Ketua gilda kembali duduk di tempatnya, begitu juga dengan Canna. Meskipun telah menutupi rambut dan wajah dengan penutup kepala seperti sebelumnya, tetapi Canna yakin jika di balik tudung sialan itu, ada ekspresi dingin yang semakin terlihat kaku dan sulit diurai.
'Apakah sebuah kesalahan menikmati keindahan wajah tanpa persetujuan pemiliknya? Aku 'kan tidak sengaja melihat wajah yang memang sayang jika dilewatkan itu,' benak Canna yang merasa seperti pencuri.
Saat menuliskan beberapa ciri dari pria yang dia pesan kepada gilda di dalam buku, Canna sulit berkonsentrasi karena masih belum bisa melupakan ingatan wajah milik pria di hadapannya.
"Ehem!" Canna tiba-tiba berdeham, "Omong-omong, sangat sia-sia menyembunyikan wajah seperti itu. Bagaimana jika kamu membukanya saja?" Canna menyerah pada konsentrasinya. Dia tersenyum ringan seolah tidak ada kesalahan yang telah dia lakukan. Keterlaluan memang.
"Jika sudah selesai menulisnya, segeralah kembali ke asalmu. Tempat ini akan segera tutup dan mungkin tidak akan menerima lagi jenis lalat sepertimu." Suara yang dingin dan tidak ada aura bermartabat lolos dari mulut ketua gilda. Dia sedang mengusir Canna secara terang-terangan.
"Adakah lalat secantik diriku?" Cana menjawab dengan santai. Sikap pria di hadapannya yang tidak sopan bisa dia maklumi mengingat pria itu juga memiliki kadar ketampanan yang tidak sopan.
"Aku tidak tahu di mana letak kecantikan yang kamu banggakan itu. Yang terlihat di mataku hanyalah serangga yang merepotkan." Kembali suara dingin dan tidak acuh keluar dari mulut ketua gilda.
Sejujurnya, tidak heran dia sulit menemukan letak kecantikan seorang Cannaria mengingat wajahnya sendiri sudah merupakan definisi dari sumber keindahan.
"Tadi lalat, sekarang serangga. Bagaimana jika kamu menyebutku sebagai kupu-kupu? Kupu-kupu yang indah dan lucu. Kalimat seperti itu akan lebih enak didengar." Canna tersenyum kering.
"Sepertinya Gilda Four Night sudah siap berperang dengan Duke William."
"Ya ampun! Apa dosa dari kupu-kupu yang lemah dan rapuh ini? Mengapa harus sampai berperang hanya untuk membasmi seekor serangga?" Canna justru berdrama dan memasang wajah sedih.
Ketua gilda itu menggeram rendah dengan amarah tak tertahankan, "Jika kata-kata menjijikkan itu terus keluar dari mulutmu, maka kamu akan mengetahui seberapa berbahayanya tempat ini." Suaranya terdengar begitu dalam seolah-olah bukan hanya sekadar ancaman.
Meskipun bersikap santai, Canna bisa merasakan aura dingin yang menyergap sekujur tubuhnya. Aura tidak biasa yang bisa menekan sang lawan bicara. Sepertinya, pria di hadapannya ini memang bukan lawan yang mudah.
"Iya iya! Galak sekali! Aku sudah selesai menulisnya. Semua kriteria yang kuinginkan sudah ada di sini. Aku akan menunggu kabar baik darimu." Canna meletakkan pena bulu dan menyerahkan buku itu padanya. Dia kemudian beranjak berdiri dan berlalu pergi.
'Ck! Ketua gilda yang profesional dan ramah katanya? Apa penjaga di luar sana sedang bercanda, heh? Pelayanan yang sangat tidak memuaskan meskipun wajahnya sangat memuaskan,' benaknya yang terus berjalan.
Omong-omong tentang penjaga di luar sana, Benedict yang sedang duduk di mejanya tiba-tiba terkesiap saat melihat Clemente Bernard, sosok ketua gilda 'yang asli' datang dengan berjalan sempoyongan.
"Loh! Mengapa kamu di sini?" Benedict menyatukan kedua alis dan mengarahkan jemari telunjuk pada Clemente.
"Apa aku tidak boleh berada di tempatku? Aku adalah ketua gilda jika kamu lupa."
"Bukan itu. Bukankah kamu sejak tadi ada di dalam?"
"Di dalam pantatmu? Aku sejak tadi berada di kamar kecil. Aku diare." Ketua gilda itu berujar lemas dengan wajah pucat. "Sialan! Semua ini karena manisan itu. Karena terlalu lezat aku jadi memakan semuanya," imbuhnya dengan kedua tangan menekan perutnya yang masih sedikit melilit.
Benedict mematung. Mulutnya terkatup rapat. Wajahnya perlahan memucat mirip seperti wajah Clemente yang terkena diare.
"Hey! Mengapa kamu diam saja?"
Benedict tetap tidak bergerak sedikitpun. Pikirannya terbang mengelana dengan firasat yang buruk. Sangat buruk.
"Apa kamu marah karena aku memakan manisan itu sendirian?" Clemente merasa ada yang salah dalam diri Benedict.
Mulut Benedict yang tertutup rapat perlahan terbuka, "Lupakan tentang manisan dan jelaskan siapa orang yang ada di dalam?"
"Orang? Di dalam? Setahuku tadi tidak ada. Tapi, aku punya janji dengan Putra Mahkota. Mungkin dia sudah menungguku di dalam."
Di detik itu juga, bola mata Benedict terbuka sempurna, hampir memenuhi separuh wajahnya. Dia tiba-tiba tersedak ludahnya sendiri hingga terbatuk-batuk.
Iya, sosok yang sejak tadi bersama Cannaria bukanlah ketua gilda melainkan sang Putra Mahkota alias tokoh utama kita. Ellios Demente de Diaz, pembunuh gila yang tidak mengampuni siapapun musuhnya. Pangeran Neraka yang haus akan darah. Sosok yang justru harus dijauhi Canna bagaimana pun caranya.
"Gila!"
"Siapa yang gila? Sebenarnya ada apa denganmu sejak tadi?"
"Di dalam!"
"Ya, kenapa di dalam?"
"Di dalam ada seorang klien wanita. Kukira kamu yang ada di dalam."
"Apa?" Kini, giliran Clemente yang terkesiap, "Katakan jika kamu sedang bercanda!"
"Apa gunanya bercanda di saat seperti ini? Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Apalagi? Kita harus menyiapkan pemakaman. Apa kamu pikir dia bisa selamat?" Clemente berujar serius. "Apa kamu lupa saat terakhir kali ada wanita yang mencoba mendekati beliau, tetapi kita yang harus membersihkan kepalanya yang menggelinding ke tanah?" imbuhnya pasrah.
"Kacau! Kasihan sekali wanita di dalam. Apalagi dia terlihat seperti wanita bangsawan."
"Memikirkannya membuat perutku kembali melilit." Clemente semakin lemas. Mendadak dia ingin kembali ke kamar kecil.
"Kalau begitu aku akan mengambil sapu dan kain pel."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membersihkan kepala dan darahnya."
"Ya sudah, cepatlah."
Tak lama, pintu rahasia gilda terbuka. Sosok wanita anggun berjalan dengan santai sembari tersenyum menawan. Tentu saja wanita itu adalah Canna yang sudah menyelesaikan urusannya. Dia sejenak melihat ke arah Benedict yang membawa sapu dan kain pel yang berdiri mematung sambil menatapnya.
"Ck! Lain kali, katakan yang benar jika pelayanan gilda kalian itu buruk. Aku akan mengampuninya karena wajahnya boleh juga," kata Canna dengan ekspresi datar sebelum melenggang pergi tanpa rasa berdosa.
Clemente membuyarkan lamunan Benedict, "Apa dia wanita yang tadi kamu bicarakan?"
"Benar." Benedict tercengang.
"Sepertinya dia wanita pertama yang berhasil selamat. Haruskah kita mencatatnya dalam sejarah?"
Sementara di dalam sana ... Ellios yang tidak lain dan tidak bukan adalah Putra Mahkota, membuka buku catatan yang sebelumnya ditulis oleh Canna. Dia mulai membaca ciri-ciri dari kriteria pria yang dipesan.
Pria yang diinginkan oleh Cannaria Swan adalah:
Pria dengan wajah yang begitu mempesona, cerah, dan memikat. Semakin melihatnya, maka akan semakin terdorong untuk terus melihatnya.
Pria dengan ukiran wajah yang begitu tampan dan bersinar seperti matahari, rambut hitam yang lurus dan lebat, serta mata biru yang seakan menyedot untuk masuk.
Pria pemilik d**a yang keras. Otot-otot yang bisa dirasakan. Paha yang memberikan rasa stabilitas. Lengan yang bagus dan nyaman. Aroma cendana terpancar dari tubuhnya.
Dan yang terpenting, dia adalah pria yang jatuh di bawahku tadi. Iya, semua yang kusebutkan adalah ciri-cirimu karena aku menginginkanmu.
Jika kamu membaca ini, mungkin kamu bisa menerima penawaranku. Wajah seperti itu sangat sayang jika hanya menjadi ketua gilda saja. Kamu bisa mendapat keuntungan banyak dariku, lho, hohoho.
Salam hangat, dari kupu-kupu yang indah dan rapuh.
Ellios seketika menutup bukunya dengan kasar dilengkapi kepala berdenyut-denyut.
"Harus kuapakan wanita ini?"
***