6. Tugas Baru Sebagai Istri

1264 Words
Zaka's PoV This morning. "Zara, tolong ambilkan handuk." Five minutes later. "Zara, tolong ambilkan baju." An hour later. "Zara, tolong ambilkan laptopku di kamar." Now. "Zara, tolong buatkan aku secangkir teh hangat." "Cukup, Pak!" Emosi bukan kepalang. Yang netraku temukan, Zara sudah memegangi kedua sisi kepalanya dengan menggunakan kedua tangannya, setengah menjambak rambut hitam lurusnya, tergerai indah hingga mencapai siku. Aku merebahkan punggungku ke sandaran sofa di belakangku, momenku ketika menikmati suara dan tarian air mancur di teras sebelah kiriku melalui dinding kaca berwarna bening berubah suram seketika. "Mungkin, Bapak sudah lupa bahwa aku bukanlah seorang pembantu," kata Zara dengan irama napas kasar sebagai salah satu tanya dari kehilangan kesabaran. Lepas menoleh ke arah sudut kanan sedikit ke atas, bibirku terbuka untuk menanyakan, "Jadi, menurutmu ... kau merasa kalau sedang melakukan pekerjaan seorang pembantu?" Dibuka dengan berkacak pinggang, Zara menanggapiku dengan kedua alis terangkat cukup tinggi, "Ya. Di rumah kedua orangtuaku, selalu demikian." "Baiklah," aku memaanfaatkan tangan kananku untuk menepik sisi kosong dari sofa, di sebelah kananku. "kemarilah, aku akan memberikanmu tugas baru, sebagai istriku." "Ha? Maksud Bapak?" Aku tersenyum tipis tanpa melibatkan deretan gigi putihku sebelum memperjelas ucapanku sebelumnya dengan mengatakan, "Duduklah di sebelahku, temani aku di sini." Zara tiba-tiba menguap dengan sebelah tangan difungsikan untuk menutup mulutnya sepintas, entah sungguh-sungguh atau hanya tipuan, benakku belum menemukan kebenaran darinya. "Tapi, aku sangat mengantuk, Pak," kata istriku. Lagi, senyuman tipisku terlepas melalui pori-pori kulitku dengan lancar, tanpa hambatan berarti. "Aku akan membiarkanmu tidur," jawabku dengan enteng, "asalkan tetap berada di dekatku." Hingga akhirnya, Zara menurut kepadaku. Meski tidak ada keikhlasan di dalam hatinya. Salahku, sih. Aku memang terlalu menuntut dirinya untuk menemaniku bekerja dari rumah berhubung kegiatan tatapan muka dengan mahasiswa masih dijadwalkan cukup lama dari sekarang dan pihak kampus berbaik hati dengan memberikanku keringanan supaya dapat segera pulih atas kecelakaan kemarin. Zara tertidur pulas. Irama napasnya terbilang lembut dan teratur. Aku sedikit mencondongkan tubuhku ke arahnya dengan jemari tangan kanan tergerak untuk memainkan anak rambut di sekitar dahinya. Yang menurutku sangat menggangguku dalam menikmati keindahan dari salah satu mahakarya dari hasil kreativitas pemilik semesta. Aku mulai terbius dengan bulu mata lentiknya, hidung mancungnya, bibir merah delima dengan volume lebih banyak di bawah, kedua pipi tirusnya dan kedua lengkungan alisnya. Bisa kukatakan, semua kelengkapan fisiknya sudah mendekati sempurna untukku. "Kak Zaka, ada kiriman paket!" Aku tidak menggubris suara pemberitahuan barusan. Yang kutahu, kalimat tersebut meluncur ketika adikku sedang melangkah dari arah depan rumah dan melewati ruang tengah. "Ishhh," ucap adikku dengan nada kesal sesudah menghentikan langkahnya, "kalau sudah bersama dengan istri manjanya, aku selalu dilupakan." Dia meletakkan bungkusan kardus berlapiskan lakban cokelat di meja di dekat akuarium dengan kasar sebelum berlalu meninggalkan ruangan dengan wajah diberengutkan, entah ke mana, mungkin ke kamar. Aku mengakui bahwa sikapku kepadanya terlampau kejam. Akibat menolak untuk diganggu, aku sampai menyakiti perasaan adikku hanya demi kepuasanku sendiri. Egois, bukan? *** "Aku memiliki sesuatu untukmu. Berikan tanda tanganmu di situ." Pada malam ketiga pernikahan kami, Zara tiba-tiba menyodorkan sebuah surat perjanjian kepadaku. Aku tidak yakin kalau masih dapat terlelap dengan pulas setelahnya. Di atas kasur, selama dalam posisi duduk dengan kedua kaki lurus dan tertutup selimut, aku mulai membaca setiap poin dari isinya dengan sangat teliti. Tidak ada kebolehan untuk melewatkan satu pun. Aku cukup tercengang sesudah memahaminya. "Apa maksudmu, Zara?" tanyaku seraya menoleh ke arah sudut kanan atas dan mendapati istriku sudah bersedekap dengan ditemani muka angkuhnya. Zara mengangkat tangan kanannya dengan area telapak tangan dibuat menengadah ke depan, tetapi agak ke atas. Dia lantas mengatakan, "Yah ... sesuai dengan isi dokumennya, kalau aku bisa membuatmu berjalan lagi, maka kau harus menceraikanku." Napasku memburu. Didekap geram tertahan, aku membalas perkataan istriku dengan bertanya, "Jadi, menurutmu ... pernikahan kita hanya untuk main-main?" Zara menarik napas dalam-dalam hingga rongga dadanya dalam hitungan singkat terlihat mengembang. Udara di paru-parunya tidak dibiarkan terlalu lama, tahu-tahu sudah dibuang dengan kasar sebelum mengucapkan, "Pak, kita berdua tidak saling mencintai, kenapa masih harus terus bersama? Tidak akan ada masa depan untuk kita." "Tapi," aku hendak mengajukan keberatan, tetapi belum apa-apa, kalimatku malah dipotong istriku, bahkan ketika masih dalam tahap permulaan. "Pak, aku sudah berkenan untuk repot-repot memikirkan masa depan Bapak. Apakah Bapak tidak bisa menghargaiku sama sekali? Bukankah kalau misiku sukses, maka seluruh hutangku akan terbayarkan dengan impas?" Zara tenggelam dalam lautan emosi, sepertinya. Buktinya, selama berbicara kepadaku, sebelah tangannya sempat diangkan hingga ditaruh di depan dadanya. Aku tentu tidak terpikirkan untuk memperkeruh situasi, meski istriku sudah mengartikan sebaliknya. "Zara, ketahuilah, baik di mata agama maupun hukum, statusmu tetaplah sebagai istriku, artinya kau memiliki beberapa hak dan kewajiban. Jadi, keputusanku adalah menolak tuntutanmu," tuturku dengan suara dan tatapan mulai melembut. Aku sudah enggan untuk menatap istriku ketika tengah mengembalikan selembar kertas di tangan kananku kepadanya. Rupaku berubah kecut. Tidak ada ketentraman di kalbu. "Lupakanlah tentang kesepakatanmu," ucapku dengan tatapan dingin lurus ke depan. "Aku tidak akan pernah menyetujuinya." Zara menggeleng berulang. Dia tidak mau menerima lembaran kertasnya kembali. Adalah tanda kalau tidak berkenan dengan keputusanku. "Pak, salahkah kalau diriku sebatas menginginkan keadilan?" tanyanya dengan irama tajam. Istriku teramat keras kepala, mungkin karena terbuat dari batuan safir. Berhubung Zara tidak bisa didebat, aku memilih untuk mengalah tetapi dengan beberapa kondisi berbeda. Aku menatap istriku sejenak. Ekspresinya masih belum bermetamorfosa. "Baiklah. Tapi, beberapa poin harus direvisi," kataku. "Pertama, sebagai suamimu, aku berhak untuk ikut campur dalam urusanmu. Kedua, sebagai suami dan istri, dalam beberapa kesempatan, kita berdua harus terlihat seperti pasangan normal. Ketiga, kita berdua dilarang untuk menjalin hubungan dengan orang lain." Aku tahu benar. Zara mendengarkanku dengan saksama. Tidak ada protesan darinya. Yang berarti, ketiga syaratku sudah masuk dalam kategori aman. Aku segera memastikan anggapanku dengan bertanya, "Paham?" "Keempat," lanjutku, tetapi tidak sampai selesai karena langsung dipotong. "Yak!" Teriakan istriku laksana suara petasan. Amat keras dan berpeluang besar untuk merusak sistem pendengaran. "Kenapa banyak sekali? Apakah mau sedang bermain-main denganku?" Ada sekian denyutan bertajuk ketidaksabaran di dalam d**a istriku, walau untuk sementara hanya sebatas tudinganku. Aku sudah kelelahan selama terpasung dalam konflik. Yang dapat dijadikan trik andal untuk menuntaskan masalah adalah menyerah sekarang, daripada kami harus terjaga hingga fajar. "Ya, sudah, aku batalkan," ujarku. Mendadak sekali, seulas senyuman tipis mendarat di wajah istriku, lengkungan dari kedua sudut bibirnya terlinat pas, tidak kurang, tidak pula berlebihan. Aku turut tersenyum, gara-gara tertular virus darinya. "Zara," seruku kemudian. "Apa?" "Kau cantik," ungkapku dengan tulus sesudah menyempurnakan senyumanku. Istriku langsung mengibaskan rambutnya dengan memanfaatkan tangan kanannya. "Tentu saja, bahkan malah sudah sejak lahir," katanya dengan nada sombong. Saat aku mulai merevisi sebagian pasal dalam surat kesepakan di pangkuanku, dengan teramat menunjung norma kesopanan, istriku tiba-tiba memanggilku, "Pak." "Hm?" Jawabanku hanya berupa gumaman. Fokusku tidak dapat diganggu gugat. "Aku hanya sebatas mengutarakan pendapat. Menurutku, kau tidak cocok untuk bersikap terlalu agresif kepada seorang wanita. Tapi, terserah ... kau mau mendengarkan atau tidak, aku tidak peduli," ujar Zara tidak lama kemudian. Firasatku mengatakan bahwa aktivitasku sedang diperhatikan olehnya tanpa istirahat. Aku tetap bersikap santai, seolah-olah tidak lagi peduli dengan isi perjanjian barusan. Yang harus aku lakukan adalah berusaha keras untuk merebut hati istriku. "Jadi, kita akan bertukar sikap?" tanyaku seraya menyerahkan dokumen final dari kesepakatan kami kepada istriku sesudah aku bubuhkan tanda tanganku. "Ha? Maksudmu?" respons Zara selama menerima uluran kertas dari tangan kananku dengan menggunakan kedua tangannya. Dia cepat-cepat menggeleng, baru mengerti makna dari kata-kataku tadi. "Tidak. Tidak," ucapnya untuk meralat pemikiranku, menghentikan ide burukku, "aku bukan wanita kelas rendah." Hingga beberapa detik kemudian, sorot manik mata kami saling bersahut-sahutan. Yang secara perlahan malah kukunci secara sepihak. Aku mencoba menerobos masuk kedua lensa mata istriku dan menuturkan, "Ya, aku tahu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD