Perdebatan antara dirinya dengan Avalon tak menemui hasil. Avalon tetap pada rencananya untuk membawa Minami pulang sedangkan Satya tetap tak memberi izin. Karena kesal dan merasa kalah, Satya meninggalkan apartemen Jorgi sebelum Minami siuman.
“Siapa kamu melarang Minami bepergian? Jika kamu katakan pada Minami maksudmu ini, kamu pikir Minami akan setuju?”
Pertanyaan Avalon tadi terus memenuhi kepala Satya.
Siapa dia berani melarang Minami? Apa Minami akan menurutinya?
Satya dan Minami hanya majikan dan penyihir. Hubungan yang nggak kuat dan bisa putus sewaktu-waktu. Satya nggak punya hak atas hidup Minami dan Minami nggak harus menuruti keinginan Satya.
“Tuan?” suara Minami terdengar begitu sedih. “Apa yang Tuan lakukan di tempat gelap seperti ini?” tanya Minami sambil menyalakan lampu.
“Jangan nyalakan. Matikan!”
Minami tak menuruti perkataan Satya. Dia malah berjalan ke arah lelaki itu dan memeluk punggungnya.
“Tuan meninggalkan Minami begitu saja,” katanya sedih.
“Kenapa kamu kemari? Apa kamu sudah baikan?”
“Tentu saja Minami sudah baikan. Sihir kecil seperti itu nggak bisa melukai Minami!” katanya polos. “Tapi kenapa Tuan meninggalkan Minami? Apa Tuan terburu-buru? Tuan sakit?” tanya Minami sedih sambil merenggangkan pelukannya.
Minami sedikit aneh karena Satya tak bertingkah seperti biasanya. Satya tak memedulikan Minami bahkan tak mau memandang ke arahnya.
“Tuan marah sama Minami? Kalau Tuan marah, Minami minta maaf. Minami mengecewakan Tuan.”
Satya geming. Dia hanya memejamkan mata dan menahan segala gejolak yang dirasakannya.
“Kata Pangeran Avalon, Tuan pergi karena Pangeran menolak permintaan Tuan untuk tidak membawa Minami. Apa benar begitu?”
“Kalau aku bilang benar, apa kamu akan menurutiku atau Avalon?”
Minami merebahkan kepalanya di punggung Satya. Dirasakannya jantung Satya yang rdebar gelisah.
“Minami sangat menyayangi Tuan. Minami mencintai Tuan. Tapi panggilan Pangeran Avalon juga tak bisa diabaikan oleh Minami. Kalau negeri kelahiran Minami sampai hancur, Minami tak akan pernah bisa membawa Tuan ke sana. Minami ingin menunjukkan kampung halaman Minami pada Tuan. Negeri yang sangat indah. Minami ingin membawa TUan ke sana supaya Tuan bisa mengenal Minami seutuhnya.”
“Minami ….” Satya tak bisa melanjutkan perkataannya. Dia juga ingin tau tentang negeri itu, tapi tak harus dengan cara berperang lebih dulu.
“Minami … kamu bilang mencintaiku kan?”
“Minami sangat mencintai Tuan. Sudah Minami berikan segalanya untuk Tuan. Bahkan milik Minami yang paling berharga pun sudah Tuan ambil. Tapi Minami rela memberikannya.”
“Kalau begitu … kalau aku minta kamu menikah denganku, apakah kamu mau?”
Minami menegakkan tubuhnya. Dilihatnya Satya membalikkan diri menghadap ke arahnya.
“Tuan ….”
“Bagaimana?” tanya Satya memandang Minami tajam,” apa kamu mau menerima lamaranku dan menikah denganku? Menjadi istri dan ibu dari anak-anakku kelak. Minami … kamu tau kalau aku juga mencintaimu dengan teramat sangat. Mari kita menikah dan pindah ke tempat di mana tak ada orang yang mengenali kita. Hidup berdua dengan bahagia.”
Satya memegang bahu Minami yang tegang dan tak melepaskan pandangannya. Membuat Minami gugup karena ini pertanyaan yang tidak dia perkirakan sama sekali.
Satya mendekatkan bibirnya ke bibir Minami dan mulai mengecupnya. Melumatnya dengan penuh hasrat dan begitu membuai.
“Kamu tak perlu menjawabya sekarang, tapi kamu harus menjawabnya segera. Aku mencintaimu dan ingin memiliku lebih banyak lagi. Hingga tak ada yang tersisa untuk yang lain. Aku mencintaimu Minami.”
Satya mencium Minami lagi dengan sangat menuntut. Mengecupi setiap jengkal wajah kekasih penyihirnya itu dan berlanjut hingga ke leher. Tak memberi jeda dan membuat Minami kewalahan. Sangat kewalahan. Minami pikir, ini tak seperti Satya yang biasa. Walau begitu dia melayani juga apa keinginan Satya.
Dibiarkannya Satya melepaskan keinginan paling purbanya. Napsu binatangnya yang membuta Miinami terengah, setengah menjerit dan tak berdaya diguncang Satya.
Ini tak seperti Satya yang biasa, tapi Minami sangat menyukainya. Mereka tak pernah seliar ini sebelumnya.
Jika Satya tak mengekang apa-apa, Minami juga bertingkah lebih liar. Tanpa batasan dan mereka seolah melupakan eksistensi mereka sebagai makhluk berakal. Ruangan yang semula rapi hancur seketika. Dan mereka melakukannya di berbagai sudut ruangan. Seperti seekor kucing yang menandai setiap jengkal sebagai tempat kekuasaannya.
Dan setelah semua usai dan cahaya keperakan itu melesat untuk yang ke sekian kali, Minami seperti terlahir kembali. Tubuhnya begitu bugar meski rasa sakit menandai sekujur tubuhnya. Minami tau, meski sebagai penyihir, tubuhnya wanita biasa. Esok hari, dia akan susah untuk bergerak dan melangkah.
“Maafkan aku,” bisik Satya lirih ketika penyatuan terakhir mereka usai. Satya melepaskan diri dari tubuh Minami dan terengah di sebelah kekasihnya. Yang baru saja mereka lakukan terasa tak masuk akal tapi sudah terjadi.
Satya melirik ke sebelahnya. Minami masih mengatur napas. Dilihatnya bercak kemerahan timbul dari seluruh permukaan kulit Minami yang sehalu pualam. Jejak kepemilikannya begitu jelas dan Satay masih tergerak untuk meninggalkan jejak lagi.
Sekali lagi Satya bangkit dan bergerak menuju celah di antara kedua kaki Minami.
“Tuan!” jerit tertahan Minami ketika lidah Satya mulai menelusuri setiap celah yang dia temui. “Hentikan, Minami geli!”
Wanita itu mulai menggeliat tapi Satya tak peduli. Dia belum pernah melakukan ini pada Minami. Dan sekali lagi, dia membuat Minami mengeluarkan sinar keperakan itu.
Satya tersenyum ketika dilihatnya kekasihnya terkulai tak berdaya. Dia merangkak naik dan mengungkung tubuh kekasihnya. Memaksa mata Minami menatap matanya.
“Apa kamu mau menikah denganku Minami?” tanya Satya menuntut.
Minami yang lelah dan tak sanggup berpikir hanya mengangguk.
“Apa, aku tak mendengar kamu mengatakan apa-apa.”
“I-iya, Minami mau menjadi istri Tuan,” katanya terengah.
Satya terkekeh bahagia dan menurunkan tubuhnya. Mengecupi bibir Minami yang bengkak.
“Jangan sekali lagi, cukup Tuan. Minami sangat lelah,” ujar Minami memohon.
Satya tersenyum dan mengecup kening Minami. Dia berguling ke sisi kekasihnya dan menyelimuti mereka berdua.
“Tidurlah. Istirahatlah.”
Lalu keduanya terlelap dengan bahagia.
***
Pagi harinya, Satya pergi ke kantor tanpa membangunkan Minami yang masih terlelap. Setelah menyiapkan sarapan dalam jumlah banyak, dia ke kamar untuk mengecup kening kekasihnya yang masih mendengkur.
“Aku pergi dulu sayang. Kalau bangun nanti jangan lupa sarapan dan membersihkan diri. Jangan ke mana-mana sampai aku kembali ya.”
Minami yang masih lelap tak menyadari kepergian Satya dan dia baru terbangun ketika jam menunjukkan waktu tengah hari.
“Astaga! Minami kesiangan!” serunya. Namun ketika dia mencoba untuk melangkah, pinggulnya terasa nyeri dan celah di antara dua pahanya perih sekali.
“Oh, apa yang sudah Tuan Satya lakukan? Dia seperti bukan manusia saja semalam.”
Minami memutuskan berbaring kembali dan senyum-senyum sendiri mengingat yang sudah terjadi semalam.