Part 8
"Sebentar lagi ya, Neng," jawab Bang Riswan, saat aku ingin mengajaknya pulang.
"Tapi, Bang."
"Sudah, Neng, abaikan saja."
Lampu ruangan seluruh aula lantas dimatikan. Semua lampu lantas menyorot ke atas panggung megah tersebut. Beberapa pria berpakaian seragam safari hitam berbaris dari pintu samping aula hingga sampai atas panggung. Pembawa acara mempersilahkan semua undangan yang hadir untuk berdiri. Sepertinya tamu agung yang ditunggu-tunggu sudah hadir di tempat ini.
Seperti sebuah pertunjukan besar, lampu besar hanya menyorot ke arah panggung. Sinar handphone yang dinyalakan oleh tamu undangan macam cahaya ribuan kunang-kunang yang berterbangan.
Aku, Bang Riswan hanya terdiam menyaksikan, kedua anakku menoleh kesana-kemari dengan penuh kekaguman.
"Hanya orang penghuni hutan, di jaman sekarang yang tidak punya handphone."
Walaupun gelap, aku tahu jika itu suara Ela.
"Kasihan deh, gue." Suara Samsiah sembari tertawa. Mereka terus saja menyindir aku dan Bang Riswan.
Tiba-tiba secara mengejutkan, terdengar suara musik genderang drum di seluruh aula besar ini. Upacara penyambutan benar-benar dibuat dan direncanakan semegah mungkin oleh pihak panitia. Lampu sorot terus mengarah ke tengah panggung besar. Tidak beberapa lama, seorang pria bertubuh tinggi tegap, berpakaian tuxedo hitam melangkah gagah menuju ke arah panggung, dengan dikawal empat orang yang berpakaian sama dengan yang berbaris di bawah panggung. Semua mata tertuju kepadanya. Begitupun seluruh cahaya lampu.
"Orang penting pasti jika datang, banyak pengawal yang mengiringi. Bukan macam gembel main slonong aja," ucap Bapak ketus, masih sempat-sempatnya dia menyindir Bang Riswan. Suamiku diam saja tidak menanggapi.
"Maklumlah, Pak. Sudah miskin harta, miskin juga etika," celetuk Kang Amran.
Aku dan Bang Riswan terus mengabaikan.
Pria berpakaian mahal tersebut lantas mendekati mikrofon yang sudah dipersiapkan. Pengawal pribadinya berbaris sedikit di belakangnya. Suasana yang tadinya ramai mendadak hening, saat pria itu akan memulai pidatonya.
"Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas tamu undangan yang sudah bersedia hadir di acara ini. Acara ini bukan saja untuk menyambut pemilik pabrik teh besar ini, tetapi juga untuk memperkenalkan kepada seluruh tamu undangan, pewaris utama Niskala Corporation yang membawahi puluhan usaha berskala besar di seluruh penjuru negeri ini."
"Gagah yah, Kang, pewaris tahta Niskala group, pengganti Pak Muchtar," ucapku pelan, di dekat telinga Bang Riswan. Suamiku tersenyum.
"Iya, Neng, gagah ya," ujar Bang Riswan.
Terdiam sesaat pria gagah berpakaian mahal tersebut, lalu kembali melanjutkan pidatonya.
"Mungkin kalian menganggap, saya Julius Antareja sebagai pewaris tahta Pak Muchtar Kusumateja, kalian semua salah. Saya hanya salah satu anak buah beliau yang terhormat."
Suasana jadi terasa menegangkan.
"Sekarang saya perkenalkan, pewaris utama Almarhum Bapak Muchtar Kusumateja, anak satu-satunya beliau, pebisnis handal yang sempat menghilang.
"CHAIRISWAN KUSUMATEJA ....!"
Lampu sorot beralih cepat ke arah tempat kami berdiri. Pria-pria berbadan tinggi besar yang tadi berbaris di bawah sisi panggung berlarian ke arah kami. Aku bingung, ada apa ini? Begitupun semua keluargaku. Sekarang, seluruh mata yang ada di dalam gedung aula ini menatap ke arah kami.
Satu dari beberapa orang berbadan besar itu lantas mendekati kami, menunduk sebentar lantas berucap.
"Silahkan Tuan Chairiswan Kusumateja untuk naik ke atas panggung," ucapnya, dengan penuh penghormatan kepada suamiku, Bang Riswan.
"Ba-bang, ini ada apa, Bang?" tanyaku sedikit gemetar. Dari ekor mataku, kumelihat wajah bapak dan saudara-saudaraku yang lain seperti terpana. Mata dan mulut mereka terbuka lebar.
Bang Riswan menoleh dan tersenyum kepadaku, lantas mencium kening dan kedua mataku, juga kembali mencium pipi kedua putrinya.
"Inilah masa lalu abang, Neng," ucapnya lembut.
"Ja-jadi, Bang, Abang Riswan ini sebenarnya."
"Iya, Neng, nama lengkap Abang memang Chairiswan Kusumateja. Muchtar Kusumateja itu adalah papah mertua, Eneng," ujar lembut suamiku, lantas menggenggam erat jemari tanganku.
"Silahkan Tuan Riswan, untuk segera naik ke atas panggung," pinta pria tinggi besar itu lagi, sembari sedikit membungkukkan badannya. Lampu sorot besar terus terarah kepada aku, Bang Riswan, Yuli, dan Neti. Di saat lampu seluruh ruang aula ini dimatikan.
"Ba-bang, aku takut, Bang," ucapku, masih gemetar, tidak pernah menyangka akan terjadi seperti ini. Bang Riswan mendekatkan wajahnya ke telingaku.
"Eneng tidak perlu merasa takut lagi, sekarang mereka yang sedang dalam ketakutan. Persiapkan diri Eneng, untuk siap bersikap tega," bisiknya, mengingatkan. Lantas menggenggam tanganku lembut menuju ke atas panggung, bersama kedua anakku. Dengan kiri dan kanan kami penuh dengan pria-pria gagah, bodyguard Bang Riswan.
Sudut mataku melihat Emak yang sedang menangis, sembari terus menatapku dengan penuh keharuan. Saudara-saudaraku berusaha untuk tersenyum semanis mungkin, dan sementara bapak masih diam termangu.
Suara tepuk tangan penyambutan terdengar gegap gempita di dalam ruangan aula ini. Semua hadirin masih berdiri, hanya Bapak yang terlihat terkulai lemas. Semua menyambut kedatangan pewaris kerajaan bisnis Muchtar Kusumateja, yaitu Chairiswan Kusumateja, Bang Riswan, suamiku tercinta yang tadinya selalu dihinakan dan dianggap sebagai pecundang.
Semua mata menatap dengan penuh keheranan, tidak ada yang menyangka jika pria berpakaian lusuh dengan sendal jepit sebagai alasnya adalah pewaris kerajaan bisnis terbesar di negri ini. Air mataku mengalir tiada henti. Suami penyabar yang selalu diam saat dihina dan direndahkan ini mampu menyimpan identitas dirinya yang sebenarnya dengan sangat rapi dan tidak diketahui oleh siapapun.
Bang Riswan, lelakiku, tempat segala cinta dan kesetiaanku berlabuh, menggenggam tanganku menaiki panggung dengan penuh kharisma. Pakaian lusuhnya seolah lenyap tiada terlihat, terhalang oleh pesonanya.
Setiap orang yang kami lewati menundukkan kepalanya. Bodyguard berbadan tinggi besar menatap tajam dengan penuh kewaspadaan. Tepuk tangan masih terus terdengar, diselingi teriakan-teriakan penuh kekaguman. Berharap nanti semua bisnis usaha yang berada di bawah kuasanya akan lebih berkembang maju dan pesat.
Aku sudah berdiri di atas panggung megah ini. Tubuhku terasa gemetar, grogi dan takut.
Apakah aku pantas mendampingi konglomerat pewaris group raksasa ini? Apakah aku, wanita kampung ini akan membuat suamiku malu nantinya? Aku benar-benar takut.
Bang Riswan sepertinya memahami kerisauanku, digenggamnya lagi jemari tanganku dengan lebih erat. Lantas mulai maju mendekati mikrofon.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Seluruh isi ruangan membalas salamnya, tanpa terkecuali, termasuk dari mulut bapak dan saudara-saudaraku.
"Mohon maaf sebelumnya. Sebelum saya memperkenalkan diri, ijinkan saya untuk mengenalkan pendamping saya, wanita yang mencintai saya karena ketulusan, membela mati-matian harga diri suaminya yang dihinakan. Wanita yang menyadarkan saya akan arti kekuatan cinta yang sesungguhnya.
Dia rela hidup miskin dan susah. Tidak pernah sekalipun mengeluh, dan saya sangat mencintainya. Perkenalkan istri saya tercinta."
"RISMA WULANDARI."
Aku menangis terisak. Di atas panggung besar, disaksikan oleh ribuan mata seisi aula besar ini. Aku menangis karena terharu, begitu mulianya aku di pandangan mata suamiku. Aku hanya wanita desa, yang tidak punya kemampuan, apalagi sekolah kepribadian. Yang aku punya hanya satu, ketulusan cinta.
Bang Riswan mempersilahkan aku untuk maju ke depan mikrofon. Terlihat jelas dari tempatku berdiri. Hanya Emak yang berani menatapku dengan wajah berlinang air mata. Bapak, dan saudara-saudaraku yang lainnya, semua menunduk malu, mencuri pandang secara diam-diam.
"Bicara, Neng," bisik lembut Bang Riswan. Aku sudah tidak lagi gemetar, cinta Bang Riswan membuatku menjadi lebih percaya diri, dan aku harus menjaga kewibawaannya sekarang.
"Nama saya Risma Wulandari. Seorang wanita desa biasa. Pendidikan pun hanya sampai sekolah menengah. Saya mencintai suami saya karena ketulusan, dan bukan karena dia siapa. Saya kuat menjalani segala hinaan dan cacian karena saya percaya, suami saya ini adalah jodoh saya selamanya. Tidak hanya di dunia, dia juga yang saya pinta dalam setiap doa, agar hanya dia yang akan menjadi pendamping saya di akhirat nanti. Tidak ada satu manusia pun yang akan mampu memisahkan kami berdua."
Aku menarik nafas sesaat, ruangan seluas dan sepenuh ini terasa hening. Mataku menatap tajam wajah-wajah yang selama ini sudah menghinakan dan merendahkan kami berdua, yang sekarang hanya diam tertunduk tanpa bersuara.
"Saya Risma Wulandari, akan menjaga harkat dan martabat suami saya tercinta. Chairiswan Kusumateja, baik saat miskinnya, atau pun saat jayanya."
Aku pun segera mundur dari mikrofon, dan mendekati suami dan anak-anakku. Kemudian memeluk mereka dengan penuh keharuan dan kebahagiaan. Tidak ada lagi suara cemoohan, tidak ada lagi suara celaan, yang terdengar hanya suara tepuk tangan yang bergemuruh, sambung menyambung tiada henti.
"Jangan malu punya istri perempuan kampung seperti aku, ya, Bang," bisikku pelan. Bang Riswan menatapku dalam, binar cinta terpancar di sana.
"Abang rela kehilangan segalanya, asal Abang jangan kehilangan Eneng."