(◍•ᴗ•◍)❤ Hai, all. Visual Grisham Rutherford bisa di cek di IG Sisilianovel atau kalian cek di you.tube channel Kristin Dean video Alain Delon - Dernièr Danse dan ada video- video Alain Delon lainnya yang sangat aestetik. Selamat menikmati.
Ini episode lanjutan Rich Daddy's.
***
Saat patah hati, mengusir sepi dengan bersenang- senang, kemudian ketika membuka mata di hari esok, menemukan ada seseorang di sisimu, rasanya sedikit melegakan. Grisham menarik napas dalam, mengembuskannya sambil tersenyum melihat Esteva tertidur lelap, meringkuk ke pundaknya, sementara selimut tergulung tidak karuan, tak seberapa menutupi tubuh mereka berdua. Gadis itu seperti bidadari yang kehilangan sayap dan sedang mencari perlindungan padanya.
Grisham bergerak perlahan turun dari ranjang. Ia menggunakan kamar mandi di kamar itu, membersihkan diri dengan saksama karena harus bersiap menghadiri pertemuan. Mandinya agak lama, ketika ia keluar, Esteva sudah tidak ada di ranjang. Grisham berdiri membungkus bagian bawah perutnya dengan sehelai handuk. Ia tercenung melihat gadis itu mengenakan kemejanya. Rambut panjang ikalnya berantakan dibiarkan tergerai. Gadis itu berdiri dekat jendela, memandang keluar sambil mengisap sebatang rokok yang tidak dinyalakan.
Esteva mendapatkan rokok itu di pakaian Grisham. Ia menyesap rasa campuran tembakau dan rempahnya, rasa yang dicecapnya dari bibir Tuannya dan aroma tubuhnya. Dari jendela itu ia memandang ke arah Kastel Bournemouth berada, walaupun tidak kelihatan. Tidak bisa ditampiknya, dalam hati ia masih mengenang Andreas. Ia sudah sangat dekat mewujudkan impiannya berbahagia bersama Andreas, tetapi kenyataan menghancurkan impian itu dalam sekejap.
Grisham menarik rokoknya dari mulut Esteva. Gadis itu terkejut, mata tajam mendeliknya, yang segera berubah merajuk. "Tuan, jangan rusak kesenangan pagi saya," rengek Esteva.
"Kesenangan pagi?" Grisham menyesap rokok itu lalu menyulutnya. Asap mengembus dari sela mulutnya. Ia melirik gadis itu. Esteva mendekapnya, mendempetkan tubuh dengan manja, berserta sorot memelas padanya.
"Saya suka mengecap sesuatu yang berasa di pagi hari saat saya belum makan apa- apa," kata Esteva. Ia biasa menyemil kismis, buah- buahan kering, atau memeras air jeruk lemon dan meminumnya setelah bangun pagi. "Itu menyegarkan pikiran saya."
"Oh, ya? Kalau begitu, jangan rokokku, sayang. Ini tidak cocok untuk perempuan, rasanya terlalu keras." Grisham beranjak menjauh dari sisi Esteva dan memunguti pakaiannya. Ia kembali mendekati Esteva sambil menadahkan sebelah tangan pada gadis itu. "Kemejaku, Eva. Gadis-gadis seharusnya mengenakan gaun mereka, bukan pakaian pria."
Esteva merengut, menegapkan tubuh, membuka kemeja Grisham dan tampillah tubuh polos, berlekuk kencang dan padat, dua munjung kembar bulat sempurna, pinggang halus, perut rata dan area segitiga mungil pertemuan tungkai kakinya.
Grisham sudah menikmati tubuh itu, meninggalkan jejak- jejak kepemilikannya di sana, bahkan menjadi yang pertama menumpahkan serbuk percintaan mereka. Namun pesona gadis itu tetap membuat tubuhnya menggila bagai pemuda di musim perjodohan. Tonggaknya mengokohkan diri di balik handuk. Grisham segera menarik kemejanya dari tangan Esteva seraya memutar tubuh sehingga memunggungi gadis itu. Ada kegiatan lain membuat Grisham ingin bergegas pergi.
Esteva sangat tidak suka perasaan ditinggalkan dan diabaikan yang ditimbulkan Grisham. Pria itu membenahi kemeja hendak memasangnya. Esteva menarik handuk Grisham sehingga terlepas dan memperlihatkan tubuh bagian bawahnya yang mengoarkan bukti keperkasaan seorang laki- laki.
Grisham terdiam, memelototi handuknya tidak di tempat. Ia melirik ke belakangnya dan di sana, gadis itu berdiri anggun meng handuknya lalu menjatuhkannya ke lantai. Grisham berbalik bersamaan Esteva mendekatinya. "Eva, aku ...." Grisham ternganga. Gadis itu sigap berlutut dan langsung melahap keperkasaannya. Mata Grisham membesar, lalu meredup gelap. Napasnya tersengal berat, suaranya menjadi parau menyebut gadisnya. "Eva ... kau ... sshh ... ahh!" Ia mendorong kepala Esteva agar mengeluarkan miliknya, tetapi gadis itu bersikeras. Ujung miliknya melengkung di lekukan tenggorokan Esteva. "Ohhhh ... Esteva ... hentikan, sayanghh ...."
Esteva mengeluarkan sebentar dari mulutnya untuk merutuk Grisham. "Tuan melarang saya mengisap rokok itu, jadi saya mengisap tonggak Tuan saja. Huffh!" Esteva kembali memenuhi mulutnya dengan milik Grisham.
Grisham berusaha membujuknya. Ia mengusap lembut kepala Esteva. "Sayang, bukan aku ingin merusak kesenanganmu, ahh ...." Sangat sukar berpikir jernih di saat sensasi isapan- isapan itu menyusup ke sumsum tulang belakangnya. "Kemarin pagi aku juga sudah .... lalu malam tadi .... yang kali ini akan sangat sulit mengeluarkannya, sayang ...."
Esteva mendongak menatapnya, menarik keluar batang panjang dari mulutnya agar bisa berbicara lagi pada Grisham. Bibirnya merah meranum berkilap basah. "Tidak apa- apa, Tuan. Saya suka rasa Tuan. Saya akan mengisapnya sampai saya puas saja. Jangan khawatir tidak bisa keluar," desahnya.
Ucapan gadis itu, entah bagaimana membuat Grisham tenang. Ia tidak mencegah Esteva lagi menelan sepanjang keperkasaannya. Grisham memejamkan mata, terdongak bagai melesat menuju angkasa. Jemarinya mencengkeram rambut Esteva, menekan kepalanya agar rasa nikmatnya bertambah berkali lipat.
Berlutut padanya, mencengkeram pipi tulang duduknya, memuja keperkasaannya sedemikian rupa, Grisham merasa diagungkan oleh gadis itu. Sejenak, ia lupa segalanya. Mereka berdua berada di alam liar milik mereka sendiri. Lidah Esteva dan keperkasaan Grisham, bagai ular melilit batang pohon. Grisham tidak mengira benih- benihnya terkumpul lagi dan siap disemburkan. "Eva ... aku mau keluar, sayang," ucapnya penuh derita. Esteva memberinya ruang. Ia mengocok mulut Esteva dengan ayunan pinggul yang sangat cepat mengguncang sekujur tubuhnya.
Esteva terengah kelaparan akan ekstrak kenikmatan Tuannya. Ia memohon dengan sangat agar air itu segera ditumpahkan. Saat tumpahan itu terjadi, pintu kamar terbuka lebar.
Brakk!
Britanny berdiri di ambang pintu dengan mata terbelalak melihat Grisham sedang menjejali mulut gadis piaraannya. Muka Britanny langsung merah padam dan meneriaki sepupunya itu. "Grisham! Kalian berdua! Ihh, me.sum!"
Brakk!
Britanny membanting pintu dan pergi dari situ seolah asap tebal mengepul keluar dari kepalanya. Sekelompok pelayan menertawakan Britanny sembunyi- sembunyi. Mereka tahu Tuan mereka di dalam sana sejak kemarin dan belum keluar sehingga mereka tidak berani masuk. Agaknya Britanny terlalu marah pada gadis baru itu sehingga membuka paksa pintu dan akibatnya harus ia hadapi sendiri.
Esteva mengusap sekeliling bibir dan pipinya, menjilati tangannya menghabiskan sisa sari kenikmatan Tuannya. Wajah ayunya merah merona, matanya sayu mabuk berahi. "Apa itu tadi?" gumamnya.
Grisham yang tersandar ke nakas, mengusap lembut rambut Esteva yang masih berlutut di kakinya. "Bukan apa- apa, sayang. Hanya gangguan kecil," jawab Grisham. Grisham meraih dagu Esteva, membungkuk mengecup bibir gadisnya. "Kau sudah puas, sayang? Aku boleh pergi? Aku harus bersiap- siap. Ada pertemuan penting yang sudah dijadwalkan hari ini. Aku tidak bisa mangkir."
Gadis itu mengangguk kecil. Grisham mengecup bibirnya lagi. "Berdandanlah, Kita bertemu di meja makan, untuk sarapan yang agak kesiangan sebelum aku pergi."
"Baik, Tuan." Esteva menyahut. Gadis itu berdiri lalu berlari kecil ke kamar mandi.
Sorot mata Grisham mengiringinya sambil tersenyum senang gadisnya tidak bertingkah. Grisham mengenakan pakaiannya serampangan lalu keluar kamar. Di selasar terlihat beberapa pelayan wanita yang berkerumun, lalu buru-buru membubarkan diri, berdiri tegap di posisi mereka. Grisham berlalu sambil berujar pada para pelayan itu. "Bantu Nona Esteva berpakaian lalu antar dia ke ruang makan."
"Baik, Tuan!"
Ada 4 gadis pelayan mendampingi Esteva. Karena Esteva bukan warga Inggris, mereka menggunjingkan Esteva seolah gadis itu tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Esteva memang tidak bereaksi, sejak awal ia sudah merasakan para gadis- gadis akan membencinya karena ia orang asing dan meniduri Tuan mereka. Ia tidak ambil pusing gumaman dan cekikikan tidak jelas itu. Yang terpenting Grisham Rutherford menyayanginya.
Grisham berada di kamarnya sendiri, di selasar yang lain. Di sana ia membersihkan diri lagi. Alfred sudah menunggu, membantunya berpakaian setelan jas bangsawan, menyiapkan perlengkapan perjalanannya, lalu mendampingi Grisham ke ruang makan.
Di ruang makan, ada Britanny duduk sendirian. Melihat kedatangan Grisham, gadis itu bersedekap marah. Grisham menegurnya dengan santai. "Kau sudah makan, Britanny? Kenapa berada di sini?"
"Aku menunggu untuk bicara denganmu."
"Soal apa?" Grisham duduk di posisinya sebagai penguasa rumah itu.
"Kalungku!"
"Oh, ya ampun, soal itu lagi! Bukankah pelayan sudah mencarinya? Jika mereka tidak menemukannya hari ini, lakukan lagi pencarian esok hari. Terus lakukan hingga setiap jengkal kediaman ini sudah disisir. Aku yakin kita akan menemukannya."
"Satu-satunya tempat yang belum diperiksa adalah kamar Esteva," lugas Britanny.
"Ah, pantas kau tidak sabaran masuk ke kamarnya. Aku kira kau sadar aku bermalam di kamarnya dan sengaja ingin menggangguku."
Britanny mendesis. "Hisssh, kau bahkan tidak bisa menahan diri segera melipir ke kewanitaannya. Itu sudah jelas menunjukkan dia bukan gadis baik- baik. Di mana akal sehatmu?"
"Mungkin aku tidak memilikinya," jawab Grisham asal- asalan. Semenjak Sylvia meninggalkannya begitu saja, harga dirinya luluh lantak walaupun tidak bisa ditunjukkannya. Lucu, ada wanita yang berani mencampakkannya. Esteva adalah pelampiasan yang tepat. Gadis terlantar yang bisa diperlakukannya sesuka hati.
Britanny semakin dongkol. Apalagi Esteva datang berpakaian anggun bagai putri bangsawan. Grisham menatap lekat gadis itu dan tersenyum terus menerus.
"Mari kita makan, Eva," kata Grisham memulai resmi sarapan mereka.
Esteva memperhatikan tidak ada makanan di depan Britanny sehingga menyapanya. "Anda tidak makan, Nona Britanny?"
Britanny malah mengetusinya. "Bukan urusanmu!" Lalu mengentak pergi dari situ.
Tatapan Esteva mengiringi sampai sosok Britanny menghilang di luar pintu ruang makan. Raut wajahnya sendu, tetapi berusaha berseri-seri lagi ketika Grisham menangkup punggung tangannya dengan lembut. "Jangan dimasukkan ke hati, Eva. Britanny sedang galau kehilangan kalung kesayangannya. Aku yakin setelah beberapa hari ia akan baikan."
"Ya, Tuan, saya mengerti."
"Nikmati saja hari- harimu di Winterwall, Eva." Grisham menyorot penuh arti. Ia meletakkan kantong kain kecil berisi 3 keping koin emas di telapak tangan Esteva.
Wajah Esteva bersemu, tertunduk tersipu, menggenggam kantong uang itu lalu menyisipkannya ke belahan dadanya. "Ya, Tuan. Terima kasih," ujarnya malu-malu.
Selesai makan, Esteva mengiringi Grisham ke teras depan. "Semoga urusan Tuan hari ini terselesaikan dengan baik dan cepat kembali," katanya.
"Terima kasih, sayang. Itu ucapan termanis yang pernah kudengar dalam kurun satu dasawarsa ini," sahut Grisham. Ia masuk ke dalam wagon. Seorang ajudan muda mengikutinya. Kereta kudanya bergerak meninggalkan teras.
Esteva berdiri bersisian dengan Alfred, melambaikan tangan melepas kepergian tuannya. Senyum Esteva layaknya gadis manis yang jatuh cinta pada tuannya. Alfred memperhatikan hal itu. Alfred menyenanginya karena Esteva membuat tuannya senang. Gadis itu lalu menatapnya. "Tuan berkata aku harus menikmati suasana di sini. Winterwall tempat yang sangat luas, bisakah kau mengantarku berkeliling?" pinta Esteva.
"Tentu, Nona, saya akan mengenalkan pada Anda istana Winterwall." Alfred lalu mempersilakan Esteva melangkah dan ia memandunya.
Ada ruang khusus untuk setiap aktivitas di Winterwall. Seperti ruang bermain kartu, ruang bermain musik, ruang melukis, ruang dansa, ruang membaca, ruang bermain anggar, dan sebagainya. Lalu ada selasar khusus kamar tidur tamu, selasar khusus kamar tidur kerabat kerajaan, lalu ada selasar khusus di mana kamar Grisham berada. Kamar Esteva berada di selasar tamu, sangat jauh dari kamar tidur Grisham. Sedangkan kamar Britanny ada di selasar kerabat kerajaan. Untuk para pelayan ada bangunan khusus lagi dan deretan kamar dibagi berdasarkan posisi kepangkatan mereka.
Alfred menunjukkannya istal tempat kuda- kuda Winterwall dirawat. Martin, Seorang pemuda rupawan menjadi pengurus tempat itu. Di sana, Esteva mengenali ada satu kuda yang bukan milik Grisham. Kuda berkulit sehitam obdisian milik Andreas yang dibawa Sylvia sewaktu melarikan diri dari Bournemouth. Esteva menyapa kuda itu, mengusap kepalanya dan surainya. "Halo, Blacky!"
"Kau kenal kuda ini?" tanya Martin.
"Hmm, ya. Ini salah satu kuda di Bournemouth. Saya dulu penghuni di sana." Esteva asyik mengusap- usap surai Blacky.
"Oh!" Martin berseru pendek, lalu mengulum senyum dan matanya menelusuri lekukan tubuh Esteva. Semua orang tahu Bournemouth tempat apa dan bagaimana kelakuan viscountnya. Esteva tentunya bukan gadis polos dan lugu lagi. Martin membasahi bibir dan menggigitnya sedikit, terbayang bagaimana jika pinggul gadis itu bergoyang.
"Nona, sebaiknya kita kembali ke dalam," peringat Alfred karena hari sudah sangat siang.
"Baiklah," sahut Esteva, beranjak meninggalkan Blacky. Ia mengiringi Alfred ke bangunan utama lagi. Sampai di selasar, langkah mereka dihentikan Britanny.
"Aku ingin memeriksa kamarmu," kata Britanny.
"Silakan," jawab Esteva tenang. Diringi Alfred dan beberapa pelayan, mereka ke kamarnya.
Para pelayan dan Britanny menggeledah kamarnya. Semua perabotan dibuka, diangkat, diraba- raba. Pakaian dalam lemari dikeluarkan lalu diperiksa satu per satu. Kamar itu jadi sangat berantakan, tetapi mereka tidak menemukan barang yang mereka cari. Britanny menghadap Esteva, memelototi gadis itu mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Esteva memasang wajah datar dan santai. Ia tahu Britanny tidak akan melepaskan kecurigaan padanya begitu saja. Britanny berseru lantang pada pelayan. "Geledah dia!"
Dua pelayan wanita menggerayangi tubuh Esteva, merogoh ke dalam bajunya, lekukan- lekukan tubuhnya. Esteva tersenyum tipis berupa seringai yang membuat Britanny meradang.
Satu pelayan merogoh belahan da.da Esteva dan menemukan kantong uang. "Nona Britanny!" seru pelayan itu dan membawa temuannya kepada nonanya.
Britanny membuka kantong itu dan mendapati 3 keping koin emas. Semua orang terperangah, mengernyit kening penuh tanya, mendelik tajam pada Esteva. Mana mungkin gadis yang datang ke sini tanpa membawa apa- apa bisa memiliki koin emas. Giliran Britanny yang menyeringai. Ia menimang kantong uang itu dan berujar menyindir Esteva. "Lihat apa yang kami temukan! Kau tidak akan bisa mengelak lagi, gadis pencuri!"
***
Bersambung ....