pertengkaran kecil

1108 Words
Sudah lewat jam delapan malam, tapi Gerald belum juga menunjukkan batang hidungnya. Pria itu pasti sedang nongkrong dengan teman-temannya jika ia sedang kesal. Amira tidak berusaha mencarinya, karena dia sudah tahu kebiasaan Gerald, bahkan dia merasa tidak perlu curiga lagi jika pria itu menghianatinya. Mereka sudah memiliki perjanjian. Siapa di antara mereka merusak kepercayaan lebih dulu. Di persilahkan untuk keluar dari rumah hanya dengan baju yang melekat di badannya. Sejauh ini Gerald tak pernah berani macam-macam lagi. Setelah insiden menyakitkan beberapa tahun silam di awal-awal pernikahan mereka. Tapi Amira tak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Baginya yang sudah berlalu biarlah berlalu. Tapi sebenarnya sejak hari itu. Cintanya pada Gerald sudah sepenuhnya memudar. Seandainya pria itu pergi dari hidupnya, ia tidak akan merasa kehilangan lagi. Jika ia memilih tetap bertahan saat ini. Itu tidak lebih dari sekedar ia tidak ingin melukai hati kedua buah hatinya. Lagipula, sikap Gerald selama dua tahun ini juga baik. Pria itu bahkan bertambah sayang padanya. Amira teringat akan mimpinya tadi pagi. Dimana ia tampak nyata bertemu kembali dengan Farel. Tapi ternyata semua itu hanyalah sebuah mimpi. Sebenarnya Amira masih menyimpan nomer Farel. Tapi ia sedikitpun tak berani menghubungi pemuda itu. Karena ia sudah terikat perjanjian dengan Gerald. Jika dirinya berani berhubungan lagi dengan Farel. Maka semuanya akan selesai. Bagaimanapun, Amira sebenarnya adalah istri yang setia. Andai saja Gerald tak menyakitinya waktu itu. Mungkin Amira akan menahan diri untuk tidak jatuh cinta dengan pria lain. Kini perasaan itu bagai duri, menancap kuat di hatinya. Dan ia hanya bisa menyembunyikan semuanya agar semua tetap terlihat baik-baik saja. Tidak tahu apa yang di rasakan Farel terhadapnya, menjadikannya alasannya untuk memendam perasaannya. Tidak ada yang berusaha mengejar, tidak pula yang berusaha untuk bertahan. Yang terucap hanya kata perpisahan, tapi hati tak kuasa untuk melepaskan. "Dimana kamu sekarang? Aku rindu," gumam Amira dalam keheningan malam. lelehan bening jatuh dari sudut matanya, sebagai tanda lukisan rindu yang tak terlihat. Amira tahu, Farel lah yang sebenarnya menjadi sumber bahagianya. Tapi cinta ini terlalu rumit hingga ia tak kuasa untuk mengurainya. Kreekkk... Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Amira buru-buru mengusap pipinya yang basah. Terlihat Gerald yang baru memasuki kamar dengan wajah lesu. "Kamu dari mana? Kok jam segini baru pulang?" Ujar Amira sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam. Gerald tahu, itu hanya pertanyaan bwasa-basi saja dari istrinya. Karena dia tadi sudah sempat memberi kabar di pesan What sapp-nya jika dirinya sedang main di rumah salah satu teman kantornya. Pasti Amira tidak membaca pesannya, pikirnya. "Sebenarnya kamu beberapa hari ini mikirin apa sih? Kok kayak nggak fokus gitu?" Gerald malah balik bertanya dengan wajah masam, ia melepas sepatu dan kaos kaki yang di kenakannya, lalu naik ke tempat tidur merebahkan tubuhnya yang letih. "Maksud kamu apa?" Nada suara Amira sedikit meninggi. Sudah beberapa hari ini ia cukup bersabar menghadapi sikap cemburu Gerald. Pria itu kadang kekanak-kanakan dan egois, tidak mau mengalah, dan tidak mau memahami keadaannya. Gerald bangkit dari rebahannya dan menatap nanar ke arah istrinya. "Kamu pasti lagi mikirin dia kan? Si Farel itu?" Sentaknya tak mau kalah. Emosinya seakan meluap. Ia tidak tahan lagi dengan sikap abai Amira beberapa hari ini. "Emang kamu punya bukti kalau aku mikirin dia?" Tantang Amira. "Jadi kamu mau bukti?" Gerald bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah nakas. Mengambil ponsel Amira dan mulai memeriksanya. "Ini apa?" Ia menunjukkan layar ponsel ke arah Amira. "Selama ini kamu masih cari tahu tentang dia kan? Kamu suka stalking sosial medianya, iya kan?" Desak Gerald kesal. Amira menelan ludah kasar. Ternyata diam-diam Gerald selalu memperhatikan gerak-geriknya. "Tapi aku nggak berusaha hubungin dia lagi kan? Seenggaknya aku masih tahu batasan!" Kilah Amira. Ia kesal karena Gerald tak mau mengerti dirinya. Hanya stalking? Kenapa harus cemburu? "Sekarang kamu mending buat keputusan, kalau kamu emang nggak mau dengerin kata-kata aku. Capek tau aku ngasih taunya." Gerald sama sekali tidak ingin melunak kali ini. "Ini semua gara-gara kamu tahu nggak? Kamu duluan yang selingkuh, kamu duluan yang nyakitin aku! Padahal waktu itu aku nggak salah apa-apa sama kamu!" Amira sudah tidak tahan, akhirnya emosinya ikut meluap, air matanya mengalir karena sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi. "Amira... kenapa sih kamu selalu ungkit masa lalu? Toh aku juga udah berubah, dan lagian waktu itu aku khilaf, temen-temen aku yang ngajakin ke club' dan mereka ngajakin aku buat sewa wanita penghibur. Aku terbawa pergaulan. Tapi kenapa kamu nggak bisa maafin aku! Aku udah keluar dari kerajaanku yang lama. Dan aku udah bener-bener berubah!" "Sedangkan kamu. Aku tahu kamu punya perasaan sama cowok itu kan? Iya kan?" "Itu bukan urusan kamu!" Amira memilih menghindar, ia keluar kamar karena tak ingin terus berdebat. "Amira! Kita belum selesai bicara!" Amira tak menggubris panggilan Gerald. Ia terus melangkah menuju kamar anak-anaknya yang ada di lantai atas. Saat mamasuki kamar, kedua anaknya sudah tertidur lelap. Amira berjalan pelan menghampiri ranjang Putri sulungnya. Namanya Amena, usianya genap tujuh tahun, tahun ini. Sedangkan di ranjang sebelah ada si bungsu Nico yang dua tahun lebih kecil dari Amena. Keduanya tampak terlelap dalam damai. Amira membelai rambut putrinya, tanpa terasa lelehan bening dari sudut matanya kembali mengalir. Dadanya terasa sesak. Seandainya bukan demi kedua buah hatinya ini, ia pasti lebih memilih untuk berpisah dengan Gerald. Amira sudah lelah membohongi perasaanya selama dua tahun ini. Harusnya ia bisa mengejar kebahagiaanya sendiri. Tapi itu terasa sangat egois. Ada tanggung jawab dan beban moral yang besar, ia tak ingin jadi contoh yang buruk bagi anak-anaknya. Amira sudah berusaha keras memperbaiki hubungan dengan Gerald. Tapi pria itu seperti tak pernah membiarkannya bernapas. Padahal dirinya hanya menyimpan nama pria itu dalam pikirannya, tidak bermaksud memilikinya. Tapi Gerald seolah tak terima. Tidak ada yang mengerti perasaanya saat ini. Ceklek... Daun pintu terdengar berderit, Gerald menyusul Amira ke kamar anak mereka. "Maafin aku," ujarnya lirih. Amira hanya terdiam. Saat pria ini meminta maaf, jadi dirinya yang merasa bersalah. Ia tidak bermaksud mengungkit masa lalu Gerald. Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi ganjalan di hatinya. Amira hanya sedang mencari pembenaran atas perasaannya. "Maafin aku juga." Amira tidak tega jika melihat Gerald memasang wajah sedih. Ia tahu bagaimana pria itu selalu berusaha menyenangkannya. Namun Amira juga bingung dengan perasaanya yang tidak mungkin bisa kembali pada pria itu. "Aku mohon jangan pergi. Aku cuma sedikit kesal tadi. Karena aku juga banyak tekanan di kantor akhir-akhir ini." Amira selalu jadi pendengar yang baik untuk Gerald. Ia selalu mendengar keluh kesah Gerald. Tapi sebaliknya, Amira jarang mengungkapkan apa yang di rasakannya pada Gerald. Hingga menyebabkan keduanya sering salah paham. "Kita balik tidur ke kamar, yuk?" Ajak Gerald. Ia menarik tangan Amira agar ikut bersamanya. Amira menghela napas berat. Jika Gerald seperti ini terus, Amira jadi semakin bingung menentukan perasaanya. Bersambung

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD