“Tikus berhasil masuk.” Abdan tersenyum kecil seirama jarinya refleks bergerak kecil di atas meja— kebiasaan Abdan saat bahagia. Pria itu akan menggerakkan dua jarinya—jari telunjuk dan jari tengah seperti orang yang tengah berlari.
“Bukan ... bukan tikus tapi gajah,” ralat Abdan sembari tersenyum tengil.
“Tapi Lo yakin dia bakal dengerin apa yang Lo saranin? “tanya Vidi yang duduk tepat di sebelah Abdan. Sesekali cowok berkulit sawo matang itu melihat keluar jendela, memperhatikan hujan yang mulai reda.
“Gue yakin,” jawab Abdan tenang. Tersirat rasa percaya diri tingkat tinggi pada wajah tampannya itu.
“Keyakinan sebesar itu ? Dari mana datangnya?” sarkas David yang semulanya sibuk sendiri dengan ponselnya, cowok berperawakan besar dengan tubuh tinggi menjulang khas orang Eropa, mengangkat punggungnya untuk melihat wajah percaya diri Abdan.
“Dari Lo,” jawab Abdan enteng, seketika mengundang lipatan pada dahi Abdan. “Kan Lo yang bilang, kalo gue dan Miftah punya satu kesamaan, percaya diri. Dan karena itu gue percaya gadis itu akan lakuin apa yang gue saranin.”
Seulas senyum terbit di wajah David, bagaimana bisa ia lupa akan perkataannya sendiri.
“Gue jadi gak sabar buat liat besok,” sahut Vidi bersemangat. “Tapi, btw gue jadi lapar deh ... Kita gak ada rencana mau makan apa gitu? “
“Makan angin,” sahut David, kembali sibuk dengan Ipad abu-abu miliknya.
“Yap. Gue juga.” Abdan mengangguk setuju. Sibuk menyusun rencana membuat Abdan melewatkan jam istirahat.
“Gimana kalo kita ke bar? “ Entah dari mana ide itu datang, terlintas begitu saja di benak Abdan.
“Lo lapar atau mau cari dosa?” David mengangkat wajah datarnya.
“Ya kan, sekalian. Emang di bar gak ada makanan gitu? “ sahut Abdan polos.
“Ya, mungkin ada. Kalo gue mah ngalur aja. Yang penting bisa makan,” timpal Vidi, si anak paling ngalir dan nurut sedunia. Sebenarnya Vidi orang yang tidak ingin ribet, makanya cowok bertubuh paling kecil di antara dua sahabatnya yang berperwakan bak orang Eropa, lebih memilih untuk ikut saja suara terkuat, dengan begitu, dia tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga.
“Gue gak bisa. Lo tahu sendiri. Gue bisa di depak dari rumah kalo ketahuan ke bar,” kata David. “Gue takut ada mata-mata abi gue.”
“Emang abi Lo nyewa mata-mata buat ngawasin Lo? “ tanya Vidi.
“Gue belum tahu pasti sih. Tapi lebih baik mencegah dari pada mengobati.”
“Kita kan di sana cuma mau makan doang, apa salahnya? “
“Ini ibarat Lo emang cuma duduk doang, tapi di depan Lo ada orang yang nyetel vidio p***o. Terus ada orang yang liat Lo duduk di sana, apa orang gak ngira Lo juga nonton?” jawab David diplomatis. “Kenapa kita gak makan di tempat yang aman aja sih? Lagian kita belum cukup umur buat masuk ke bar.”
“Sebenarnya gue ada cara biar kita bisa masuk.” Sepertinya Abdan punya hobi baru. Membuat rencana.
“Caranya?” Meski akan kekeh pada keputusannya, David penasaran apa yang otak sahabatnya itu rencanakan.
“Tapi kita harus patungan uang buat nyogok penjaganya, entar kita bakal dibolehin masuk diam-diam.”
“Buat dosa aja ribet,” sarkas David. “Gue gak ikut deh. Sayang duit. Gue gak mau makan di tempat yang bukan gue was-was. Gue mau makan dengan tenang.”
“Justru itu letak kesenangannya. Kita ini masih muda bro, butuh kegiatan yang menguji adrenalin.” Vidi spontan mengangguk pelan, satu suara dengan Abdan.
“Nguji adrenalin gak perlu buat dosa juga, kan? Banyak kegiatan uji adrenalin yang gak dosa, kayak misalnya setoran hafalan surah Al-Qur’an. Dari pada yang kayak gitu, udah uang habis buat nyogok, eh malah dapat dosa, dosanya berlipat-lipat lagi.”
“Tapi yang Abdan omongin itu bener loh, kita ini masih muda, masih waktunya buat senang-senang.” Kali ini Vidi angkat suara.
“Senang-senang gak perlu buat dosa juga, kan? “
“Iya sih, tapi kalo gak gitu gak seru. Lagian kan sekali-kali doang. Sekalian liat-liat bar itu kayak gimana,” bujuk Abdan.
“Sekali-kali kalo keterusan gimana? “
“Yah .. gak pa-pa lah. Toh kita masih muda. Masih banyak waktu,” sahut Vidi santai. Sesantai seolah ngajak jajan di warung.
“Lo yakin? Emang ada yang jaminan, nyawa Lo masih ada besok? Syarat mati gak mesti tua.”
“Astagfirullah! “ seketika Abdan dan Vidi mengelus d**a kaget atas kalimat sarkas yang David katakan. Meskipun selalu melebeli diri sebagai anak nakal, baik Vidi dan Abdan lahir dan besar dalam lingkungan agama yang taat, mereka juga selalu sekolah di sekolah berbasis agama Islam. Suka-tidak suka mereka selalu mendapat banyak pelajaran agama. Keduanya tetap takut dengan hal-hal seperti itu.
“Ngeri banget kata-kata Lo,” sergah VidI. Kalimat David barusan, membuat roma tangannya meremang. Vidi seketika jadi ingat mati.
“Sorry bro, gue kebablasan karena habis streming nonton anime. Gue pikir itu anime biasa ternyata anime tentang sahabat nabi,” jawab David tenang. Raut wajah tenang serta datar ala David malam membuat Abdan dan Vidi refleks terbahak. Ternyata sahabatnya itu sedang tersesat di jalan yang benar, mereka pikir seorang David yang merupakan cucu Kiyai besar di daerahnya—Jawa Timur, sudah tobat dan kembali kebentukkan pabrik.
“Clam kalo gitu. Kita pesan makanan online aja yuk, gue mager keluar nih, di luar hujan lagi.” Abdan memilih jalan tengah.
“Boleh juga tuh. Tapi, apa Lo yakin tuh kurir bakal ketemu room kita? Atau mereka mungkin takut?” Vidi melirik sekitar room, rasa-rasanya selain mereka bertiga tidak akan ada orang yang berani masuk, jangankan masuk, berdiri di depan teras itu saja mungkin orang enggan. Apalagi citra bangunan ini yang terlihat bak rumah uji nyali.
“Kita mesennya pake alamat sekolah aja. Biar entar gue yang ambil ke sana,” kata Abdan.
“Katanya tadi Lo mager keluar ?”
“Ya mau gimana lagi, gue udah lapar akut. Abdan refleks mengelus perut daftarnya yang makin datar karena belum makan dari tadi siang. “Mau nyuruh Lo percuma, Lo kan manusia dari kertas, takut kalo kena hujan.”
Abdan tahu betul kebiasaan buruk cowok berlesung pipit itu, yang selalu menghindari hujan. Vidi bahkan rela menunggu sepuluh jam hanya untuk menunggu hujan benar-benar berhenti. Mereka bertiga ada di sini juga karena Vidi yang tidak mau terkena hujan sedikit pun.
Vidi spontan terkekeh.
“Ya udah biar gue aja yang ambil.” David mengajukan dirinya.
“Udah gak usah. Gue aja. Lo lanjut nonton anime aja, biar beneran jadi kyia,” tolak Abdan.
David mendengus. “s**l, Lo, Dan! “
Vidi dan Abdan kompak kembali tertawa.
“Buru, kalian mau mesan apa? “
“Samain aja sama punya Lo.”
“Oke. Gue mau ayam gerpek. Jadi kita pesan tiga ayam gerpek. Minumnya mau apa? Mau di samain juga? “
“Iya.”
“Oke. Gue mau es teh aja.” Abdan meletakan kembali ponselnya di atas sofa lusuh, untuk selanjutnya menunggu notif, pesannya telah sampai. Abdan menoleh keluar, memperhatikan hujan yang mula mereda, Abdan bersyukur, setidaknya saat ia keluar, tubuhnya tidak akan basah kuyup di guyuran hujan.
.
.
Abdan bangkit setelah mendapat notif di ponselnya. “Gue keluar dulu ya,” pamit Abdan sebelum keluar menembus hujan yang tinggal setitik-titik. Abdan memilih berjalan santai di bawa telurnya langit, sembari memperhatikan pergerakan driver yang sedang membawa makanannya.
“Eh, abangnya dari tadi cuma diam aja di tempat itu sih? “
Abdan langsung mengecek pesan masuk untuk memastikan apa yang terjadi. Rupanya sudah ada pesan masuk dari driver itu.
‘Maaf ya mas, saya gak bisa anterin makanan masnya. Sebenarnya tadi ada konsumen yang rute rumahnya searah sama lokasi masnya. Makanya tadi saya inisiatif langsung bawa pesanan masnya—“
Panjang banget pesannya! Abang memutar bola matanya. Matanya sudah lelah Cuma melihat deretan teks panjang pada pesan itu. Perutnya sudah sangat lapar, eh, malah disuruh baca teks sepanjang ini.
‘Qadarullah, saya tadi kecelakaan kecil.’
Karena tidak membaca dengan benar, Abdan jadi salah paham. Dia malah menarik kesimpulan abang itu hanya malas dan mencari-cari alasan saja, secara daerah Abdan sekarang memang dalam rute merah yang rawan macet, makanya minta di cancel.
‘Gue gak mau tahu ya, Bang! Gue udah lapar! Jangan banyak alasan deh! Buruan anterin makanan saya!’ ketik Abdan.
‘Buruan Bang, atau saya kasih bintang satu!’
.
.