7. Keluar dari Zona Aman

1153 Words
Zara's PoV Aku sedang berada di kamar, memainkan beberapa helai rambutku dengan menggunakan jemari tangan kiriku sementara tangan kananku diharuskan memegangi ponsel pintar di sebelah daun telinga kananku. Suara feminin di seberang telepon mulai merasukiku. Alibi untuk sedikit menggigit bibir bawahku. Di sini, aku benar-benar mencoba untuk mengikuti sugesti dari lawan bicaraku, ke mana pun aku akan diarahkan, meski masih dapat mengendalikan kesadaranku secara penuh. Terus terang, pura-pura bodoh bukan langkah baru untukku. Ini adalah eksperimen ke sekian kali. Yang pertama, waktu aku mengikuti kelas teknologi informasi dengan dosen pengampu siapa lagi kalau bukan suamiku. Dulu, aku terus sibuk bertanya kepadanya sehingga namaku bisa terngiang-ngiang di dalam memorinya. "Bagaimana rencana kita?" "Tentu saja, harus segera dilaksanakan," jawabku dengan sangat antusias, seolah-olah memang terbawa suasana. Ada guratan senyum palsu di wajahku untuk memperkuat karakter dari suaraku. "Yeah!" "Akhirnya." "Kita bisa segera mengenal dunia baru." "Aku dan Kak Al sudah berangkat, nih." "Mau kami hampiri?" Ruby, salah satu teman kuliahku, terdengar bersemangat sekali. Yang selalu benakku ketahui, wanita itu bukan dari golongan berada, tetapi selalu menempel kepada orang-orang berduit untuk bisa hidup enak. Aku tidak keberatan dimanfaatkan olehnya karena secara sembunyi-sembunyi, aku pun sedang memanfaatkan kehadiran dirinya. Jika ayah dan ibuku adalah bumbu pertama, maka hubungan perteman tidak sehat dengannya adalah bumbu kedua untuk memperdaya suamiku. Laki-laki itu harus luar biasa mencintaiku, baik dalam hidup dan matinya. "Tidak usah. Aku bisa sendiri," sahutku. "Oke, kalau begitu ... segeralah berangkat, kami tidak mau menunggumu." "Baiklah, aku akan berangkat sebentar lagi," jawabku kemudian dan merasa sudah tidak bisa santai berlama-lama. "Tunggu aku di sana." Lepas menutup telepon, aku bergegas menukar pakaianku untuk disesuaikan dengan dunia hiburan, harus menebarkan kesan dewasa dengan dibantu polesan riasan wajah bergaya anggun. Yah ... semuanya serba dikuasai dengan warna-warna menawan. Eh, satu lagi, aku memerlukan aroma wewangian mendukung. Ini adalah persiapan matang sebelum keluyuran malam-malam, walaupun tidak untuk melakukan hal-hal aneh. *** Author's PoV Mal terbesar di pusat kota terlihat ramai, memang tidak pernah sepi dari manusia, bahkan di jam-jam tidur sekalipun. Pukul sepuluh malam, mereka bertiga sudah berada di satu titik. Tiga tiket di tangan, mereka bertiga malah kelupaan camilan. Jadi, Ruby segera berinisiatif, sebagai bentuk balasan karena tiket sudah diurus kakak sepupunya. "Eh, biar aku saja, kalian bisa menunggu di sini. Zara tentu tidak merasa keberatan, berbeda dengan Aldebaran. Dia adalah sosok laki-laki satu-satunya dan memiliki usia tertua sehingga berpikir kalau masalah pengeluaran adalah urusannya. "Ta—" Ucapan Aldebaran belum sempat diselesaikan karena Ruby sudah telanjur menyambar dengan mengatakan, "Tenanglah. Aku tidak merasa direpotkan." Aldebaran mulai paham akan maksud terselubung dari tindakan adik sepupunya dalam memberikan kesempatan emas untuknya. Yang artinya tidak boleh disia-siakan. Nahas, segalanya tidak dapat nyambung dengan ekspektasi karena minim kemampuan dalam mengontrol kecanggungan. Di dalam satu waktu, hawa panas dan dingin seperti mengabsen sekujur tubuhnya. "Kak," ucap Zara, terdengar canggung, tetapi hanya dibuat-buat, sebatas sapaan basa-basi dengan senyuman tipis dibiarkan melekat di wajahnya ketika tangan kanannya terangkat untuk menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga kanannya. Aldebaran tidak lupa untuk membalas tersenyum dan bertanya, "Apa kabar?" Zara segera menyahut, "Baik. Kak Al sendiri?" "Lebih baik sesudah bertemu denganmu," kata Aldebaran. Dia merasa sudah keliru dalam memilih kata-kata, hingga rasanya tebersit keinginan untuk menampar bibirnya sendiri. Dia malu karena sudah salah tingkah. "Alah. Mau menyenangkan hatiku?" Zara berupaya untuk mencairkan suasana dengan cara menggoda laki-laki di sebelahnya. Aldebaran semakin salah tingkah. "Ti— tidak. Jujur, aku tidak pandai dalam menyenangkan hati orang lain. Tapi, aku hanya sebatas berterus terang," jawabnya kemudian. "Bodoh amat, ah," ucap Zara. Ada bunyi nyaring sebelum Aldebaran mendapatkan kesempatan untuk merespons. Yang ditunggu-tunggu Zara akhirnya kesampaian. "Eh," "sebentar, Kak." Dia segera membuka tas selempangnya dan merogoh ponsel pintarnya di dalam sana dengan menggunakan tangan kanannya, bergegas mengangkat penggilan tanpa harus menunggu layar sampai mati. "Di mana dirimu?" Sahutan di seberang telepon tidak diawali dengan basa-basi berlebih. Tanda kalau sedang dilanda sebal. Zara memperparah suasana hati suaminya dengan tergagap selama membalas, "A— aku sedang berada di bioskop, bersama teman kuliahku." "Pulang sekarang." Dingin sekali. Zara cukup puas mendengarnya, tetapi terlalu mustahil untuk ditunjukkan secara terang-terangan. "Tapi, filmnya—" ujarnya tidak dapat dirampungkan. "Tidak ada bantahan." Lebih dingin dari sebelumnya. Zara benar-benar meraup kesuksesan dalam membuat suaminya kepikiran dirinya. Ada kesenangan tersendiri selama masa penantian hingga suaminya terbelenggu dalam sabana cinta. "Iya. Iya," katanya kemudian. Zara memutar tubuhnya ke samping kanan dengan wajah terkesan tidak enak. Dia menatap sepupu dari salah teman kuliah terdekatnya dan seolah-olah terpaksa menuturkan, "Kak Al, maaf ... sepertinya aku harus buru-buru pulang, tiba-tiba ada sedikit masalah." "Lalu, bagaimana dengan filmnya?" Ada nada tidak rela untuk kehilangan dalam suara laki-laki di hadapannya. Meski demikian, tentunya tidak memberikan pengaruh apa pun kepadanya. "A— aku sudah tidak memiliki pilihan lain," ucapnya. Hingga kemudian, Aldebaran tidak kuasa untuk mengungkapkan kekecewaan hatinya dengan memasang ekspresi sedih di mukanya dan menggumamkan, "Ah, sayang sekali." Dia mengatur wajahnya untuk bersinar lagi, sukses dalam mempersiapkan mental sehingga bisa menawarkan, "Mm, bagaimana kalau kuantar?" "Tidak usah, Kak. Aku bisa menyetir sendiri. Kalian harus menikmati filmnya," Zara menolak dengan halus, manik matanya selama beberapa detik dibiarkan menatap Ruby sebentar sebelum menatap laki-laki berkulit kuning langsat di hadapannya. "Tapi," ujar Aldebaran, masih belum sanggup untuk merelakan, merasa kalau pertemuan mereka berdua seperti tidak pernah nyata. Zara cepat-cepat mengakali Aldebaran dengan mengukir senyuman di wajahnya dan mengatakan, "Mungkin, lain waktu ... kita masih bisa mengatur ulang." "Baiklah, hati-hati di jalan," Aldebaran menanggapi dengan menaruh harapan besar kepada Zara. Moga bukan hanya sebatas langkah untuk menyenangkan hatinya, tanpa dibuktikan dengan aksi. "Iya." Zara mengangguk, seakan-akan sedang berkoar-koar kepada dunia perihal kepastian darinya. Dia segera memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas selempangnya kembali sebelum mulai menyusun langkah untuk meninggalkan lantai teratas dari mal dengan diawali isyarat tangan kanannya. "Dah." Dari semula detik, sekarang sudah berganti menit. Ketika Ruby berada di hadapan lagi, Aldebaran dalam hitungan cepat cukup mampu untuk menjelaskan seadanya. Dia malah tidak memanen respons positif, sialnya. "Payah, sudah berbulan-bulan berlalu, masih tidak ada kemajuan," Ruby berkomentar. Di telinga Aldebaran, Ruby dianggap seperti habis mempraktikkan cara menghina terbaru. Dia menatap sengit ke arahnya dan menuturkan, "Kau adalah sepupu kurang ajar, bukannya berusaha menyemangatiku, malah hanya meledekku." Ruby tentu tidak terima. Dia baru teringat. Ada dua popcorn di tangannya. Yang satu segera diserahkan kepada kakak sepupunya. Dia sangat menyayangkan, rancangan momen romantis untuk kakak sepupunya dengan teman kuliahnya terlebur seketika. "Idih. Aku sudah sering membantumu," ucapnya, "kalau ingatanmu masih berfungsi dengan baik." "Memang tugasmu," balas Aldebaran tidak sampai berselang lama. Ruby secara mendadak dirayu rasa ingin tahunya. "Kenapa, sih," ucapnya, "kau bisa mudah sekali jatuh hati kepadanya?" "Entahlah. Aku sendiri kurang paham." "Dia seperti memiliki magnet hingga dapat membuatku terpikat dalam waktu cukup singkat," kata Aldebaran. Dia sendiri kesusahan untuk mengerti dirinya, tahu-tahu semuanya sudah kejadian, begitu saja. Lalu, berhubung Zara pulang duluan, mereka berdua tetap melanjutkan menonton film. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD