BAB 08

2023 Words
“Kamu benci sama Tavisa Wyne tapi melihat postingan di akun instagramnya sampai bawah.” Cassie duduk di ruang tunggu ALEX & Partners, kantor firma hukum milik Alex dan ia sedang melihat layar ponselnya sambil menunggu—karena sekretaris Alex memberitahunya pria itu sedang ada tamu—Cassie kira akan lama tapi beberapa menit saja Alex sudah keluar dari ruangannya bahkan bisa mengomentari apa yang sedang Cassie lakukan. Cassie menengok ke belakang, mendapati Alex yang menatapnya lalu wanita itu langsung mendekap layar ponselnya. “Gak sopan lihat-lihat handphone orang. Kak Alex pengacara, kan? Pasti tahu apa itu privasi.” “Karena aku pengacara, kalau kamu jadi klienku akan aku beri privasi tapi tidak boleh menyembunyikan apa pun.” “Aku bukan klien kak Alex!” Cassie berdiri dari sofa. Dress-nya yang cantik langsung terlihat oleh Alex. Berenda di ujungnya, cocok dipakai Cassie. “Lalu apa?” Alex mengenakan jas hitam, setelan yang selalu ia pakai kerja dan membuatnya menarik. Lalu sekarang alis tebalnya naik sebelah, menjadi menarik dua kali lipat. “Untuk apa seseorang datang ke kantor firma hukum kalau bukan minta bantuan pengacara?” “Untuk ketemu Alexander Madava alias calon suami aku, lah!” Bukan hanya Alex yang mendengar, namun Aulia—sekretarisnya yang berada di meja depan ruangan Alex—menangkap jelas suara yang dikeluarkan Cassie. Beberapa orang yang tengah menunggu juga dengar. “Kamu makan apa? Suara kamu sangat keras.” Alex menyukai ketenangan serta ketertiban, dan yang Cassie lakukan beberapa detik lalu adalah kenaikan suara. Berbanding terbalik dengan kebiasaannya. “Ikut aku.” Alex melangkah terlebih dahulu ke ruangannya, Cassie menyusulnya. Wanita itu tersenyum kepada Aulia yang tampak kebingungan namun membalas melengkungkan bibir dengan sopan dan ramah. “Tutup pintunya,” tutur Alex. “Kamu menyuruh aku?” Cassie mengerutkan kening. “Ya, karena kamu paling dekat dari pintu.” Cassie melangkah ke depan sampai sejajar dengan Alex. “Kita sama sekarang. Gak ada yang lebih dekat dari pintu.” Alex menatap Cassie yang sepertinya senang sekali mengurangi batrai di tubuh Alex dengan segala tingkah yang menurut Alex tidak seperti wanita dewasa berumur 29 tahun. Alex hanya meminta—jika Cassie tidak mau disuruh, Alex akan pakai kata itu—untuk menutup pintu. Tapi Cassie malah duduk di sofa ruang kerjanya sekarang. Di mana itu letaknya lebih jauh dari pintu. Pria berjas hitam itu menghela napasnya, lalu menutup pintu dan duduk di sofa berhadapan dengan Cassie. “Seharusnya gak usah ditutup, mencegah hal yang tidak-tidak,” kata Cassie. “Maksudnya?” Alex meminta jawaban Cassie. “Ingat kemaren kak Alex ngapain saat aku kompres perut kakak?” Alex teringat kepada ciuman singkat itu. Ternyata Cassie masih memikirkannya. Sehingga Alex tidak bisa kalau tidak iseng. “Kamu takut aku cium lagi?” “Iya, om.” Astaga... “Aku bukan om kamu, Cassie. Berhenti panggil aku begitu.” Alex bukannya tersinggung, ia hanya tidak suka ada wanita cantik menatapnya seolah umur mereka berbeda sangat jauh. “Oke,” balas Cassie, mudah.  Alex yakin wanita keras kepala itu akan mengulanginya lagi. “Kamu mau minum sesuatu?” Alex mengalihkan perbincangan. “Biar Aulia bawakan, mau jus jeruk?” “Aulia?” “Sekretaris aku.” “Ohh, wanita di meja depan yang menyuruh aku menunggu kamu.” “Iya, benar.” “Sekretaris kamu cantik.” “Kenapa? Kamu takut calon suami kamu ini ada main sama pegawai kantor?” Cassie menatap Alex seperti Alex benar-benar akan melakukan hal seperti itu dengan sekretarisnya. “Aulia sudah menikah,” kata Alex akhirnya karena tidak mau Cassie menatapnya seperti itu lebih lama lagi. “Kamu ada apa ke sini, Cassie? Pasti bukan untuk memuji sekretaris aku, kan?” Cassie menjadi ingat alasan mengapa ia pergi ke kantor Alex. “Aku pengen belanja.” “Seharusnya kamu pergi ke mall,” kata Alex. Seingatnya kantor firma hukumnya hanya menjual jasa bukan baju atau tas. “Aku tahu, makanya aku ke sini untuk minta diantar sama kak Alex.” “Aku kerja, Cassie, kalau kamu ingat.” “Bentar lagi jam makan siang.” Cassie melirik pergelangan tangannya, seolah ada jam di sana yang menunjukan waktu akurat. “Ingat poin-poin penting di email yang aku kirimkan ke Kak Alex? Itu ada di nomor satu lho.” Email kekanakan itu... ya, Alex ingat. Ia hanya tidak ingat mengapa harus melakukannya. Karena ia tidak punya waktu. Alex memiliki banyak klien yang perlu bantuannya memenangkan kasus di pengadilan. “Papa masih gak percaya kak Alex calon suami aku. Kalau aku belanja dan makan siang sendiri, pasti papa makin gak percaya.” Cassie menjelaskan sampai menampilkan ulang ekspresi curiga yang dia dapatkan dari Tuan Haris Hartono. “Harus hari ini, Cassie? Aku ada janji meeting setelah makan siang.” Alex menatap Rolex di pergelangan tangannya, tidak pura-pura seperti Cassie tadi. “Kalau kamu mau makan siang bersama, aku bisa. Tapi untuk mengantar belanja sepertinya aku akan telat meeting.” Cassie memikirkan kata-kata Alex dan tentunya ia tidak bisa mengacak-acak jadwal kerja pria itu. “Oke, gak usah belanja. Makan siang aja.” “Makan di restoran dekat sini gak pa-pa?” Alex bertanya. Cassie mengangguk. “Dekat sini aja, aku gak mau kak Alex telat meeting.” Alex tersenyum mendengarnya. Ternyata Cassie bisa menurut. “Kalau gitu kita berangkat sekarang.” Alex bangkit dari sofa, merapikan kancing jasnya. “Kamu bawa mobil?” “Iya. Ada di parkiran depan.” “Mau pakai mobil kamu? Mobil aku di basemant.” “Boleh.” Cassie memberikan kepada Alex kunci mobil dengan gantungan mahkota. Tentunya Alex yang akan menyetir sehingga ia mengambil kunci itu tanpa mengomentari gantungannya. Menurut Alex, gantungan mahkota itu cocok dengan Cassie yang terlihat seperti ratu dari keluarga Hartono. Alex tahu bagaimana Tuan Haris Hartono memfasilitasi Cassie. “Aulia, saya keluar untuk makan siang.” Setelah keluar dari ruangan bersama Cassie di sebelahnya, Alex berbicara kepada sekretarisnya. “Meeting jam satu tepat, bukan?” Aulia mengangguk dan tersenyum paham. “Baik, sir.” Cassie berjalan keluar menuju mobilnya yang terparkir lalu berujar kepada Alex, “Sir.” Alex melirik Cassie, “Kenapa?” “Sekretaris kamu panggil ‘sir’ padahal ini di Indonesia.” “Menurut aku itu sopan?” Alex tak pernah mempersalahkan bagaimana pegawainya memanggilnya. “Kak Alex mau sok-sokan jadi mister Grey gitu ya??” Alex mengerutkan kening lalu bicara pada Cassie, “Aku lebih seksi dan pintar dari mister abu-abu atau apalah itu, Cassie.” “Cih,” “Apa kamu baru aja berdecak?” “Mister Grey itu makhluk Tuhan paling seksi dan dia cocok dipanggil ‘Sir’, asal Kak Alex tahu.” “Menurut kamu aku gak cocok dipanggil ‘Sir’?” “Coba aku lihat.” Cassie pura-pura memperhatikan Alex dari atas sampai bawah. Christian Grey mungkin seksi, namun Alexander Madava juga mampu membuat siapapun yang melihatnya menelan ludah. Cassie malas mengakuinya namun Alex memang tampan dan terpujilah tubuh kekarnya itu. “Oke boleh deh, kak Alex cocok dipanggil ‘Sir’,” kata Cassie setelah ia bergulat dengan pikirannya apakah harus ia mengakui itu. “Dan kenapa aku cocok, Cassie? Tentu ada alasannya, bukan?” Alex bukan anak kecil yang sedih karena dibandingkan dengan karakter fiksi, tidak sama sekali. Alex hanya mau Cassie mengatakan bahwa ia adalah Christian Grey versi nyata yang lebih bagus. “Seksi. Ya, kak Alex seksi. Sedikit.” Cassie berdeham tanpa menatap Alex. “Aku tahu.” Alex tersenyum miring mendengarnya. “Sebenarnya aku lebih suka dipanggil 'Sir' saat di tempat tidur.” Cassie mengetahui ke mana arah pembicaraan ini dan ia menjawab cepat, “Kamu cocoknya dipanggil om.” Cassie berlari kecil ke arah mobilnya karena sebenarnya agak ngeri juga meski berhasil menjahili Alex beberapa kali hari ini. Alex awalnya tentu saja akan protes namun melihat tingkah Cassie hanya membuatnya geleng kepala dan tersenyum. Meski Jakarta panas siang ini, Alex tidak mengeluh karena Cassie menjadi hiburannya. *** Memang Alex sudah kenal Cassie sejak wanita itu masih dalam kandungan ibunya, namun Alex berteman dengan kakaknya Cassie bukan dengan wanita itu sehingga Alex tidak tahu kebiasaan Cassie. Meski bisa ditebak, Alex masih terkejut karena Cassie sibuk memfoto makanannya lebih dari sepuluh kali mungkin—Alex tidak menghitung. Intinya, Cassie lebih peduli dengan foto makanannya. Alex sebenarnya tidak terlalu peduli kapan Cassie akan melahap makan siangnya, masalahnya Cassie juga memngikut sertakan Alex ke dalam sesi foto yang lama ini. Cassie meminjam tangan Alex lalu menggenggamnya seolah mereka pasangan yang sedang makan siang bersama dengan penuh cinta. “Udah?” Alex memastikan setelah Cassie berhenti memotret dan mencari angle yang bagus. Wanita itu kini sibuk memilih foto mana yang akan ia posting. “Makan dulu, Cassie. Nanti pasta kamu dingin.” “Sebentar.” Cassie menghiraukan Alex yang sudah memakan pastanya duluan. “Biar aku tag kak Alex. Apa nama ** kakak?” “Aku gak punya **,” tutur Alex. Cassie langsung menatap Alex seperti menemukan artefak langka, “Kak Alex gak punya **?” Alex menggeleng. “Kenapa?” “Aku sibuk, Cassie. Gak ada waktu posting di sosial media. Arik juga gak punya akun instagram.” Alex tidak mau sendirian di posisi ini meski sebenarnya tidak penting pandangan Cassie kepadanya karena Alex memang tidak tertarik menggunakan sosial media. Ia memang memantau apa yang terjadi pada dunia lewat internet, namun tidak eksis di sana. Jika bukan untuk membaca berita, Alex akan pergi ke situs yang tidak diizinkan oleh orangtuamu untuk dilihat. Ya, kalian tahu situs apa yang dimaksud Alex. Tidak usah dijelaskan secara rinci, bukan? “Oke gak pa-pa, bukan masalah kak Alex gak punya **, yang penting Tavisa pasti bakal tahu kalau ini tangan kak Alex,” ujar wanita itu dengan senyum seolah baru saja memenangkan perang. “Jadi mengambil foto sebanyak itu untuk pamer ke Tavisa?” tanya Alex meski seharusnya ia sudah tahu. “Tentu aja. Itu alasan aku ada di sini makan siang sama kak Alex.” Cassie merasa puas setelah memposting dua foto ke akun instagramnya. Tavisa Wyne pasti akan lihat sebab mereka saling mengikuti di sosial media. “Dia nge-like!” ujar Cassie sepenuhnya menang. “Pasti dia kepo sama sosmed aku makanya cepet banget nge-like.” “Kamu juga tadi lagi stalk akunnya Tavisa,” ujar Alex yang terdengar seperti menyindir bagi Cassie. Wanita itu langsung berdecak. “Aku gak stalk ya kak Alex.” “Terus apa?” “Keep friend close and keep enemy closer. Kak Alex paham, kan? Aku cuma liat gimana Tavisa di sosmed dan dia tukang pamer. Dasar dokter gadungan.” “Kamu sangat tidak suka ya kepada Tavisa.” “Aku benci.” “Apa kalian berebut cowok di masa lalu?” “Alasan aku musuhan sama Tavisa nggak seklise itu, kak Alex.” “Oke baiklah.” Alex tidak mengerti bagaimana perempuan ketika bermusuhan. Pastinya berbeda dengan laki-laki, khususnya Alex. Ia merasa tak punya musuh, namun lawannya banyak. Mungkin orang lain akan menganggap Alex musuh, apalagi mereka yang dikalahkan Alex di pengadilan. Sayangnya Alex hanya menganggap mereka angin lalu. Alex selalu menyelesaikan kasus sampai tuntas lalu tak membuka berkasnya lagi. Maksudnya, jika hakim sudah mengetuk palu, Alex tidak peduli kepada lawannya. Bahkan kepada kliennya juga Alex tidak peduli. Setelah ia dibayar, tugasnya selesai. Meski ada beberapa klien yang baik kepadanya, Alex tidak menjilat. Ia berada di posisinya sekarang bukan dari bantuan orang lain. “Pasti Tavisa sekarang lagi sedih karena Kak Alex makan sama aku.” Cassie masih senang postingannya dilihat sang musuh. “Boleh aku kasih pendapat?” Alex selesai memakan pastanya di saat Cassie baru menyuap sekali. “Boleh. Apa?” “Saat kamu menemui aku di J’Land dan ada Tavisa di meja yang sama, aku lihat ekspresi kamu langsung murung. Bukannya itu akan membuat musuh kamu senang karena berhasil membuat kamu kesal?” “....” Cassie mendengarkan Alex. “Kalau kamu ingin membuat Tavisa kalah, kamu jangan memasang ekspresi seperti itu. Seharusnya kamu bisa lebih memperlihatkan bahwa kamu memang calon istri aku.” Alex tidak percaya ia memberi saran tentang ini. “Kalau mau akting jangan setengah-setengah. Dan yang terpenting dari berpura-pura adalah jangan memperlihatkan perasaan kamu yang sebenarnya, Cassie. Bukan lagi akting namanya kalau kamu sangat transparan.” [] - Hai, apa kabar semuanya? Follow my **; galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD