Dipaksa Berpisah Dalam Sidang Keluarga

1313 Words
PART 6 Waktu berjalan terasa melambat, detik-perdetik yang terlewatkan membawa keresahan, kekhawatiran, kerinduan, semua bercampur menjadi satu, dan satu hal yang paling kubenci, aku tidak tahu harus melakukan apa. Sudah hampir berjalan dua bulan, belum juga kuketahui keberadaan suamiku, Bang Riswan. Segala doa kupanjatkan kepada Pemilik Segala, untuk meminta perlindungan dan keselamatan di manapun suamiku berada. Menangis di sepertiga malam, pagi dan petang, semoga suamiku baik-baik saja di manapun dia berada. Sebenarnya, selama tidak ada Bang Riswan, aku tidak ada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua bulan ini saja, orang-orang kantor dari perkebunan sudah tiga kali datang membawa paket sembako dalam jumlah yang sama seperti saat pertama kali memberi, juga dua kali dari orang kantor yang sama, memberikan uang tunai dalam amplop dengan jumlah yang cukup besar, yang aku sendiri belum pernah memegang uang dalam jumlah sebanyak itu. Aku berusaha untuk menolak pemberian uang tersebut dan tidak mau menerima, tetapi orang-orang kantor yg dikirim itu memohon-mohon agar aku mau mengambilnya, takut mereka dipecat jika aku menolaknya. Setiap kali kutanyakan, siapa yang menyuruh mereka untuk memberikan semua ini kepadaku dan kedua anakku, mereka selalu bilang tidak tahu, hanya menjalankan perintah, itu saja jawabannya. Amplop-amplop besar berisi duit yang mereka berikan, sebagian besar kutabung di bank desa, dan sisanya kubelikan pakaian, sepatu, untuk putri-putriku. Sabun dan skin care perawatan tubuh dan wajah, juga gamis buatku.Tidak lupa buat emak. Aku pun membeli televisi dan kipas angin, untuk hiburan kedua anakku, dan lumayan membantu untuk mengalihkan kerinduan mereka kepada ayahnya. Sedangkan untuk membeli kulkas terasa sayang, karena cuaca di desa ini selalu dingin. Jujur saja, aku memang bahagia dengan apa yang sudah kudapatkan, tetapi aku juga merasa sedih, suamiku Bang Riswan tidak ikut menikmatinya. Tidur di mana dia, sudah makan atau belum, terkadang nasi dengan lauk tidak bisa tertelan jika membayangkan nasib suamiku sekarang di tempat yang aku tidak tahu di mana. 'Kamu di mana sih, Bang, jahat sekali Abang tidak berkirim kabar kepada kami' keluh batinku. Ical, keponakanku, sengaja datang ke rumah, memberi tahu jika aku dipanggil oleh Bapak dan Emak. Lantas meminta keponakanku itu menemani Yuli dan Neti menonton televisi, selagi aku menemui Bapak. Kampung ini sudah mulai heboh, setelah bangunan di atas bukit itu selesai. Ternyata untuk membangun sebuah rumah mewah di sana, jadi setiap sore warga di kampung ini mempunyai hiburan tersendiri dengan menikmati keindahan rumah megah di atas bukit. Sebagian pekerja bercerita bahwa ada ratusan tenaga kerja untuk menyelesaikan bangunan tersebut agar cepat selesai. Sepertinya pemilik rumah mewah atas bukit itu seorang yang kaya raya, hingga bangunan megah itu bisa selesai sesuai rencana. Para pekerja sudah meninggalkan desa ini, dan sudah dari tiga hari kemarin giliran mobil-mobil pengangkut furniture yang hilir mudik ke rumah mewah bercat putih tersebut. Sesampainya di rumah Emak, bukan hanya Bapak ternyata yang sudah ada di sana, tetapi juga Kang Amran, Ela, Samsiah, dan Emak, duduk bersama mereka di karpet lantai. Bapak lalu memulai pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. "Irma, bapak baru tahu dari saudara-saudaramu, jika Riswan sudah tidak pulang-pulang ke rumah hampir dua bulan ini, benar begitu?" tanya Bapak, terdengar keras. Aku terdiam sesaat, sepertinya memang sudah tidak mungkin lagi untuk menutup-nutupi. "Benar, Pak," jawabku, semua mata menatapku tajam, aku diposisikan sebagai terdakwa, hanya Emak yang melihatku dengan tatapan sedih. "Berarti, si Riswan itu memang laki-laki yang nggak bener, dan tidak bertanggung jawab," ujarnya ketus. Aku hanya terdiam. "Lalu setelah si Riswan pergi, kamu ada main dengan orang kantor dari perkebunan? Bagus jika begitu, nanti biar bapak yang urus surat-surat cerai buatmu," ucapnya, enteng saja dalam menilai sebuah persoalan padahal tidak mengetahui masalah yang sebenarnya. "Astagfirullah, tidak benar itu, Pak. Risma tidak ada hubungan dengan siapapun. Risma masih sah sebagai istri Bang Riswan," bantahku, terhadap tuduhan Bapak. "Alahh ... jika tidak ada main dengan orang kantor, mana mungkin mereka selalu mengirimi sembako yang begitu banyak buatmu. Kami bertiga saja, akang, suami Ela dan Samsiah yang keluar masuk pabrik tersebut selama berpuluh-puluh tahun, tidak pernah diperlakukan seperti itu," tuduh Kang Amran. "Ya, mana Risma tahu, Kang. Mereka hanya bilang jika sembako-sembako itu semua buat Risma, soal alasannya kenapa, Akang saja yang bertanya langsung dengan mereka jika masih tidak percaya," jelasku, menyanggah tuduhannya. "Dan satu lagi, Risma tidak akan pernah menuntut cerai Bang Riswan," ucapku tegas. Wajah Bapak terlihat mengeras, matanya memancarkan kemarahan. "Dasar anak bodoh! Orang tua seperti ini karena sayang sama kamu, gak kepingin melihat kamu miskin terus!" sentak Bapak. "Memang nih Teh Risma, lelaki nggak ada masa depan begitu masih diharap-harap," sindir Samsiah, tersenyum sinis kepadaku. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan teteh!" bentakku kepada Samsiah. "Teh Risma, wajarlah jika saudara ikut campur, karena kasihan melihat teteh hidup susah terus," sindir Ela. "Kamu tidak usah sok-sok'an peduli atau pun kasihan dengan kehidupan teteh, urus saja hidupmu sendiri," celetukku pada Ela. "Kamu itu ya, Risma, tidak tahu diri, saudara-saudara pada peduli, perhatian, malah dianggap ikut campur," sergah Kang Amran, kulihat Emak hanya diam saja. "Jika begitu, berhentilah untuk perduli!" sentakku tidak kalah keras. Bapak beringsut dari duduknya untuk mendekatiku, dan dengan cepat. "Plak ....!!" Tangannya cepat menamparku, panas pipi ini terasa terkena tamparannya. "Pak!" Emak mendekat, berusaha untuk mencegah. "Diam di tempatmu, Sawiyah!" sentak Bapak keras, sembari menunjuk ke arah Emak, dan Emak pun mengurungkan niatnya untuk mendekatiku. "Semakin lama, mulutmu semakin lancang!" bentak Bapak lagi, aku masih memegangi pipiku yang masih terasa nyeri akibat tamparan tadi. "Risma mau tanya, Pak, di mana letak lancangnya?" ucapku sembari terisak, "Risma hanya minta agar keluarga tidak usah ikut campur dengan urusan rumah tangga Risma. Risma yang jalani, Risma juga yang rasakan. Apa kalian mau rumah tangga kalian juga diikut campuri, padahal kalian sendiri merasa semuanya baik-baik saja," jelasku, masih terisak. Sakit rasanya, bukan karena tamparan, tapi karena mereka hanya pura-pura perduli. "Ya, sudah, jika memang kamu sudah tidak mau lagi diperdulikan, jangan pernah lagi datang ke rumah ini!" sentak Bapak, mulai berdiri tepat di depanku. Emak sudah terlihat menangis. Sementara saudara-saudaraku yang lain, tetap menatap sinis. Aku pun segera berdiri, tepat di hadapan Bapak, pria arogan yang kupanggil Bapak ini benar-benar sangat mengecewakan. Egois, merasa dirinya paling benar dan paling mengerti perasaanku. "Baik, Pak, jika itu memang mau Bapak," jawabku, menerima tantangannya. "Dan semenjak hari ini, kamu sudah bukan lagi putriku, mereka pun sudah bukan saudara-saudaramu," ingat Bapak lagi, sembari menatap tajam Ya, Allah ... sakit rasanya, hanya karena aku tidak mau mengikuti kemauannya, seenaknya saja dia mengusir dan tidak mengakuiku sebagai bagian dari keluarga besar. "Baik, Pak, silahkan saja. Risma tetap tidak mau berpisah dengan Bang Riswan,' ucapku lagi, tegas. Menghampiri dan mencium tangan Emak yang masih menangis terdiam, meminta maaf kepada beliau, lalu mulai melangkah meninggalkan rumah. "Ingat, yah, Risma, suatu saat kamu akan menyesal, karena tidak mau mendengar ucapan bapak!" pekiknya, nada suaranya masih berapi-api. Aku berhenti tepat di depan pintu keluar rumah, berbalik badan menatap ke arah bapak. Hatiku masih terasa sakit, nafasku sesak, pipi ini sudah basah dengan air mata. "Anda sendiri yang bilang, jika saya sudah tidak punya Bapak." Bergegas pergi meninggalkan rumah besar ini, tanpa menoleh lagi. "Dasar anak durhaka! Tidak tahu balas budi!" ÷÷÷÷÷÷÷÷ Selepas Djuhur, dua hari setelah peristiwa di rumah bapak. Dua putriku, Yuli dan Nita, sudah berpakaian rapih dan wangi, dengan menggunakan baju yang baru kubeli dari uang pemberian orang kantor. Jam dua nanti, aku dan anak-anakku, diundang oleh pabrik pengolahan teh yang memberikan kami sumbangan untuk menghadiri acara yang aku sendiri tidak tahu tujuan acara itu untuk apa. Semua warga kampungku yang jumlahnya tidak terlalu banyak pun semua mendapatkan undangan. Emak, Bapak, dan saudaraku yang lain, kudengar juga sudah mendapatkan undangan. Menurut sebagian warga, pabrik teh ini sudah bersiap-siap seperti akan mendapatkan kunjungan tamu yang super penting. Terlihat dari tembok muka pabrik yang semuanya sudah di-cat baru, dengan banyak karangan bunga besar untuk penyambutan tamu istimewa. Itu kata tetanggaku, dan sebagian lagi ada yang bilang, jika pemilik pabrik teh terbesar di propinsi ini yang akan datang. Pengganti Muchtar Kusumateja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD