CHAPTER 4: Mencurigai

1436 Words
u*****n dari mulutnya terus keluar bersamaan dengan tangannya yang ikut bekerja, jika bukan karena ingin membalas perbuatan Wijaya, dia tidak akan sudi menjadi pelayan apalagi sampai harus membersihkan bekas percintaannya sendiri. Hari sial tidak siapapun yang tahu, begitu juga dengan Rania saat ini. Mendaratkan dirinya duduk diatas ranjang sembari menyeka keringatnya. Dalam hatinya tidak menyangka bahwa ranjang tersebut sangatlah besar, padahal tadi siang Rania merasa sangat sempit untuk ditiduri oleh dua orang. "Benar-benar sial aku." ucap Rania berdecak kemudian. Melihat pada bingkai foto pernikahan Wijaya dan Laura yang masih tergeletak di atas lantai. "Apa laki-laki itu tidak menyadari kalau fotonya terjatuh." Rania mengambil foto tersebut, membereskan pecahan kaca dengan sapunya, meletakkan serpihan foto diatas meja dibawah beberapa foto lainnya. "Apa yang kau lakukan?" Suara berat dibelakang tubuhnya membuat Rania tidak sengaja menggoreskan tangannya pada ujung bingkai foto yang tajam, meringis pelan Rania lalu membalikkan badannya. "Tuan, saya yang bertugas membersihkan kamar Tuan dan Nyonya." menundukkan kepalanya, Rania meremas kuat bagian tangannya yang berdarah. "Apa kau juga bertugas untuk menyentuh barang-barang yang ada dikamar." ucap dingin Wijaya, tatapan matanya tertuju pada foto pernikahan yang telah pecah. "Tidak, bukan saya yang menjatuhkan, Tuan. Saya hanya membersihkan." "Keluar dari kamar saya, dan panggilkan kepala pelayan wanita untuk menghadap pada saya." "Baik Tuan, saya benar-benar.." "Cepat..!" Rania menganggukkan kepalanya, dengan bergegas melangkah keluar dari kamar tersebut. "Galak sekali, dia pikir aku akan menuruti perintahnya itu." Rania melepaskan sanggulnya membiarkan rambutnya tergerai. Langkah kaki Rania membawanya menuju pada belakang rumah, melihat dengan kedua matanya sebuah danau yang menyuguhkan keindahan dengan beberapa pohon-pohon di samping jalannya. "Indah sekali." senyumnya kemudian. "Benar. Seindah dirimu." Rania terkejut, memutar badannya menatap pada seorang laki-laki yang menggunakan penutup wajah yang hanya menutupi setengah dari wajahnya itu. "Siapa kau?" ujar Rania bertanya, memundurkan segera langkahnya. "Kau tidak mengenal aku. Oh, aku lupa.." laki-laki itu tertawa kecil, melepaskan penutup wajahnya. "Tuan Sato. Maaf, saya sudah lancang." Rania segera membungkukkan badannya. "Tidak, jangan sungkan begitu." Sato menyentuh bahu Rania membenarkan posisi Rania berdiri tegak. Rania tersenyum kecil, hampir menepis tangan Sato yang telah lancang menyentuhnya. "Kenapa Tuan ada disini?" tanya Rania penasaran karena tentu saja ini bukan rumah Sato dan bukan juga wilayahnya. "Menurutmu apa yang aku lakukan disini?" Sato bertanya balik sambil menyunggingkan senyumnya. "Tidak tahu." "Kau benar-benar polos. Aku ini adik Wijaya, aku kesini tentu saja mengunjungi kakakku." ucap Sato memajukan wajahnya pada Rania. Rania yang baru tersadar akan hal itu lantas memukul kepalanya. Bagaimana dia bisa melupakan jika Sato adalah adik Wijaya, jika pemikirannya pendek begini terus bisa-bisa identitasnya cepat terungkap. "Jangan memukul kepalamu sendiri. Apa kau tidak nyaman aku disini?" Sato memegang tangan Rania menyingkirkan dari kepala wanita itu. Rania menggelengkan kepalanya. "Tidak Tuan Sato. Saya hanya pelayan, maaf jika perkataan saya menyinggung Tuan." Sato hanya tersenyum menatap pada Rania. Wanita didepannya itu sangat menarik untuk ia dekati, selain itu Sato masih penasaran tentang Rania karena dari nama saja mengingatkan dia tentang seseorang di masa lalu. "Kau tidak bekerja? kalau Wijaya melihatmu membolos di jam kerja, kau akan dihukum olehnya." "Ini saya mau kembali bekerja, Tuan. Saya tidak bisa menahan untuk tidak melihat keindahan dibelakang rumah ini, bagaimana bisa orang-orang tidak pernah datang untuk melihatnya." "Kau menyukainya? jika kau menjadi istri Wijaya pasti setiap saat kau akan duduk disini." Rania terbatuk-batuk, tidak percaya Sato bisa berpikir padanya untuk menjadi istri Wijaya. Rania mengusap lehernya dan berdehem. "Maaf Tuan, sepertinya saya harus segera kembali bekerja. Saya permisi dulu Tuan." Rania berjalan cepat melewati Sato tidak menoleh lagi kebelakang, yang ia pikirkan hanya berlari dari laki-laki itu, seperti yang Rania pikirkan sekarang Sato sudah lebih terbuka untuk menggodanya, jika terus begini Sato akan menghalangi semua rencananya dan menghambat balas dendamnya. Sato menatap punggung belakang Rania, tersenyum tipis sambil memasang kembali penutup wajahnya. "Rania, kemana saja kau?" Dara berjalan mendekati Rania yang baru tiba di depan rumah. "Aku sakit perut tadi jadi kembali ke kamar dulu." ucap Rania beralasan, tidak mungkin dia memberitahu Dara bahwa dirinya baru saja berbicara dengan Sato. "Ya ampun. Aku mencari dirimu karena Ibu kepala memanggilmu untuk menghadapnya. Kau ada masalah?" Rania menggelengkan kepalanya pelan. "Cepatlah temui ibu kepala. Semoga kau baik-baik saja, karena tadi dia terlihat sangat marah." "Terima kasih Dara. Selama aku tidak melakukan kesalahan, aku akan selalu baik-baik saja." Dara tersenyum lebar memeluk tubuh Rania. "Pergilah, setelah itu kembali bekerja." Rania menganggukkan kepalanya, berjalan menuju kedalam rumah untuk menemui Ibu Kepala pelayan wanita tersebut. "Rania..! Apa kau sadar, apa kesalahanmu?" Rania yang sudah tiba di ruangan khusus kepala pelayan dan berdiri menghadap pada seorang wanita tua yang baru saja berteriak padanya. "Rania, jawab..!" "Maaf Bu, saya tidak melakukannya." "Bagaimana saya bisa percaya. Tuan Wijaya menyuruhmu untuk memanggil saya tapi kau sama sekali tidak menemui saya. Sekarang Tuan Wijaya sedang marah, apa kau sudah bosan hidup, hanya memikirkan dirimu sendiri tidak memikirkan pelayan lainnya. Kau bisa dipecat, bukan cuman dirimu tapi juga semua orang yang terlibat denganmu." "Tapi saya tidak melakukannya, saya hanya melakukan pekerjaan saya, saya melihat foto itu terjatuh jadi saya membersihkannya, bukan saya yang menjatuhkan." "Cukup..!" Rania memejamkan matanya, masih menundukkan kepala. Jika dia bukan seorang pelayan maka sudah dipastikan wanita sombong itu sudah ia buat menjadi remahan kerupuk. "Kau dihukum. Malam ini berjaga di depan gerbang rumah sampai besok pagi, jangan beranjak dari tempatmu berdiri meskipun itu satu detik. Seharian ini kau harus menyelesaikan pekerjaanmu sebelum matahari terbenam. Apa kau paham?" "Baik Ibu. Saya paham." "Keluar dari ruangan saya." Rania membungkuk sebentar lalu keluar dari ruangan tersebut. "Hari ini benar-benar sial. Sudahlah, aku harus menyelesaikan pekerjaan sebelum wanita bermulut kaleng itu berteriak lagi, suaranya benar-benar membuat kepalaku sakit." Hari sudah beranjak malam, sekarang Rania sudah berdiri di depan gerbang rumah bersama beberapa penjaga laki-laki lainnya. Mereka sedari tadi terus menggodanya dan berusaha mengajaknya berbicara namun, karena Rania yang sudah sangat lelah jadi dia tidak terlalu menanggapi laki-laki m***m tersebut. Sudah menunjukkan pukul 21.00, Rania masih bertahan ditempatnya berdiri bahkan tidak beranjak sedikitpun. Hal itu membuat penjaga laki-laki merasa khawatir karena wajah Rania yang sudah berubah pucat dan bibirnya yang bergetar. "Pelayan wanita, ayo kita pergi makan malam terlebih dahulu. Lihat bibirmu sudah bergetar." penjaga laki-laki itu berjalan hendak menarik Rania, mengajak serta karena sudah waktunya para pelayan makan malam bersama. Rania menepis tangan penjaga laki-laki tersebut, menggelengkan kepalanya. Tidak akan goyah kakinya dan menyebabkan dirinya gagal menjalankan hukuman, baginya itu adalah bagian dari harga diri. "Wanita itu keras kepala. Ayo kita tinggalkan saja." ucap penjaga laki-laki yang lain membuat mereka semua lalu beranjak meninggalkan tempat penjagaan dan Rania yang masih berdiri disana. Pukul 02.00 dini hari, Rania merasakan seluruh badannya keram dan kepalanya yang berdenyut-denyut. Sejak penjaga lainnya pergi sampai sekarang mereka tidak kembali lagi, pasti mereka memanfaatkan Rania untuk berjaga sedangkan mereka bisa tidur dengan santai, pikir Rania mengepalkan tangannya kuat. Rania membuka matanya ketika merasakan pandangannya kabur, otot-otot kakinya pun sudah tidak kuat menahan beban badannya untuk terus berdiri. Tanpa sadar seluruh tubuhnya sudah terjatuh di atas tanah, nafasnya tersengal bersama pandangan yang berubah menjadi gelap. Membuka matanya paksa, Rania melihat wajah seorang laki-laki yang berusaha menggendongnya, entah akan membawanya kemana. "Haus.." lirih Rania membuat laki-laki itupun tersadar. "Sedikit lagi akan sampai." ucap laki-laki tersebut terus berjalan. Merebahkan tubuh Rania diatas tempat tidur, laki-laki itu kemudian mengambil gelas, mengisinya dengan air di dalam teko dan memberikan kepada Rania untuk wanita itu minum. "Kenapa kau berdiri di depan gerbang?" tanyanya lantas membuat Rania melihat dengan jelas pada wajah laki-laki tersebut. "Wijaya?" "Apa katamu?" "Maaf, maksud saya Tuan Wijaya." Wijaya yang mengerutkan dahinya lalu mengangguk saja. "Saya ingat tidak pernah memperkerjakan pelayan wanita untuk berjaga di depan rumah. Kau menerima perintah siapa?" Wijaya berdiri dan berjalan pelan menuju jendela rumah. "Saya.." "Jujur saja, saya tidak akan melibatkan kamu untuk hal lainnya. Anggap saja saya berterima kasih karena kau telah menghancurkan foto pernikahan itu." Rania mengernyit dalam, menatap tak percaya pada Wijaya. "Kau tidak perlu berpikir keras kenapa saya menginginkan hal itu, mata saya selalu sakit jika melihat foto yang seharusnya tidak berada di rumah saya." "Tuan Wijaya bukannya mencintai Nyonya Laura." Wijaya tertawa mendengar ucapan Rania, berbalik badan mendekati Rania yang masih duduk ditempat tidur. Rania memundurkan tubuhnya saat Wijaya yang semakin mendekat. Telapak tangan Wijaya menahan tubuh Rania, menatap kedua mata yang membuatnya teringat pada seorang wanita di masa lalu. "Jika aku mendengar namamu, wajah wanita itu selalu hadir dalam pikiranku. Namamu sangat mirip dengannya, tapi wajahmu sangat berbeda." Rania bengong tidak tahu harus berbuat apa, kedua matanya menatap lekat pada Wijaya yang juga masih menatapnya. Apakah ini akhir dari penyamaran Rania, dua laki-laki di masa lalunya sudah mencurigai tentang dirinya dan sebentar lagi dia pasti akan kembali disiksa atau bahkan lebih parah kembali dijatuhkan di tebing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD