Jebakan Abdan

1852 Words
“Ck! s**l! “ Abdan menghempas keras dirinya pada sofa lusuh berwarna ungu pudar di sisi ruangan. Meski terlihat seperti tidak layak pakai lagi, tapi sofa yang Abdan duduki cukup nyaman untuk Abdan yang sekarang tengah marah—apa lagi jika bukan karena gadis buluk itu. “Terus apa rencana loh selanjutnya? “ tanpa Vidi sembari memperhatikan room, rasanya baru dua hari dia tidak membersihkan tempat ini, tapi debunya sudah banyak sekali. Vidi jadi gatal rasanya ingin membersihkan tempat ini. “Kita permaluin dia di kantin? Atau di kelas? “ “Kalo menurut gue, gadis itu bukan gadis sembarangan. Dia gak sebodoh dan selemah yang kalian pikirkan,” sahut David yang tengah sibuk bermain game online di ponselnya. “Maksud Lo? “ tanya Vidi dan Abdan hampir bersamaan. “Ah s**l! “ umpat David tiba-tiba. Vidi dan Abdan memicingkan mata memperhatikan gerak-gerik sahabatnya yang sekarang nampak kesal dengan ponselnya. Setelah kekesalannya rendah, barulah pria berwajah datar itu baru mengangkat kepalanya untuk menjawab pertanyaan Abdan dan Vidi. “Dia sama Lo punya satu kesamaan. Kalian sama-sama percaya diri tingkat tinggi,” sahut David. “Gak mudah buat jatuh orang yang kayak gitu. Rencana kacangan kayak tadi Cuma habisi waktu aja.” “David benar. Gadis itu bukan lawan yang bisa di sepele.” Abdan memandang lurus ke depan. “Karena itu gue udah buat rencana dengan sangat matang.” “Rencana apa?” tanya Vidi. Abdan tersenyum samar. . . “Gimana kelas barunya?” Miftah menghempas tubuh besarnya di kasur mencari posisi ternyaman sebelum menjawab pertanyaan Sinty dari sambungan telepon. “Buruk! “ sahut Miftah. “Buruk banget! Rasanya gue gak betah di sana.” “Kenapa? Kan baru satu hari di sana. Wajar sih kalo kamu belum betah.” “Sehari di sana udah berasa seabad, Ty. Seriusan di sana gak banget! “ Ingin sekali rasanya Miftah menceritakan segalanya dari awal pada Sinty, bagaimana mereka menyambut Miftah dan hinaan apa saja yang sudah terlontar dari mulut mereka. Namun rasanya, Miftah tak sampai hati untuk menceritakan semua itu, Miftah tidak ingin Sinty jadi ikut terbebani dengan masalahnya itu. “Mif, Aku dengar, kamu duduk di depan bangkunya Abdan ya? “ tanya Sinty dengan nada suara yang sedikit berbeda dari suara riangnya tadi. “Nah itu! Gue terpaksa duduk di bangku itu. Cuma bangku itu yang kosong,” kesal Miftah. “Wah beruntung banget kamu,” jawab Sinty spontan, jujur dari hati terdalam. Dalam hatinya, Sinty berharap bisa berganti posisi dengan Miftah. Tapi apalah daya, dia bukan pemeran utama dalam novel ini. “Beruntung?” Miftah mengoreksi kalimat sahabatnya barusan. “Mana ada beruntung, yang ada malah buntung.” “Ah udah, gue gak mau bahas itu. Entar jatuhnya malah gibah,” sahut Miftah lagi. “BTW, kenapa kamu nelepon aku? Ada hal penting kah? “ “Hem, itu, “ Sinty terdengar gelagapan. “Nelepon aja sih ... hem ... emang gak boleh?” “Jangan bilang kamu nelepon aku cuma buat pastiin kabar tentang Abdan?” Hening. di seberang sana, Sinty refleks menggigit ujung kuku tangannya merasa seperti tengah tertangkap basah. Sebenarnya niat awal Sinty menelepon Miftah, ya, memang ingin mempertanyakan soal kabar itu. Namun bukan berarti Miftah tidak ingin mengobrol dengan sahabatnya itu. Sinty takut Miftah salah paham. Miftah menghela nafas panjang. “Kamu gak marah, kan?” tanya Sinty hati-hati. “Sebenarnya aku juga mau tanya, gimana name tag kamu? Udah ketemu? “ “Belum sih. Aku mau buat baru aja deh.” “Berarti dalam waktu dekat kamu gak bisa ke kantin dong? “ “Ya gitu deh.” Miftah memutar bola matanya. “Kalo gitu, biar aku aja yang beli ke kantin. Setiap jam istirahat aku bakal kelas kamu bawa makanan. Gimana, boleh, kan? “ “Ide bagus.” Miftah mengangguk-ngangguk setuju. “Eh, tapi ini bukan modus kamu buat ketemu Abdan, kan? “ Di seberang sana, Miftah dapat mendengar suara tawa renyah Sinty. Sinty menggeleng-geleng pelan, kali ini ide ini murni untuk menolong sahabatnya. “Gak lah, ini demi sahabat yang lagi berjuang buat nambah berat badan.” “Ih ingat aja. So sweet banget sih ... jadi terharu.” “Eh, tapi apa yang kamu ngomong tadi boleh juga di pertimbangkan. Menyelam sambil minum air. “ “Dasar ...” Sinty dan Miftah terkekeh. Tawa Miftah terhenti saat tiba-tiba ada notif pesan di ponselnya. “Eh, udah dulu ya Mif, ini kayaknya ada sesuatu deh. Di grup kelas lagi heboh banget.” “Iya, kalo gitu sampe ketemu besok. Bye. Assalamualaikum.” “Bye. Waalaikumsalam.” Setelah mematikan panggilan, Miftah segera membuka pesan masuk di grup kelas barunya itu. Ternyata sudah ada lima puluh chat yang masuk, mengharuskan Miftah untuk memanjat dari awal chat untuk tahu informasi penting apa yang sedang di bicarakan. “Eh, emang besok hari spesial apa? “ gumam Miftah bingung setelah membaca isi pesan di grup. Semua orang tengah membicarakan sesuatu yang asing di telinga Miftah. “Perasaan besok hari selasa biasa deh.” “Apa gue yang gak tahu ya? “ Miftah mengingat-ingat, barangkali memang dia yang lupa. Namun dua menit berpikir, Miftah tidak menemukan jawaban apa pun di kepalanya. Gadis bertubuh gendut itu lantas beranjak ke meja belajarnya untuk mengecek kalender mungil di atas meja. “Tuhkan, gak ada noted apa-apa di kalender.” Miftah memang orang yang mudah melupakan sesuatu karena itu jika ada hari penting Miftah akan mencatatnya pada kalender mungil berwarna pink yang diberikan bang Faud—abangnya, sebagai hadiah dan sindiran untuk Miftah.. Minimal dengan kalender itu Miftah tidak lupa hari ulang tahunnya sendiri, begitu kata abangnya saat setiap tahun memberikan kalender sejenis ini pada Miftah. “Tapi ini di grup, semua orang pada bahas hari besok. Kayaknya semua pada tahu deh,” bingung Miftah. Bahkan semuanya nampak sangat antusias menyambut hari besok, mereka terus saling sahut-menyahut di grup kelas. “Apa gue yang lupa catatan ya?” “Tapi masa sih gue lupa catatan ... selama ini gue gak pernah seceroboh ini.” Miftah menggeleng pelan. “Gimana olahraganya hari ini? “ Miftah sontak terperanjat kaget akan kehadiran abangnya yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamarnya dengan setelan jas hujan berwarna orange terang setengah basah yang airnya menetes kecil di lantai kamar Miftah serta helm hitam putih andalan abangnya itu. “Astagfirullah, Bang. Kenapa pake acara ngangetin sih? “ protes Miftah, menyoroti penampilan tidak biasa abangnya itu. “Eh, iya, lupa salam.” Faud membuka helm dari kepalanya lantas mengempitnya di sela ketiaknya. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” sahut Miftah. “Abang baru pulang kerja?“ tebak Miftah selanjutnya. “Iya, makanya belum lepas jas hujan. Di luar hujannya deres banget,” jelas Faud. “Eh, di luar hujan bang? “ Miftah refleks menyingkap kecil gorden jendela kamarnya. Benar di luar terlihat basah meski sudah tidak ada lagi hujan yang turun. Miftah sama sekali tidak sadar itu. “Iya. Emang gak kedengaran?” tanya Faud bingung. Hujan tadi bukan hanya sekedar hujan rintik-rintik, tapi hujan yang diiringi dengan angin serasa dan sesekali petir. Mustahil orang normal tidak menyadarinya. “Hem, gak ...” jawab Miftah jujur. “Lah kok? Pokoknya besok kamu harus ke THT. Entar abang anterin,” kata Faud yang sukses membuat Miftah mendelik. “Eh, bukan gitu Bang, Miftah gak dengar karena lagi fokus mikirin sesuatu,” sahut Miftah cepat, sebelum abangnya itu benar-benar membuat janji dengan dokter THT. “Sesuatu apa? Cokelat varian terbaru? “ Miftah spontan terkekeh. Ya kali, otaknya hanya berisi cokelat, lalu ke mana donat, mie dan lontong sayur yang juga sering Miftah pikirkan. “Untuk kali ini bukan itu,, Bang.” “Terus, apa? “ sebelah alis Faud terangkat, pria berambut k*****s itu penasaran selain makanan apa yang mungkin adik gempalnya itu pikirkan. “Ini, soal, hem ... emang besok hari tanpa tas sedunia ya bang? “ alih-alih menjelaskan, Miftah lebih memilih bertanya. Miftah masih belum yakin atas informasi yang dia dapat. “Eh, hari tanpa tas sedunia? Kok abang baru dengar sih? “ “Makanya Bang, aku juga bingung. Tapi teman-temanku pada tahu semua hari itu.” “Hem, ya, mungkin aja emang ada.” “Tapi aku cari di google gak ada kok. Adanya hari tanpa kantong plastik gak ?” “Ya, mungkin sama aja kan? “ “Kok mungkin sih Bang? Terus besok Miftah gak boleh bawa tas ke sekolah.” “Ya buktinya teman kamu pada tahu semua. Kalo cuma kita berdua yang gak tahu, ya berarti kitanya aja yang gak tahu.” Masuk akal juga sih ... “Ehm, iya juga sih Bang.” Miftah menghela nafas panjang, di kepalanya sekarang berputar tentang rencana apa yang harus dia bawa untuk membungkus tasnya. “Pertanyaan abang tadi belum di jawab. Gimana olahraga memanah kamu?” tanya Faud, menghentikan lamunan panjang Miftah. “Seru Bang,” sahut Miftah seadanya. “Cocok gak buat kamu? Kira-kira berapa peluang buat kurus kalo ikut olahraga itu ?” “Cocok-cocok aja sih, Bang. Soal itu, aku juga gak tahu sih.” Diam-diam Miftah terkekeh pelan, pasalnya yang ngebet kurus kok malah jadi abangnya sih? “Nanti sekalian belajar berkuda ya,” tambah Faud. “Iya rencananya emang mau gitu sih, Bang.” Bukannya menyenangkan hati orang lain apalagi abang sendiri dapat pahala? Dan itulah yang Miftah lakukan. Miftah tersenyum samar, bagaimana seadanya abangnya itu tahu niat asli Miftah sesungguhnya, bisa ngamuk pria bertubuh jangkungnya itu. “Berkuda juga bagus tuh buat bantu nurunin berat badan kamu,” tambah Faud. Tuhkan! Abangnya ini obsesi banget pengen liat adik lucunya jadi kurus. “Ya udah kalo gitu abang mau ke kamar dulu deh. Mau bersih-bersih,” pamit Faud yang disambut anggukan kecil dari Miftah. Miftah tersenyum geli, memandangi punggung abangnya yang mulai menjauh dari daun pintu kamarnya. Abangnya itu, nampak kesulitan berjalan karena jas hujan yang dia kenakan. Bang Faud baru saja pulang kerja, bukannya istirahat memanjakan dirinya. Bang Faud malah lebih tertarik untuk menanyakan soal kelas olahraga yang Miftah ambil. Abangnya itu sangat perhatian, meski terkadang Miftah keki dengan sikap abangnya yang selalu memaksanya memangkas berat badan kesayangannya, tapi Miftah sadar betul, dibalik sikap abangnya itu, Faud hanya ingin adiknya selaku sehat dan bahagia. ‘Jangan lupa ya, besok harus datang sesuai temanya.’ Pesan yang baru masuk itu kembali menyita perhatian Miftah. Miftah jadi berpikir keras apa yang harus dia kenakan. Temanya harus berhubungan dengan monyet. ‘Yang penting jangan bawa tas!’ Pesan yang kembali masuk, sukses membuat Miftah menghela nafas panjang, makin bingung. ‘Ada ide besok bawa buku pake apa?’ ketik Miftah. Dua menit menunggu, tidak ada tanda-tanda orang hendak membalas pesan Miftah. “Huft....” Miftah mendesah pelan. “Kok otak gue mendadak kosong gini sih?! Gak ada ide sama sekali ini, otak?! “ keluh Miftah. Otaknya malah kompak bungkam bersama heningnya grup yang tadinya begitu ramai para murid yang saling melempar balasan satu sama lain. Ternyata selain anak kelas sebelas IPA satu, otaknya juga tidak mendukungnya sama sekali. Miftah jadi berpikir apa dirinya ini sejenis hama yang harus segera dihindari, bahkan hanya di kolom chat sekali pun? Di sela kebingungannya itu, tiba-tiba ada pesan dari nomor yang tidak dikenal dan seketika senyum Miftah kembali cerah. “Idenya boleh juga.” . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD