Kepulangan Riswan

1763 Words
PART 7 Kedua putriku Yuli dan Neti sudah terlihat cantik dan lucu, memakai baju muslim dengan warna yang senada, hijab motif bunga-bunga, macam Princess Muslimah. Gamis terusan berbahan halus berwarna coklat muda dengan ujung lengan melebar, juga hijab hijau tua dari kain yang ku-kreasikan sendiri, menjadi pakaian yang kupilih untuk memenuhi undangan dari pabrik pengolahan teh tersebut. Dari dalam jendela rumah, sudah terlihat para tetangga dengan pakaian rapih dan bagus mulai berangkat menuju tempat yang sama. Undangan pabrik besar tersebut menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam dua hari terakhir, karena hal ini belum pernah terjadi, selama pabrik mulai berdiri di desa ini. Tertulis juga di situ jika setiap kepala keluarga yang hadir akan menerima paket sembako lengkap dan uang akomodasi dari pihak perusahaan, juga ada sedikit rasa penasaran dari warga yang ingin mengetahui seperti apa dalam pabrik tersebut. "Sudah siap buat jalan-jalan?" tanyaku kepada kedua putriku, yang memang jarang pergi kemana-mana. "Ciap, Ibu," jawab si bungsu Neti, sembari melompat-lompat gembira, sementara si sulung Yuli terus saja mengibar-ngibarkan baju gamisnya. "Kakak suka dengan bajunya?" tanyaku pada si sulung, berjongkok di depannya. "Suka Ibu, bagus banget," jawabnya ceria. "Ibu ... Ibu," panggil si bungsu, Neti. "Apa, Adek?" tanyaku, sembari merapikan hijabnya yang sedikit miring. "Dedek jayan-jayan, mau ketemu ayah yah, Bu?" tanyanya polos. Aku terdiam, aku bingung harus menjawab apa, hanya bisa tersenyum tanpa mampu menjawab pertanyaan di bungsu. "Assalamualaikum." Terdengar suara salam dari depan pintu, dan aku tahu, itu suara dari salah satu orang kantor perkebunan tersebut, yang setiap kali mengirim uang ataupun sembako, dia selalu ada. "Waalaikum salam," jawabku, sembari berjalan dari ruang tengah ke ruang tamu depan untuk membukakan pintu. "Mas Aris, ada apa, Mas?" tanyaku kepada orang kantor perkebunan, Mas Aris. Karena saking seringnya dia ke rumah ini guna mengantar sembako ataupun pemberian uang, sampai-sampai aku kenal dengan namanya, dia pun mulai mengenal ke dua putri-putriku. "Maaf, Teh, saya diminta sama pimpinan untuk menjemput, Teteh," jawab Mas Aris, seorang perantauan dari Semarang yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di PT perkebunan ini. "Tidak usah repot-repot, Mas, saya dan anak-anak bisa berangkat sendiri dengan menumpang ojek," jelasku, menolak halus ajakannya. "Jangan atuh, Teh, kasihan Yuli dan Neti, kepanasan di jalan, lagi pula jika pimpinan saya tahu Teteh naik ojek nggak bareng saya, nanti saya bisa-bisa dipecat, Teh," jawab Mas Aris, dengan logat yang sudah sedikit terpengaruh oleh bahasa suku asli daerah ini. Selalu saja itu alasannya, takut dipecat, jika aku tidak mau mengikuti atau pun menolak pemberian dari Perusahaan. Jujur saja, aku benar-benar penasaran, siapa orang yang sudah menyuruh Mas Aris melakukan ini semua. "Tetapi saya jadi tidak enak ini Mas Aris, sudah merepotkan, malah pakai dijemput segala," dalihku lagi, mencari alasan. "Jangan jadi tidak enak, Teh, jika Teh Risma tidak mau, berarti teteh tidak kasihan sama anak istri saya, jika saya dipecat nanti anak istri saya makan apa, Teh?" ucapnya, sembari memasang wajah sedih. Lucu dan agak sedikit lebay Mas Aris ini. "Makan nasi lah, Mas, masa makan batu," sergahku, mencandainya. Mas Aris langsung tertawa. "Ayuk, Teh Risma, kita berangkat sekarang?" ajaknya, aku mengangguk mengiyakan, lalu segera memanggil kedua putriku, sekalian meminta mereka untuk mematikan televisi-nya. "Apa ada yang harus dibawa, Teh?" tanya Mas Aris, menawarkan bantuannya, aku pun menggeleng, Pria yang sudah mempunyai anak satu tersebut lalu menggendong Neti, dan berjalan mendahuluiku. Rumahku memang agak sedikit ke dalam dan menanjak, menjauhi jalan raya dan mobil tidak bisa masuk, sehingga Mas Aris memarkirkan kendaraan di sisi jalan utama kampung, jalan yang sama dengan jalan di depan rumah Emak yang berujung sekarang di rumah megah atas bukit. Pandangan mata para tetangga terlihat aneh dan mencurigakan, melihat aku dan anak-anak dijemput oleh orang kantor dengan mobil yang bagus, diperlakukan berbeda dengan yang lain. Ucapan bapak memang ada benarnya, sebagian besar warga desa kami menganggap jika aku ada hubungan spesial dengan orang kantor perkebunan, makanya suamiku Bang Riswan kabur karena aku sudah berselingkuh. Tetapi kubiarkan saja tanpa ada penjelasan dariku, selain karena beritanya memang tidak benar, dan aku pun belum pernah mendengar secara langsung tentang isu perselingkuhan tersebut. Walaupun ada beberapa orang yang mengadukan tentang hal itu, dan fitnah itu semuanya bersumber dari kedua adikku, Ela dan Samsiah, karena sebagian yang mengadu selalu menunjuk kepada mereka berdua, tentang dari mana mereka memulai mendengar kabar tersebut. Senang sekali kedua anakku naik kendaraan pribadi, hal yang jarang dan mungkin hampir tidak pernah sama sekali mereka rasakan, dan memang selain ke rumah Emak aku pun jarang sekali bepergian, makanya mereka terlihat sangat senang sekali. Sepanjang jalan tidak henti-hentinya mereka berdua terus mengoceh, pandangannya keluar kaca mobil menoleh ke kiri dan ke kanan. Apa saja mereka tunjuk dan tanyakan, dan alhamdulillahnya, Mas Aris yang menyetir tidak merasa terganggu, justru terlihat senang. Mobil yang dikemudikan Mas Aris mulai memasuki kawasan pabrik. Benar yang tetanggaku bilang, jika cat depan pabrik ini semua terlihat baru. Tembok tinggi yang mengelilingi pabrik, pos pengamanan, juga gedung kantor, begitu yang Mas Aris jelaskan kepadaku. Warga desaku terlihat sudah banyak yang berdatangan, mereka berjalan kaki di jalan dalam kawasan pabrik. Mobil yang kutumpangi berjalan dengan pelan, karena banyak warga di kiri-kanan jalan. Kedua putriku yang sedari awal meminta kaca jendela dibuka, sibuk memanggil kesana-kemari, ke kawan-kawan sepermainannya yang mengikuti orang tuanya menghadiri acara ini, sedang aku hanya menunduk malu diam saja, pasti nanti isu perselingkuhanku akan semakin ramai dibicarakan. Tetapi aku tidak khawatir jika seandainya Bang Riswan pulang lalu mendengar isu-isu tersebut, aku yakin dia akan mempercayai aku. "Nenek!" "Aa Ical!" Dengan riang gembiranya, kedua putriku, Yuli dan Neti, memanggil siapa saja yang mereka kenal, sembari melambai-lambaikan tangan. Bahagia sekali mereka terlihatnya. Emak, Bapak, dan semua saudara-saudaraku melihat dengan terkejut dan dengan pandangan heran. Mereka semua berjalan kaki, sedangkan aku dan anak-anakku menaiki mobil bagus, bahkan sampai pintu depan sebuah gedung aula pertemuan tempat acara akan diselenggarakan. Aula besar bercat putih dengan banyak hiasan serta bendera berwarna warni menyambut semua undangan yang hadir di sini. Penyambut-penyambut tamu berseragam mencatat dan meminta undangan yang sudah diterima untuk ditukar dengan konsumsi di dalam box. Undangan? Astagfirullah ... baru teringat jika aku lupa membawa kartu undangan tersebut. Mas Aris masih sibuk memarkirkan mobil yang tidak jauh dari Aula gedung pertemuan itu. "Mas?" Kubertanya sedikit ragu-ragu ke Mas Aris, yang sudah mematikan mesin kendaraannya. "Kenapa, Teh Risma." "Bagaimana ini, saya lupa membawa kartu undangannya," keluhku. Mas Aris sedikit tertawa. "Tenang saja, Teh Risma. Teteh, 'kan nanti datangnya bareng saya," jawabnya, dan itu membuatku tenang. Kami pun mulai memasuki gedung aula besar tersebut, ramai dan meriah sekali acara ini digelar. Ratusan mata menatap ke arahku dan Mas Aris yang sembari menggendong Neti, sementara Yuli menggandeng tanganku. Benar kata Mas Aris, aku dan anak-anakku tidak melewati proses pendaftaran dan pemeriksaan seperti yang lainnya, tidak ditanyakan tentang kartu undangan, tetapi tetap dapat kotak konsumsi bahkan untuk kami bertiga. Melangkah ke dalam Aula. Tepat di depan pintu masuk terdapat panggung yang besar dan megah, dengan berbagai macam ornamen hiasan. Aula ini dikelilingi bangku-bangku panjang melingkari ruangan yang terbuat dari ubin keramik. Tengah ruangan terdapat bangku-bangku besi berjejer rapih yang semuanya menghadap ke panggung. Sebagian ruangan sudah dipenuhi undangan dengan keriuhan yang terdengar. Mas Aris, mengantarkan aku ke tempat duduk yang terpisah dari undangan yang lain, tidak jauh dari arah sisi panggung. Sehingga semua orang yang duduk di tempatku ini akan terlihat dari deretan kursi tamu undangan yang menghadap lurus dari pintu masuk ke arah panggung besar. Dan tempat duduk berbeda itu berisi semua saudara-saudaraku, juga Emak dan Bapak. Entah mengapa, hanya keluarga besarku saja yang disediakan tempat duduk terpisah. Aku mendatangi mereka, lantas mencium tangan Emak, juga ingin mencium tangan Bapak, tetapi dengan kasar tanganku ditepisnya, sembari membuang muka. Aku terdiam, jujur saja hatiku terasa sakit. Antusiasme warga desa kami, selain karena ingin tahu seperti apa dalam pabrik ini, paket sembako, ongkos akomodasi, juga adanya hiburan dari artis ibukota, dan Lesti Kejora sebagai artis utamanya. Entah, berapa ratus juta dana yang dikeluarkan pemilik pabrik ini untuk menggelar acara semegah dan semeriah ini. Benar saja, acara dimulai dengan pertunjukan musik, dengan para penyanyi yang sebagian besar berasal dari ajang pencarian bakat di televisi. Yang jujur saja aku sendiri tidak tahu siapa namanya, jika bukan pembawa acara yang memberi tahu. Karena, punya pesawat televisi pun baru sekitar dua Minggu ini, itu pun dikuasai oleh kedua anak-anakku, dengan banyak menonton film kartun. Ela dan Samsiah sepertinya mengenal nama tiap-tiap penyanyi yang tampil di panggung. Tidak malu-malu, mereka dan suami-suaminya ikut berjoget di depan panggung bersama undangan yang lain. Warga kampungku, dan sebagian karyawan kantor. Sedangkan aku, di tengah keriuhan dan suasana semarak, hatiku merasa kosong. Pikiranku selalu teringat dengan Bang Riswan. Di saat kehidupanku sudah lebih membaik, ayahnya anak-anak malah tidak ada. 'Kamu di mana sih, Bang.' Acara musik sudah selesai, terlihat beberapa petugas merapihkan panggung hiburan dengan cepat. Panitia penyelenggara sepertinya benar-benar sibuk, terdengar bisik-bisik jika Bos Besar pengganti Almarhum Pak Muchtar Kusumateja sudah hadir. Aku dan kedua anakku fokus menatap ke atas panggung, saat sebuah suara terdengar memanggilku pelan. "Neng ...." Kumengenali suara itu, juga terdengar oleh kedua anakku. "Bang Riswan ... bibirku gemetar saat menyebut namanya, air mataku sudah mengembang. Suamiku, masih menggunakan pakaian dan sandal yang sama seperti saat terakhir dia meninggalkan rumah. Ayah ....!" Kedua anakku turun dari bangku dan langsung memeluk ayahnya, jelas terlihat jika mereka benar-benar menyimpan kerinduan. Aku pun memeluk tubuh Bang Riswan. Tidak kuhiraukan ratusan pandangan mata yang mungkin sedang melihat ke arah kami. Bang Riswan menciumi kedua anak-anaknya, matanya pun terlihat menangis. "Abang ke mana? Jahat sekali Abang tidak memberitahu," bisikku, dengan suara terisak menahan tangis. Bang Riswan hanya tersenyum, sembari mengusap basahan air di pipiku. "Dasar orang susah tidak punya malu," sindir Bapak, dengan penuh kebencian. "Iya, bikin malu keluarga kita saja, datang dengan pakaian lusuh seperti itu," ucap Bang Amran, nyinyir. Tidak kuhiraukan ucapan mereka, hatiku sedang bahagia, kami berempat masih saling merangkul. "Bikin malu! Susah saja pakai acara peluk-pelukan segala macam," sindir Bapak lagi. Aku berucap pelan, sembari terus menangis. "Eneng dan anak-anak, kangen, Bang." Sembari mengusap air mata. "Abang juga kangen dengan kalian, keluarga kecil abang," ucap Bang Riswan, lalu menggendong Neti Putri bungsunya. "Norak ih, lebay banget," celetuk Samsiah, wajah sinis pun terlihat dari wajah Ela. "Andai saja aku tidak ingin tahu siapa penerus dari Pak Muchtar, sudah kutinggal pulang!" cabik Tohir. "Sudah Risma, lebih baik kamu keluar dulu saja dengan si pengangguran yang tidak bertanggung jawab tersebut, dari pada ngerusak acara saja," seru Bapak. Tetapi walaupun kami terlihat rusuh, tidak ada dari pihak panitia yang menegur, mungkin juga karena mereka tidak perduli, atau juga tidak mendengar ucapan keras Bapak. "Iya, nih, bikin mood jadi anjlok saja," sindir Kang Amran yang duduk di belakangku. "Sudah yuk, Bang ... kita pulang saja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD