RDBG 06. Dikurung~

958 Words
Mata Esteva menajam atas ucapan Britanny yang langsung menuduhnya. Namun hal seperti itu bukan yang pertama kali terjadi dalam hidupnya. Sejak anak- anak ia kerap mendapat hujatan seperti itu. Ucapan Britanny tidak lagi melukainya. Esteva tersenyum tipis yang malah membuat Britanny semakin meradang. Dua pelayan memelintir tangan Esteva ke belakang berlagak membekuk penjahat di rumah mereka. Namun, gadis itu bergeming. "Kau tidak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali, Eva? Apa rasa moral dan harga dirimu sudah terkikis habis? Apa Bournemouth telah mendidikmu sebejat ini?" tuding Britanny. Semua ucapan Britanny benar adanya. Esteva menyahut datar. "Saya tidak punya pembelaan apa pun. Saya adalah saya apa adanya." Britanny berseru tegas pada Alfred. "Panggil Scotland Yard! Aku ingin mereka membawa gadis ini dan menjebloskannya ke penjara." Alfred berujar tenang. "Nona, dengan segala hormat, sebaiknya kita menunggu Tuan Grisham kembali sebelum mendatangkan Scotland Yard. Baru beberapa waktu lalu Scotland Yard kemari menangkap Alexander Speare. Tuan Grisham tidak akan suka Winterwall kembali jadi sorotan." Britanny mendengkus keras, lalu bersedekap berpikir sebentar. Salah satu pelayan menyeletuk, "Tetapi bagaimana jika Esteva melarikan diri atau melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan?" "Kalau begitu ikat dia dan kurung di gudang!" putus Britanny. Pelayan segera melaksanakan titahnya. Mereka menyeret Esteva keluar kamar, mengambil tali dan mengikat kedua tangan Esteva ke belakang. Mereka lalu mendorong Esteva ke dalam gudang penuh jerami dan perabotan rusak. Gadis itu tersungkur di lantai. Gudang dikunci dari luar dan dua pelayan perempuan berjaga di depan gudang. Alfred menggeleng perlahan menyaksikan hal itu. Ia sendiri tidak bisa membela Esteva karena tidak mengenal gadis itu, juga bukan wewenangnya menentang Britanny. Ia hanya bisa berharap Tuannya datang dan mengambil keputusan terbaik sebagai tuan rumah. Esteva bergeming di posisinya, terikat erat dan meringkuk di lantai kotor. Tidak juga membuat suara. Dia seolah mati rasa. Matanya terbuka, tetapi menyorot hampa. Dilempar ke gudang itu, mengulang rasa sakit yang dialaminya ketika Andreas mendorongnya jatuh dari ranjang saat menyerang Sylvia, istrinya. Hinaan terbesar yang pernah dialaminya. Apa pun yang diucapkan Andreas padanya saat itu hanya bermakna satu hal. Enyah dari sini! Sama seperti ketika dia dikeluarkan dari sekolah. Sama ketika ia dikeluarkan dari gereja. Sama ketika saudara- saudaranya malu memiliki adik haram dan mengusirnya keluar dari kamar mereka, mengusirnya dari meja makan, menenggelamkan kepalanya ke bak air di saat ibunya tidak ada. Sama ketika ibunya mendorongnya keluar kamar hanya untuk menangis sendirian karena hinaan warga sekitar. Sama ketika ibunya menyerahkannya ke tangan Andreas. Aku tidak bisa mengatasi gadis ini. Ia biang masalah dan aku sudah cukup mengalaminya. Dia milikmu sekarang. Ia dijauhkan dari orang- orang yang mengenalnya. Agar tidak merasa malu lagi, agar tidak ada hal yang mengingatkan mereka pada aib. Semuanya sangat sempurna saat bersama Andreas. Dunia baru, hal- hal baru yang dijumpainya, petualangan, janji manis cinta dan kenikmatan duniawi, kebebasan menjadi diri sendiri, harapan hidup baru yang lebih baik, dan untuk sejenak ia merasa berharga dan bermakna. Lalu sekejap kebahagiaan itu direnggut, oleh gadis Inggris yang berlakon manis dan lugu, yang tidak segan mengumbar selangkangannya pada Andreas. Air mata Esteva berlinang tanpa suara isakan. Hanya napasnya bergetar di saat menghela rasa sesak dalam dadanya. Jam demi jam berlalu. Hari malam dan dalam gudang gelap, hanya seberkas cahaya dari sela lubang angin yang menerpa wajah Esteva. Gadis itu terpejam dengan sisa air mata mengering di pipinya. Esteva membiarkan dirinya terkekang tak berdaya, tidak bergerak hingga sekujur tubuhnya mati rasa. Bukan karena ia tidak bisa melepaskan diri. Bukan karena ia tidak bisa melawan. Kehidupan bersama Andreas dan kru kapal memberinya banyak pelajaran bela diri. Ia diam karena sedang menghukum dirinya sendiri telah lahir ke dunia. Tidak melakukan apa pun agar mati rasa itu menjalar ke jantungnya dan ia mati seketika. Toh ia akan mati seorang diri dan tidak ada yang menangisi kematiannya. Tidak akan ada yang merindukannya. Tidak akan ada yang mengenangnya. *** Jam 3 dini hari, kereta Grisham tiba di Winterwall setelah perjalanan dari London. Alotnya perdebatan para pengusaha anggota aliansi dagang berlangsung hingga tengah malam dan bubar tanpa keputusan tetap. Setelah rapat itu bubar, kepala Grisham terasa panas dan tubuh pekat bau rokok cerutu. Ia sempat tertidur di kereta. Jonathan, pemuda akademisi yang menjadi asistennya, membangunkannya karena sudah sampai di Winterwall. "Tuan, kita sudah sampai," kata Jonathan seraya mengguncang kecil pundak Grisham. "Hm, ya," gumam Grisham seraya mengusap kasar wajahnya, lalu mengerjap- ngerjapkan mata agar terbuka lebar. Pintu kereta dibukakan Alfred. Ia turun dari wagon, diikuti Jonathan yang membawakan berkas- berkasnya. Jonathan mengantar berkas itu ke ruang kerja Grisham, baru beristirahat ke kamarnya sendiri. Grisham berjalan lugas menuju kamar. Alfred mendampinginya. Tiba di kamar, Grisham langsung membuka jas dan kemeja sekaligus menanggalkan sepatunya sembarangan untuk dibereskan Alfred. Ia sangat lelah dan ingin segera tidur, akan tetapi teringat gadisnya. Sambil melonggarkan sabuk celananya, ia bertanya pada kepala pelayannya. "Bagaimana Esteva hari ini? Apa dia sudah kerasan di Winterwall?" Alfred harus mendeham dulu sebelum menyampaikan hal yang sangat tidak mengenakkan di saat Tuannya seharusnya beristirahat. "Ehem. Soal Nona Esteva .... Saya tidak bisa mengatakan dia kerasan ...." Grisham terdiam, menajamkan penglihatannya menyelidik Alfred. "Kenapa? Apa yang terjadi?" tanyanya. "Nona Britanny menemukan koin emas disembunyikan Nona Esteva dan menuduh Nona Esteva mencuri. Nona Esteva sekarang dikurung di gudang dekat istal ...." "Apa??" Tanpa menunggu penjelasan Alfred selesai, Grisham mengenakan lagi kemejanya tanpa dikancing, mengenakan sepatunya lagi, kemudian setengah berlari keluar kamar lalu menuju istal yang jauh dari bangunan kamarnya. Dini hari yang gelap, berembun dingin dan senyap menjadi gaduh oleh para pelayan dan penjaga yang bergegas bersiaga karena tuan mereka panik. "Sudah berapa lama dia dikurung?" tanya Grisham di perjalanan menuju gudang istal. Beberapa pengawal dan pelayan mengiringinya. "Sejak sore tadi, Tuan," jawab Alfred. Grisham berdecak keras, lalu mempercepat langkahnya. Beberapa meter dari gudang itu ia meneriaki pelayan yang tersandar tidur di depan pintu gudang. "Buka gudang itu sekarang juga!" *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD