Second Male Lead

1639 Words
"Apakah makanannya sesuai dengan seleramu, Sayang?" Ducess Diana menatap Canna dengan intens. "Ya, aku menyukainya. Rasanya lezat." Canna tersenyum tipis kepada Ducess yang sejak tadi telah memperhatikannya. Canna sedang menikmati makanan yang disajikan oleh Chevalier, koki Duke William. Saat ini, dia berkumpul bersama Duke dan Ducess untuk melakukan makan siang yang mana sudah menjadi kebiasaan—makan bersama di siang dan malam hari di ruang makan. Pada awalnya, Canna juga merasa canggung jika harus berkomunikasi atau berkumpul bersama mereka. Dia tidak ingin membuat kesalahan dan tidak ingin dicurigai. Bagaimana jika mereka tahu kalau dia bukanlah putri mereka 'yang asli'? Namun, meskipun sering mendapat penolakan darinya, mereka seolah tidak berhenti berupaya untuk terus mendekatinya. Mereka tetap menunjukkan kasih sayang tulus yang membuatnya goyah. Lebih tepatnya, kasih sayang yang sebenarnya ditujukan kepada putri kandung mereka. Berkat semua perilaku itu, dia jadi tahu betapa sayangnya Duke dan Ducess kepada Cannaria. Sebuah kotak pandora tentang masa lalu Liora Belladona yang kelam tiba-tiba terbuka. Menjadi anak panti yang diberkati wajah paling menonjol di antara yang lainnya, membuat Liora menjadi sumber kecemburuan dari rasa iri dan dengki. Liora disudutkan dan selalu diberi pekerjaan lebih banyak oleh anak-anak panti yang lain. Tangannya menjadi kapalan meskipun umurnya belum dewasa. Momen anak-anak yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan tawa keceriaan justru dia habiskan dengan mengepel lantai, mencuci piring, mencuci baju, dan melakukan pekerjaan seharian. Tidak ada yang mau berteman dengannya karena rumor-rumor buruk yang mereka ciptakan sendiri. Para pengasuh yang bisa dijadikan tempat mengadu pun tidak bisa diandalkan. Mereka abai dan tidak memedulikan para anak panti yang seharusnya mereka lindungi. Bahkan, mereka justru sibuk menggelapkan dana sumbangan hingga roti keras dan berjamur sering menjadi makanan sehari-hari. Kehangatan dan kasih sayang seolah-olah menjadi suatu kemewahan yang langka dan sulit didapatkan baginya. Dan kini, dia mendapatkan itu semua dari Duke dan Ducess. Bisa dibilang di sinilah dia merasakan sesuatu yang dinamakan kehangatan keluarga untuk pertama kalinya. Kasih sayang orang tua yang sudah lama dia lupakan. Namun, bolehkah dia mendapatkan kemewahan berupa kasih sayang itu? Bagaimana jika mereka tahu jika dirinya bukanlah putri mereka yang sebenarnya? Apakah mereka akan sangat sedih? Atau justru berbalik membencinya? Apakah dia akan menjadi sendirian lagi? Seperti saat-saat di panti asuhan, yang mana tidak ada yang berpihak kepadanya. Berbagai hal rumit dan gelap menganggu pikiran hingga menenggelamkannya dalam lamunan. “Sayang, mengapa kamu tidak makan makanan penutupnya?" Diana tiba-tiba membuyarkan lamunan Canna. Canna tersadar dan beralih menatap Ducess, "Ehm, aku sudah cukup." "Apakah makanan penutupnya tidak sesuai dengan seleramu, Sweety?" Kini, Duke yang berbicara dengan wajah sayu. "Bukan begitu." "Apakah kamu merasakan ada yang sakit, Sayangku? Di mana yang sakit?" Diana kembali bertanya dengan khawatir. "Tidak. Tidak ada yang sakit. Aku hanya kenyang." Canna tersenyum kering. "Padahal ini adalah pie s**u favoritmu. Sepertinya Chevalier sudah kehilangan keahliannya dalam memasak. Haruskah aku memecatnya?" Hap! Canna langsung melahap pie s**u di atas meja. Dia tidak ingin urusannya menjadi panjang kali lebar. Dia juga tidak ingin orang tidak bersalah menjadi korban hanya karena pie s**u yang tidak dia makan. Apa salah koki itu? "Bagus sekali, Cantikku. Makanlah yang banyak karena kami tidak ingin kamu kekurangan gizi. Kamu juga masih dalam masa penyembuhan." "Ibu, aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku telah menjadi gadis dewasa yang hanya perlu makan secukupnya. Bukankah wajar bagi perempuan yang menjaga penampilan sebelum menikah?" "Menikah?" beo Duke dan Ducees bersamaan. Suara mereka terdengar lebih tinggi dari sebelumnya. "Oh, Sweety. Apakah kami benar-benar harus melepaskanmu untuk menikah? Entah mengapa itu terlalu menyakitkan." Berbeda dengan penampilan Duke yang berkumis dan bertubuh kekar, dia selalu melankolis di hadapan dua wanita yang ada di kediamannya—Diana dan Canna. "Omong-omong tentang menikah, apa kamu sudah mendapatkan kembali ingatanmu? Apakah kamu sudah bisa mengingat tentang kami, Sayang?" Diana bertanya dengan berhati-hati. Ada sebuah harapan yang disembunyikan di dalam suaranya. "Ingatanku? Em ... sepertinya aku sudah mulai sedikit mendapatkannya. Yang kuingat, kalian berdua selalu menyelesaikan masalah yang kuperbuat. Mulai dari menampar putri Count yang menghinaku di belakang, menumpahkan kopi di atas kepala putra Baron yang berlaku tidak sopan, merobek gaun putri Marquez yang sengaja mengotori gaun baru yang kalian berikan, dan masih banyak lagi. Aku bahkan tidak bisa menyebutkan satu persatu karena terlalu banyak masalah yang kusebabkan." Canna tersenyum tipis dan menguji ingatannya tentang masa lalu Cannaria di cerita aslinya. Selain berperangai dingin, Canna 'yang asli' memang tidak jarang menyebabkan masalah. "Akan tetapi, yang patut kusyukuri kalian tidak pernah berpaling ataupun meragukanku. Kalian menjadi pelindung nomor satu. Benteng paling kuat dari apapun di dunia ini. Terima kasih, Ayah, Ibu. Dan juga maafkan atas semua masalah yang telah kusebabkan. Sekarang, giliranku yang akan melindungi kalian," imbuh Canna dengan tatapan meyakinkan. Dia juga mulai menguji kemampuannya sebagai aktris. Meskipun demikian, kalimat terakhir yang dia katakan juga tidak sepenuhnya bohong. Dia memang ingin melindungi Duke dan Ducess dari akhir tragedi yang telah dituliskan. Diana seketika berkaca-kaca. Dia tidak percaya putrinya telah dewasa. Sementara Duke sudah meneteskan air mata dengan begitu banyak seperti bendungan yang ambrol dari tanggulnya. Dia menyeka air mata dengan sapu tangan sambil sesekali terisak. Mengingat ini adalah pertama kalinya bagi mereka mendengar kata maaf dan terima kasih dari Canna, tentu saja hati mereka yang lembut merasa tersentuh. Ya, Cannaria yang mereka ingat adalah putri yang pendiam dan pandai menyembunyikan perasaan. Entah darah siapa yang mengalir di tubuhnya hingga sama sekali tidak mirip dengan satupun dari mereka. "Ouh, Sweaty. Kami jadi tidak ingin kembali mengirimmu ke akademi. Kamu sangat manis." Duke bersemu merah kemudian menyesap kopinya untuk menenangkan diri. "Haruskah kita menunda keberangkatannya?" Pun Diana yang juga mendekatkan cangkir teh ke mulutnya. "Tapi tiket kereta api untuk besok sudah selesai kita dapatkan." "Apa? Kereta api? Untuk besok?" Ekspresi Canna berubah. "Kamu belum membaca suratnya?" Ducess meletakkan cangkirnya dengan ringan. "Surat? Aku sama sekali belum membacanya, Ibu." Canna merasa sedikit menyesal. Dia tidak menyentuh surat-surat yang menggunung di kamarnya karena sebagian besar dari surat itu, berisi undangan pesta minum teh yang tidak tulus dari para putri bangsawan. Mereka mengundang Canna karena rasa segan kepada Duke William yang mana seorang Perdana Menteri Kekaisaran, tetapi tidak mengharapkan kehadiran Canna itu sendiri. "Tidak apa-apa, Putriku. Ibu yang akan menjelaskannya kepadamu. Beberapa hari yang lalu, Hoover mengirimkan surat untuk memajukan hari pembukaan para murid. Jika kamu melupakan tentang akademi, ibu akan sedikit memberitahu jika kamu sudah menjadi murid akademi tingkat akhir sebelum musibah jatuh ke sungai." "Benar, Sweety. Akademi Hoover adalah salah satu sekolah sihir terkemuka yang hanya diperuntukkan untuk kaum bangsawan saja. Mereka telah mengetahui bakatmu dalam sihir dan kamu juga sangat bersemangat saat mempelajarinya. Tiket kereta api untuk keberangkatanmu besok sudah kami siapkan.” Duke ikut berbicara. Canna terdiam. Sedikit banyak dia telah mengetahui tentang Akademi Hoover dari cerita aslinya. Masalahnya adalah, dia belum mendapatkan tunangan palsu. Misi awalnya untuk terikat dengan pria tampan dipastikan gagal. Ketua gilda itu sama sekali belum mengirimkan pesan balasan kepadanya. Apakah tawarannya ditolak? Jika sudah kembali ke akademi, akan sulit baginya melakukan misi. "Aku cukup terkejut karena belum mempersiapkan apa-apa." "Tenang saja, Sayang. Semua keperluanmu akan disiapkan oleh Emma. Kamu juga tidak akan sendirian di akademi. Felix akan selalu melindungimu." Diana menenangkan dengan membawa tatapan yang teduh. Canna melebarkan sedikit mata. Dia hampir saja melupakan tentang keberadaan sosok yang cukup berperan penting dalam cerita. Memangnya siapa Felix? Dia adalah sang protagonis kedua sekaligus sepupunya. Dalam cerita aslinya, Felix adalah kstaria tangguh yang memperebutkan cinta karakter utama wanita dan lawannya tentu saja adalah Putra Mahkota. Meskipun nasib dari pertarungan cinta selalu dimenangkan oleh karakter utama, Felix seolah-olah tetap bersinar di kalangan penggemarnya yang terlanjur terkena virus Second Male Lead Syndrome. "Baiklah, Ayah, Ibu. Besok aku akan kembali ke akademi. Jaga diri kalian baik-baik. Aku pamit." *** Canna tidak menyangka jika akan melakukan perjalanan terlamanya secepat ini setelah terbangun di tubuh Cannaria 'yang asli'. Terlebih, dia akan pergi ke tempat yang dipenuhi kemustahilan yang tidak mungkin ada di kehidupan asalnya, Akademi Sihir. ‘Mendadak aku seolah menjadi Harmione Granger dalam series Harry Potter,’ benaknya sembari mengetuk-ngetuk ujung jarinya di bingkai jendela kereta. Dia merasa hampir mati kebosanan saat pandangannya berada di luar jendela hampir tiga jam lamanya. Omong-omong tentang series Harry Potter, kali ini Canna juga merasakan hal serupa yaitu pergi menuju Akademi Sihir menggunakan kereta. Bedanya, bukan kereta sihir ‘Hogwarts Express’ melainkan kereta biasa yang akan membuat tubuh memantul-mantul seperti pegas jika jalanan tidak rata. Canna mengambil buku n****+ di dalam koper yang telah disiapkan oleh Emma. Dia sendiri yang menyuruh pelayan itu untuk memasukkan n****+-n****+ yang bisa dia nikmati selama perjalanan. Saat sebelumnya Emma sibuk memasukkan buku sejarah dan perkembangan hukum yang biasa dibaca oleh Cannaria 'asli', dengan wajah serius dia menyuruh untuk mengganti semuanya dengan buku n****+. Lebih tepatnya, buku n****+ romansa bergenre adult, hahaha. Bayangkan saja betapa mengerikannya jika dia membaca buku-buku berat itu selama perjalanan. Dia baru tahu jika selera Canna 'yang asli' adalah buku-buku yang cukup membosankan, sangat berbeda darinya. Saat sibuk membaca n****+, pintu ruangan di samping tempat duduknya tiba-tiba terbuka. Dia melihat sosok pria berwajah menawan dengan rambut golden blonde yang tersenyum ramah kepadanya. Pria itu kemudian berjalan mendekat dan langsung duduk di depannya dengan saling berhadapan. “Aku telah mencarimu sejak tadi. Kukira kamu akan duduk di ruangan paling ujung seperti biasa,” ujarnya sembari menaruh koper di bawah tempat duduknya. Canna hanya bergeming dan bertanya-tanya siapa gerangan pria tampan yang menghampiri dan mengajaknya berbicara. Apakah mereka saling mengenal? Seingatnya, dia belum pernah melihat wajah itu karena wajah tampan selalu sulit dilupakan. Tidak mendengar jawaban, pria itu kontan menatap Canna dengan intens. Pandangannya menyelami tatapan Canna yang sedang bertanya-tanya dan seolah tidak mengenalinya. "Aku memang sudah dengar tentang kabar hilangnya ingatanmu dari Paman. Tapi, aku tidak menyangka jika kamu juga akan melupakanku. Aku Felix, sahabatmu," katanya dengan tenang dan sudut bibir melengkung, tersenyum teduh. Detik itu juga, Canna membuka matanya sedikit lebih lebar, "Felix? Felix Theodore?" tebaknya bersamaan dengan batinnya yang menjerit. 'Gila! Dia second male lead di dalam cerita?' ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD