BAB 07

2030 Words
Mencoba menghubungi Alexander Madava beberapa kali, namun Cassie tidak mendapatkan balasan. Jadi yang ia lakukan adalah mendatangi bar yang sepertinya menjadi tempat Alex minum. Cassie tidak tahu apakah Alex minum dengan Tavisa atau perempuan ular itu mencuri foto Alex. Intinya, Cassie kesal. Cassie berhasil masuk ke J’Land setelah aksesnya diterima. Ia tidak berniat pergi ke bar, niatnya adalah mencari Alex sehingga ia hanya memakai celana jeans pendek dengan jaket kebesaran yang ia ambil dari lemari Janied. Meski begitu, wajahnya yang seperti dewi tidak akan mempengaruhi baju apa yang ia pakai. Cassie tetap cantik. Pasti Alex ada di deretan kursi VVIP sehingga tujuan utama Cassie langsung ke sana. Ada beberpa orang yang cassie kenal sedang minum dan mereka menyapa Cassie namun ia hanya tersenyum. Cassie bisa dengan mudah menemukan Alex. Pria itu masih dengan setelan jasnya duduk bersama Tavisa Wyne yang menatap Alex seolah pria itu adalah dunianya. “Kak Alex.” Alex mendengar namanya dipanggil, ia menatap Cassie. “Kamu ada di sini?” “Kak Alex juga kenapa ada di sini?” Cassie balas bertanya, ia menghiraukan Tavisa yang duduk di sofa. “Tadi aku minum sama klien.” “Klien Alex baru aja pulang.” Tavisa menjelaskan meskipun Cassie tidak meminta. Alex berjalan mendekati Cassie, “Kamu sama siapa ke sini?” “Kenapa ponsel kakak gak bisa dihubungi?” “Lowbet,” Alex menjawab jujur. “Kamu sama siapa?” “Sendiri.” “Mau minum?” Cassie menggeleng. “Alex, kamu mau lanjut minum? Temenin aku.” Tavisa memanggil Alex dengan nada manja. “No thanks, saya harus nyetir.” “Kamu masih mau di sini?” tanya Cassie kepada Alex. “Kayanya aku mau pulang. Kamu bawa mobil atau gak?” “Bawa.” “Biar aku yang nyetir. Mobil aku bisa ditaruh di sini.” “Oke.” Cassie mengangguk setuju. “Kamu gak mau minum, Cassie?” Pertanyaan Tavisa seperti sebuah sindiran. “Aku ke sini untuk memastikan 'calon suami' aku baik-baik aja.” Cassie menekankan setiap kata. “Alex bukan anak kecil, dia bisa jaga diri sendiri. Benar kan, Alex?” “Saya mau pulang dan biar saya yang bayar.” Alex pamit kepada Tavisa setelah menggesek kartu kreditnya. Ia keluar dari J’Land bersama Cassie yang memasang wajah masam. “Are you okay?” “No!” jawab Cassie langsung. “Kenapa kak Alex bisa minum sama Tavisa?” “Klien aku ternyata saudaranya Tavisa, aku gak sengaja ketemu dia.” “Dia motret kakak.” Cassie menunjukan pesan yang dikirim Tavisa. “Katanya kamu seksi saat mabuk.” “Aku gak mabuk.” “Tapi kamu membiarkan Tavisa memotret saat kamu minum.” “Apa kamu cemburu, Cassie?” Alex berhenti berjalan untuk menatap wanita itu. “Aku gak cemburu. Aku cuma gak suka Tavisa seolah ngalahin aku.” “Kalian sebenarnya ada masalah apa? Kenapa saingan begini?” Cassie berdecak, lalu ia melangkah duluan meninggalkan Alex di belakang. Alex mengikutinya. “Kak Alex tahu aku musuhan sama Tavisa kenapa malah minum sama dia?” Cassie mengomel lagi setelah mereka berdua masuk mobil. “Aku cuma minum.” Seumur hidupnya Alex tidak pernah berurusan dengan perempuan yang marah karena ia minum dengan perempuan lain. “Serius, Cassie.” “Atau kak Alex suka sama Tavisa??" tuduh Cassie. “Dia emang cantik tapi aku gak suka dalam ranah romantis. Tapi kalau aku muji wajahnya, wajar kan?” Alex tidak ingin berbohong. “Kamu yang manyun begini bener-bener kayak lagi cemburu.” “Aku gak cemburu!” “Yaudah, iya, gak cemburu.” Alex mulai menyetir, membiarkan Cassie bergumam sendiri di kursi penumpang seperti anak bocah yang tidak dibelikan gulali. “Biasanya di novel-novel romance itu prianya yang posesif, kenapa kamu malah yang posesif?” kata Alex sambil melirik Cassie namun tetap fokus pada jalanan. “Aku punya novel sendiri!” kata Cassie, galak. “Oke... jadi kamu mengakui nih kamu posesif sama kakak?” “Gak!” “Jangan salting gitu dong.” “Gak!” “Gemes banget, sayang.” Cassie berdecak mendengar Alex memanggilnya seperti itu. “Gak mempan!” “Terus aku harus gimana dong?” “Gak tau!” Alex terkekeh, entah mengapa ia punya tenaga untuk pembahasan tidak penting ini. “Kita kayak pasangan beneran aja segala cek-cok.” “Kak Alex yang mulai!” “Aku salah apa, sayang?” “Ih, alay.” Alex menjulurkan tangan kirinya untuk mengacak-acak rambut Cassie. “Jangan gemes-gemes, aku lagi nyetir.” “Emang kenapa kalau nyetir?” “Gak bisa cium kamu.” “Emang siapa yang izinin om cium aku?” “Astaga, kok om sih?” Alex meringis. “Karena memang om-om.” Alex makin mengacak-acak rambut Cassie. Wanita itu protes karena katanya rambutnya jadi berantakan. Mobil sudah sampai di pelataran rumah megah Hartono, Cassie melepaskan sabuk pengaman lalu keluar dari mobil bersamaan dengan Alex. “Good night, Cassie,” ujar Alex lalu ia berjalan menuju gerbang. Cassie baru sadar mobil Alex ditinggalkan di parkiran hotel Haidan, tempat J’Land bar berada. “Kak Alex pulang naik apa?” Cassie bertanya. “Taksi, mungkin.” “Di sini susah nyari taksi apalagi udah jam 10.” “Kalau gitu aku tinggal jalan ke stasiun.” “Nginep aja.” Alex membalikan badannya, “Nginep?” “Iya.” “Di kamar kamu?” Cassie memutar bola matanya. “Gak lah. Di sini banyak kamar tamu.” “Maunya di kamar kamu,” canda Alex. “Boleh. Tapi besok kamu dipanggang ka Arik.” Alex hanya menanggapi dengan senyuman. “Nginep aja kak Alex, besok biar supir aku nganterin kak Alex pulang. Lagian besok weekend.” Alex berpikir sebentar, sebenarnya ia terlalu lelah untuk naik kendaraan umum. “Oke, Cassie, aku kayanya memang harus menginap.” *** Arik Dierja Hartono memiliki rumah sendiri namun ia tetap menginap di rumah orangtuanya. Biasanya saat weekend tiba. Ayahnya sering mengajak Arik bermain golf atau sekadar bersantai di rumah. Berenang, dan memakan sup buatan mamanya. Weekend kali ini seperti biasanya Arik menginap di rumah orangtuanya. Kamarnya di lantai dua, menghadap langsung ke kolam renang dengan air yang begitu biru. Arik pikir orang yang sedang berenang bersama Cassie adalah Janied, namun ia sadar bahwa adiknya tidak menginap sebab mengisi acara di Singapur. Janied adalah seorang penyanyi, jadwalnya padat.  Jadi siapa yang berenang dengan Cassie dan membuat adik perempuannya itu tertawa pagi-pagi buta? Arik membuka kaca jendela kamarnya, melihat ke bawah ke arah kolam dan keningnya mengerut mengetahui orang yang sedang balap renang bersama Cassie adalah teman baiknya, Alexander Madava. “Alex!” Arik memanggil, nyaris berteriak. “Morning kak Arik.” Malah Cassie yang menyapanya. “Hai, Ar.” Alex melambaikan tangan. Bisa-bisanya si b*rengsek itu melambaikan tangan. Arik turun menuju kolam renang, tidak menyukai kedekatan adik perempuannya dengan pria yang ia ketahui senang sekali melakukan one night stand dan tidak percaya pada komitmen. Seperti itulah Alexander Madava di mata Arik. “Kak Arik mau berenang?” tanya Cassie. “Ngapain pagi-pagi lo di rumah orangtua gue?” Arik langsung terfokus pada Alex yang tidak memakai apa pun pada bagian tubuh atasnya dan sepertinya hanya memakai boxer. “Lo gak pake baju di depan cewek, Alex?” “Kak Alex lagi berenang, gak salah dia shirtless. Kalau pake kemeja berarti mau ke gereja.” Cassie menjawab dengan nada menyebalkan. Sengaja, sebab Arik jadi cerewet padahal biasanya seperti patung es. “Diem, Cassie. Kakak menyelematkan kamu dari godaan Lucifer.” “Apakah p*entil gue menggoda Cassie, wahai sahabatku Arik Dierja Hartono?” Alex sengaja menunjukkan tubuh bagian atasnya yang basah. Cassie langsung tertawa membuat Arik geleng-geleng kepala. *** “Ma? Apa Alex udah pulang?” Selesai berenang, Cassie mandi dan berganti pakaian lalu kembali untuk sarapan dan ia tidak melihat Alex. Ibunya tahu Alex menginap di sini karena tidak bawa mobil. “Alex lagi tanding,” ujar Selena dengan senyum mencurigakan. “Tanding apa?” “Boxing.” Firasat Cassie tidak enak. “Oh no. Sama kak Arik???” “Yup.” Ibunya mengangguk. “Mama serius??” “Iya, Cassie. Alex bisa tinju, kan? Kalau nggak, pasti abis sama Arik.” “Kak Arik bener-bener ya!” Cassie langsung membawa langkah kakinya menuju ruang gym di rumah ini. Di sana ada ring tinju yang biasanya dipakai Arik latihan jika sedang menginap di sini. Cassie mendengar suara-suara tinjuan itu dan ia langsung mendorong pintu dengan kuat. Di atas ring ia bisa melihat Arik dan Alex memakai pelindung kepala dan sarung tangan berbeda warna. Alex memakai warna serba merah sedangkan Arik memakai warna biru, selalu, kebanggannya. Arik baru saja menghajar perut Alex sampai temannya itu tersungkur. “KAK ARIK!” Cassie berteriak, menghentikan acara gak penting yang dilakukan kakaknya. “Alex harus bisa ngalahin kakak baru bisa dipertimbangkan jadi calon suami,” jelas Arik yang berdiri memandang Alex yang kesulitan berdiri karena ia tidak tertarik dengan boxing. Alex hanya olahraga di gym dan kalau sedang niat lari mengelilingi komplek. Sedangkan Arik menguasai olahraga boxing sejak SMP. “Aku cari suami, bukan bodyguard!” Cassie masih berteriak, ia masuk ke ring untuk menarik Alex keluar dari sana. Untung saja Arik tidak menghajar Alex di wajah sebab Cassie tidak mau punya calon suami yang babak belur. Cassie mamapah Alex yang badannya lebih besar darinya untuk pergi menjauhi Arik yang sepertinya sangat bersemangat menghajar Alex dengan berkedok ini hanya olahraga. “Lex, abis ini balapan. Lo masih punya kuda, kan?” Arik berkata cukup keras agar temannya dengar. “Shut upppp.” Cassie memberikan Arik jari tengahnya. *** Alex minum cukup banyak dan Cassie khawatir bahwa pukulan Arik terlalu keras namun Alex bilang ini bukan apa-apa. Dulu saat kuliah Arik seding menjadikan Alex samsak hidupnya dan Alex masih bisa bernapas sampai sekarang. Alex yakin tidak ada tulang yang patah. Ia hanya mual saja. “Kak Arik sepertinya lagi kesurupan. Dia jadi lima kali lipat nyebelin. Manusia es itu nyebelin,” Cassie mengomel. Alex menganggapnya lucu sehingga ia terkekeh. “Iya, dia emosian akhir-akhir ini. Mungkin mau ganti kulit.” “Beneran gak perlu ke dokter, kak?” Cassie menyentuh perut Alex dari balik kaus putih. Alex mengangguk. “Aku gak pa-pa. Arik pernah ninju lebih keras dari ini pas SMA. Kayanya tenaga dia berkurang gara-gara umur.” “Sini aku lihat ya,” Cassie perlahan-lahan menyibakkan kaus yang dipakai Alex, meski tadi Cassie menemukan Alex sedang kesakitan di ring, ternyata tidak ada luka memar. Meski begitu Cassie yakin rasanya tidak enak sehingga ia mengambil  air hangat dan mengompres perut Alex. “Ini pertama kalinya perut aku di kompres,” ujar Alex saat ia merasakan kain hangat berada di perutnya. Cassie menekan-nekan kain itu dari tengah sampai ke seluruh bagian perut Alex. “Memangnya kalau sakit perut gak dikompres?” Alex menggeleng. “Nggak.” Tangan Cassie yang menekan kain di perut Alex ditahan oleh pria itu. Posisi mereka sangat dekat sehingga Cassie bisa melihat secara jelas senyuman Alex. “Makasih,” ujarnya. “Sama-sama. Aku merasa bertanggung jawab karena kakak aku yang hajar perut kak Alex.” Alex mendekatkan wajahnya kepada Cassie dan ketika ia merasa Cassie tidak menjauh atau mendorongnya, Alex percaya diri untuk mendaratkan ciuman pada bibir gadis itu. Tiba-tiba Cassie berteriak, membuat Alex terkejut dan bingung. “K-kenapa, Cassie?” “Itu first kiss aku!” “Hah?” “You steal my first kiss.” Alex rasa ada yang aneh. “Tapi kamu udah mencium aku di J’Land, Cassie. Masa sekarang masih first kiss?” “Oh, ya?” Cassie mengingat kelakuannya malam itu lalu wajahnya merah seketika. “Sh!t, first kiss aku... pas di J’Land.” “Serius?” Alex benar-benar terkejut. Cassie semula memasang ekspresi seperti bengong, sangat menghayati kemudian ia menjulurkan lidah kepada Alex. “Bohong, wleee. You’re not my first kiss.” Sial, Alex sangat gemas dengan cara Cassie bertindak. Meminta satu ciuman lagi di bibirnya boleh, kan? “Can I kiss you again?” Cassie seperti berpikir, nyaris memberikan harapan bagi Alex namun kemudian menggeleng dengan cepat. “No kiss before marriage.” “Astaga... yang bener aja. Masa kiss juga gak boleh?” Cassie hanya tertawa melihat wajah Alex yang lesu. Gotcha! Si playboy masuk perangkap! []  [] - Hai, apa kabar semuanya? Follow my **; galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD