Baby Chubby

1172 Words
“Rasanya aku seperti dimanfaatkan,” keluh Jorgi sambil memandangi saldo tabungannya. Gara-gara usulan Marylin untuk bikin event yang bisa memancing kemunculan penyihir incaran mereka, Jorgi harus mengeluarkan uang banyak dari kantong pribadinya. “Hei! Marylin juga kan seleb kayak aku. Kenapa dia nggak diminta jadi sponsor juga?” “Apa kamu bisa sihir?” tanya Avalon. “Kamu sendiri yang dengan sukarela menawarkan jadi pengikutku, kan? Kamu pikir menjadi pengikutku itu gratis? Kamu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhanku!” Nasib jadi manusia yang nggak punya sihir. Dam-diam Jorgi iri sama Satya. Mungkin kalau dia bisa dapatin Minami, posisinya dalam perkumpulan aneh ini bakal naik. Nggak jadi pesuruh terus. ‘Aku harus dapetin ciuman Minami!’ katanya dalam hati. Walau sudah dijelaskan berkali-kali bagaimana sihir Minami bekerja, tetap saja Jorgi merasa yakin kalau sudah mendapatkan ciuman Minami, dia bakalan bisa jadi tuannya . “Ada baiknya kita cek lagi persiapan kita,” kata Sheeva yang memegang selembar kertas. “Lakukan!” perintah Avalon. “Publikasi?” “Done!” Marylin yang mengurusnya. “Kafe tempat acara?” “Done!” Ini juga urusan Marylin. “Sponsor minuman?” “Beres!” kata Jorgi. “Pendaftaran?” tanya Sheeva sambil melihat ke sekeliling. “Pendaftaran belum ada orang?” “Sebaiknya Avalon yang memegang pendaftaran. Dia bisa mengetahui aura sihir seseorang kan?” “Hei! Aku pangeran! Mana bisa aku disuruh bekerja!” “Biar Sheeva aja!” Buru-buru Sheeva menawarkan diri sebelum terjadi pertikaian. “Lalu bagaimana cara melihat penyihir yang kita maksud di antara banyak orang?” Semua mata memandang ke arah Avalon!” “Ayolah, Tuan! Nanti biar Minami temani bersama Tuan Satya.” “Aku juga!” kata Jorgi menawarkan diri. “Kalau cuma jaga pendaftaran, aku juga bisa,” kata Marylin tunjuk tangan. Satya yang berada di ruangan itu mendengkus. “Orang di ruangan ini saja sudah tertarik sama Minami, gimana yang mendaftar nanti. Sebaiknya masalah pendaftaran ini dipegang Avalon dan Minami saja. Yang lain nggak perlu ikut.” “Tuan Satya bijaksana sekali. Minami jadi makin sayang sama Tuan!” kata Minami sambil memeluk lengan Satya. “Baiklah kalau begitu semua permasalahan beres. Kita berdoa semoga hari H nanti lancar.” *** Pada hari yang sudah ditentukan, keadaan sedikit kacau. Karena bagian registrasi yang dipegang Minami dan Avalon sedikit ricuh. Melihat ketampanan Avalon, para gadis segera mendaftarkan diri walau mereka cuma pengunjung yang melintas dan bukan peminum. Registrasi ini dikenakan biaya, tapi perempuan-perempuan itu kelihatan tak peduli dan mereka mendaftar sampai dua tiga kali demi bisa memandangi Avalon dari dekat. “Gimana? Apa sudah ada hasil?” tanya Marylin sambil berjalan mendekat. Terjadi kasak kusuk ketika para perempuan yang berbaris membentuk garis lurus itu menyadari siapa yang berada di sebelah Avalon. “Kamu liihat peserta yang mengular? Nggak butuh kemampuan sihir untuk membuktikan kalau mereka itu cuma manusia biasa.” Marylin terkekeh. “Nggak heran kamu jadi pangeran. Pesonamu tak ada duanya.” “Bersuara lagi, aku peram kamu di guci biar jadi asinan!” “Coba saja kalau bisa. Kemampuanmu nggak ada setegahnya kemampuan sihirku saat ini.” Avalon menggeram rendah. Benci sekali mendengarnya, sayangnya apa yang dibilang Marylin memang benar. Ketika mereka berdebat, seorang peserta baru masuk ke antrian. Avalon merasakan auranya. “Besiaplah,” katanya sambil menegakkan tubuh. “Kamu merasakannya?” “Kemampuannya meningkat akhir-akhir ini. Level berapakah ini?” ujar Avalon menebak. Dia pun memejamkan mata. “Jaga pintu masuk. Lakukan perlahan,” perintah Avalon. Marylin tidak bisa memenuhi permintaan Avalon karena dia harus performance sebentar lagi. “Aku tidak tau yang mana orangnya,” kata Satya. “Lelaki dewasa dengan menggendong balita. Tidak masalah dengan lelaki dewasanya. Yang berbahaya balitanya.” “Baiklah. Biar aku berjaga di pintu. Akan kuawasi gerak-gerik lelaki dan balita itu.” Suasana sedikit tegang. Marylin memberi tahu yang lain kalau target mereka hampir masuk perangkap. Masing-masing orang sudah punya tugas. Yang punya kemampuan sihir termasuk Minami, berjaga di titik strategis yang sudah ditentukan. Jika tiba waktunya, mereka akan menangkap dan melumpuhkan penyihir itu. “Level 5. Tak terlalu tinggi,” gumam Avalon. Meski bukan level tinggi, Avalon tak bisa menghadapinya. Ini membuat suasana hatinya suram. Lelaki dewasa dan balita itu sudah hampir sampai di meja pendaftaran. Avalon tak yakin apa penyihir yang mereka incar ini mengenal wajahnya? Sebagai seorang pangeran, dia sering menemui rakyatnya dan muncul di acara-acara besar kerajaan. Seluruh negeri mengenalnya. Seharusnya penyihir incarannya juga pernah melihat wajahnya walau sekali. Avalon menundukkan kepala saat lelaki itu tiba di depannya. Hari ini dia menguncir rambutnya. Dengan tampilan berbeda, Avalon berharap sulit dikenali. “Mancare,” kata lelaki itu dengan suara berat. “Dilarang membawa balita ke dalam kafe. Ini bukan lingkungan yang baik untuk anak kecil,” kata Avalon membuka percakapan. “Dia tidak minum. Aku yang akan minum.” “Apa tidak bisa meninggalkan anakmu di luar saja?” pancing Avalon. “Jangan coba-coba! Aku belum pernah dipisahkan dari anak ini! Kalau kalian nggak mengizinkan dia ikut, kami mundur saja dari perlombaan ini!” “Eh jangan! Baiklah, baiklah. Kami izinkan kalian ikut. Namun ketika perlombaan dimulai, biarkan kami memegang bayi Anda,” bujuk Avalon. “Aku takut ada yang memotret dan kami bakalan kena sanksi.” “Mancare menghela napas. “Baiklah. Tapi jangan jauh-jauh dariku.” “Nggak masalah,” kata Avalon tersenyum. Melumpuhkan mereka berdua akan lebih mudah kalau dipisah. Event berlangsung dengan meriah. Perlombaan dibagi menjadi beberapa meja. Minami bertugas mendampingi Mancare dengan menggendong bayinya. Di mata Minami, bayi itu sangat lucu dan menggemaskan. “Ah senang sekali kalau punya satu seperti ini dengan Tuan Satya,” kata Minami sambil bermain gembira dengan si bayi. Seolah tau apa yang dimaksud Minami, bayi itu tertawa lebar. Memperlihatkan empat giginya atas dan bawah. “Lucunyaaa. Kamu punya dua gigi ya ternyata,” seru Minami riang. Kembali dia menggelitiki dan bermain ciluk ba dengan si bayi. Bayi gemas yang aslinya memang bukan betulan bayi, mulai bosan harus bersandiwara seperti ini. Ketika tangan Minami terulur untuk mencubit pipi chubby-nya, bayi itu menggigit jari Minami sekuat tenaga, hingga darah mengucur dari lubang bekas gigi bayi menancap. Minami berteriak bukan karena sakit, tapi dia terkejut dengan jarinya yang kini berlubang empat. Meski begitu, Minami tak melepaskan si bayi dari gendongannya. “Turunkan aku!” kata si bayi. Membuat Minami memperhatikan si bayi seperti sedang berhadapan dengan setan. “Ka-kamu bisa bicara?” “Aku bukan bayi biasa. Turunkan aku atau kubikin wajah cantikmu berubah menjadi wajah kuda!” Minami memegang pipinya. Namun dia tak mau menurunkan bayi itu. “Minami tak bisa. Minami mendapat perintah dari Tuan Avalon untuk menjagamu.” “Avalon?” kening bayi mengerut. “I-iya. Avalon pangeran kami.” “Hah! Si berengsek itu sudah sampai ke negeri ini juga ternyata? Dan kamu, apa kamu penyihir juga?” tanyanya menyelidik. Minami mengangguk. Bayi mulai waspada. Dia merasa ada yang nggak beres. “Mancare!” panggilnya. “Mancare cepat kemari dan bawa aku keluar dari tempat ini!” Bukannya lelaki dewasa pengasuhnya yang muncul, tapi Avalon yang mendatangi Minami yang sedang menggendong bayi chubby.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD