "Akunku premium, loh." Aku yakin sekali. Zara akan tergoda dengan mudah. Yang aku tahu, sebagian besar wanita sangat mengkiblatkan drama korea sebagai hiburan rutin mereka dan sering dinyatakan sebagai tontonan berkualitas karena dapat menguras emosi. Zara mulai melunak. Dia sudah tidak terlalu ketus, terutama ketika berusaha untuk senantiasa berhati-hati selama bertanya, "Sungguh?" "Iya." Aku tersenyum tipis. Dadaku sedang bertaburan kelopak bunga, sepertinya. Zara sedikit memutar badannya hingga menjadi tiduran telentang sebelum menoleh untuk menatapku. "Putarkan episode terbaru dari drama It's Okay to Not be Okay," katanya. Meski aku tidak tahu-menahu berkenaan dengan drama korea, aku ikutan terhanyut. Lutut dan ototku di sekujur tubuhku tahu-tahu sudah lemas selama menyaksikan suguhan ceritanya. Bagiku, alurnya terlalu melankolis sehingga dapat mengobrak-abrik kalbu. Di tengah-tengah pemutaran, aku mendengar suara isak tangis, terkesan samar-samar ketika secara perlahan masuk ke kedua lubang telingaku. Alibiku untuk menoleh ke samping kanan dan menatap wajah dari pelaku bisa dikatakan amatlah kokoh. Aku seperti turut merasakan betapa perihnya setiap goresan luka di hati istriku karena sudah banyak memperoleh perlakuan tidak menyenangkan dari kedua orangtuanya hingga akhirnya keinginanku untuk menjaga wanitaku semakin bertambah besar. "Eh." "Kau menangis?" tanyaku dalam mode terperangah, cukup terwakili melalui ekspresiku. Zara menggunakan kedua tangannya untuk menyeka cairan bening di sekitar kedua manik matanya. Mau ditutupi dengan trik apa pun, aku sudah telanjur menangkap basah dirinya. "Aku hanya terharu, Pak. Mereka berdua bisa saling menguatkan sekalipun kedua sayap mereka sama-sama patah," kata istriku. Didasari tekad bulat tanpa teracuni dengan kebimbangan, dalam waktu dekat aku akan berusaha untuk menguak rahasia besar dari kedua orangtua istriku, satu per satu. Zara mengubah posisi tubuhnya, sudah tidak duduk dengan kedua kaki diselonjorkan lagi, melainkan digantikan dengan berbaring miring dan sepertinya sengaja menghadap ke arahku. Lima detik berlalu, aku segera menyusul dengan arah berlawanan. Dua sorot mata kami saling beradu di sebuah garis fiktif. "Maukah Bapak berjanji satu hal kepadaku?" tanya istriku selagi tatapan kami sudah memasuki fase terdalam. "Katakanlah." Aku memberikan respons positif. Diharapkan, dengan mengungkapkan unek-uneknya, beban istriku dapat menjadi lebih ringan. "Pak, semarah apa pun nanti, tolong ... jangan pernah meninggikan suara kepadaku dan menuntutku untuk menuruti setiap kemauan Bapak," ujarnya. Gawat, aku tersindir. Binar di wajahku bertambah padam. Jujur, meski begitu, aku tetap tidak menyesal. "Maafkan aku, Zara," ucapku dengan suara bervolume rendah. Tanpa melepaskan tautan tatapannya denganku, Zara lantas bertanya, "Untuk?" Yang mengherankan adalah tanggapan istriku barusan, antara amnesia atau hanya sebatas berlagak amnesia. Aku tidak mengerti, mengapa aku harus repot-repot menjelaskan ketika teman bertukar kataku sudah mengetahui sejak mula-mula. "Aku pernah memaksakan kehendakku kepadamu," ujarku. Zara menghela napas perlahan, iramanya terdengar lembut dan sopan sekali ketika menyusup di antara banyak cekungan di daun telingaku. "Menurutku, tindakan Bapak sangat wajar, gara-gara diriku, kesempurnaan Bapak sebagai laki-laki idaman untuk seluruh kaum hawa sirna seketika," katanya. "Maaf, aku mengaku bersalah." "Mungkin, di mata Bapak ... kesanku sudah sangat buruk, sungguh tidak memiliki perasaan?" "Tapi, Pak Zaka tidak perlu risau. Aku akan berusaha keras untuk membuat Bapak dapat berjalan dengan normal lagi." Jeda sebentar. Aku tidak menanggapi ungkapan istriku, hingga tahu-tahu topik obrolan sudah diganti. "Eeuh, omong-omong ... apakah Bapak tidak pernah dekat dengan seorang wanita?" tanya istriku hingga mengakibatkan ikatan mata kami semakin bertambah ampuh. "Apakah kau tahu dari adikku?" "Bagiku, entah mengapa ... kedua manik matamu selalu terlihat tidak asing, sorot matamu dapat menunjukkan kemurnian hatimu. Bisa dipastikan, sosok gadis di dalam ingatan samar-samarku adalah dirimu." "Kau adalah cinta pertamaku. Yang memberi rasa dalam setiap kehambaran hidupku." "Jadi, bagaimana aku bisa menerima kehadiran sosok wanita lain sementara di dalam dadaku hanya bisa diisi dengan namamu?" "Tidak," jawabku dengan jujur. Aku bukan tidak pernah memiliki teman dekat wanita dalam 26 tahun hidupku, tetapi mereka sama-sama tidak bisa mengisi hatiku, masih tetap hampa sekalipun kami sudah sangat akrab. Dari hari ke hari, aku tetap tidak memiliki pandangan, mengenai masa depanku bersama salah satu dari mereka. "Kenapa?" Zara hanya mengunci bibirnya rapat-rapat, selain menghibahkan tatapan aneh kepadaku, untuk menggambarkan adanya kecurigaan atas diriku, meragukan kelaki-lakianku. "Tidak, Zara," ucapku dalam rangka meluruskan anggapan istriku, "aku masih normal." Akalku teraktifkan untuk menggali alasan, harus logis dan tidak terkesan hanya mengada-ada. "Mm ... aku hanya sulit untuk jatuh cinta. Begitulah." "Oh," gumam istriku dengan mulut dibuka lebar, seperti tidak serius dalam meyakini pernyataanku, mungkin karena faktor krisis kepercayaan. Alhasil, aku cepat-cepat mengucapkan, "Percayalah." "Iya," sahut istriku, tetapi terdengar dipaksakan. Meski kurang puas, aku memilih untuk menyudahi topik lama karena fokusku ke masalah harus diutamakan. Yang kunilai teramat krusial, tidak baik kalau selalu diabaikan terlebih waktu terus bergulir maju. Di mataku, Zara tidak hanya sebatas seorang mahasiswa berotak cerdas, tetapi merupakan entitas menarik dan layak untuk dijaga. Yang aku tahu, istriku adalah sosok wanita berparas ayu dan tidak pernah aneh-aneh, tetapi memiliki jiwa rapuh layaknya ranting-ranting kering. Aku dibuat terpesona hanya dalam waktu singkat. Jujur, gara-gara pernah melihat dirinya ketika akan melompat dari lantai teratas di kawasan atau tempatku mengajar, sebuah gedung bertingkat, hati dan pikiranku langsung terusik, hingga tanpa sadar sudah membuatku bertindak posesif, mengawasi setiap gerak-geriknya dengan menggunakan kemampuan hacking-ku. "Zara, kenapa tiga bulan lalu, kau pernah berniat untuk mengakhiri hidupmu?" tanyaku beberapa detik kemudian, tetapi malah berujung keheningan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD