CHAPTER 5: Menjadi Kekasih Gelap

1080 Words
Wijaya masih menatap wajah Rania dengan seksama. Wanita itu telah tertidur beberapa menit sebelumnya, mungkin saja sangat kelelahan karena berdiri selama beberapa jam tanpa makan dan minum. "Cari tahu siapa yang memperkerjakan pelayan wanita untuk berjaga di depan?" "Baik Tuan." "Aku ingin mendapatkan informasinya sekarang juga, segera cek atau jika perlu bangunkan seluruh pelayan wanita." "Diterima Tuan." dua orang kepercayaan Wijaya lalu pergi dengan langkah cepat menuju ke rumah utama Wijaya yang tak jauh dari tempat peristirahatan Wijaya itu. "Kalian, siapkan makanan untuknya dan beritahu aku jika Rania sudah bangun. Aku akan mengambil baju untuknya." Wijaya segera berdiri kemudian berjalan keluar dari kamar. Bangunan tersebut adalah tempat Wijaya beristirahat jika rumah utamanya terasa sangat membosankan, meskipun jarang ia kunjungi namun bangunan itu masih sangat terawat dan bersih. Wijaya sengaja membawa Rania kesana agar dirinya bisa memastikan siapakah yang bermain-main dengannya tanpa perintah olehnya itu, jika Rania dia pulangkan ke mansion maka akan sangat susah baginya. Terlalu banyak manusia bermuka dua yang telah hidup dalam lingkungannya saat ini. "Kemana saja kau?" Wijaya memiringkan kepalanya, melihat pada Laura yang duduk di atas tempat tidur bersama anak mereka ditangannya. "Ada pekerjaan. Kenapa belum tidur?" ujar Wijaya kembali bertanya, melihat pada jam di dinding. "Ada keributan diluar, aku tidak bisa tidur, anak kita juga terbangun." Laura mengangkat bayi ditangannya itu dan memindahkan ke dalam box bayi. "Mau aku buatkan minuman hangat agar kau bisa tidur?" "Kau bilang ada pekerjaan. Pergilah, aku bisa membuatnya sendiri." Laura merapikan kerah baju Wijaya dan mengusap bahunya yang terlihat kusut. Wijaya mengangguk tanpa mengatakan apapun dia segera keluar dari kamar, membawa beberapa bajunya ditangan. "Tuan, saya sudah membangunkan semua pelayan wanita, ada satu pelayan wanita bernama Dara yang bilang kalau Rania terakhir bersama kepala pelayan." "Baiklah. Kau kembali bekerja." "Baik Tuan." Wijaya pun berjalan menuju bangunan sebelumnya, masih membawa baju ditangan ia membuka pintu kamar yang dijaga oleh dua penjaga disisi pintu. "Kau sudah bangun? makanlah dulu, setelah itu ganti pakaianmu." Wijaya meletakkan pakaian tersebut di atas meja samping kasur dimana Rania yang duduk disana menggenggam piringnya. "Rania." "Iya Tuan." Rania dengan cepat menjawabnya, tangannya bergetar dan tatapan mata yang tak berani menatap lama kedua mata Wijaya. "Jangan takut, aku tidak akan berbuat apapun." Dalam hati Rania mengutuk ucapan Wijaya, jika saja laki-laki itu tahu apa yang sudah dia perbuat pada Rania siang tadi, apakah masih bisa mengatakan hal tersebut. "Tuan, saya sudah selesai makan. Sepertinya saya kembali ke mansion saja." "Saya tidak berkata kau boleh kembali ke mansion." "Huh.." "Bagaimana kita buat kesepakatan, kau setuju?" Rania mengernyit dalam, mulai mencurigai sifat Wijaya itu. "Maksudnya Tuan, maaf saya tidak paham." "Begini, saya sudah tahu tentangmu." "Apa?" "Kau terlihat panik, padahal itu hanya kecelakaan saja." Rania menggenggam kuat tangannya, biadab Wijaya mengatakan bahwa kehilangan orangtuanya adalah kecelakaan, lalu bagaimana dia yang ingin melenyapkan hidup Rania apakah disebut kecelakaan juga. "Tuan Wijaya, anda sangat tidak memiliki hati nurani, bagaimana bisa anda menjadi orang yang terpandang." "Nah, sekarang kau memiliki keberanian, apakah Rania yang tadi siang telah kembali." Rania terbengong, dia benar-benar dikerjai habis-habisan oleh laki-laki itu. Ternyata yang Wijaya maksud adalah hubungan mereka tadi siang, dan Wijaya telah mengetahui hal itu. "Tuan Wijaya jangan bercanda. Saya bahkan baru masuk ke kamar Tuan dan Nyonya saat mengganti seprei siang tadi." "Sebelumnya. Dengar Rania, saya bukan orang yang bisa dibohongi." Wijaya mengelus pipi Rania memberikan kecupan di sana. "Jadi, apa yang akan Tuan Wijaya lakukan?" Rania sudah tidak bisa berakting lagi, lebih baik ia nikmati drama yang sudah dia ciptakan selagi identitas aslinya tidak terbongkar. "Kau menjadi kekasihku." "Apa!?" "Kau harus tahu satu hal. Saya dan Laura tidak benar-benar mempunyai anak, bahkan kami tidak pernah berhubungan selama menikah." "Tapi Tuan, anak itu.." "Aku juga tidak tahu itu anak siapa. Karena aku memeriksa kecocokan antara aku dan anak tersebut, sama sekali tidak ada kecocokan." Rania sungguh terkejut atas pernyataan Wijaya, jadi apa makna sebenarnya pernikahan mereka. "Apa Nyonya Laura mengetahuinya, Tuan?" "Sama sekali tidak, aku ingin semuanya terungkap dengan sendiri. Walaupun aku bisa mengungkapkannya tapi biarkan Laura bermain dalam permainannya sendiri." "Rania." "Iya Tuan." "Ahh, jangan memanggilku seperti itu. Kau kini sudah aku anggap sebagai kekasihku, jadi panggil aku sesukamu saja." Wijaya tersenyum menarik Rania lebih mendekat padanya. Rania terkejut menahan bahu Wijaya, tersenyum tipis dan menggigit bibir bawahnya pelan. Tidak tahukah Rania bahwa Wijaya memperhatikan kegiatannya itu, membuat sesuatu dibawah sana terbangun. "Rania, aku sudah tidak tahan." "Apa yang tidak tahan, Tuan, maksudnya honey." Wijaya tertawa mendengar panggilan baru Rania untuknya, lalu mengangkat Rania duduk diatas pangkuannya. "Aku suka panggilan itu." ucap Wijaya langsung mencium bibir Rania bersama tangannya yang bergerilya di pinggul Rania. Rania tidak tahu pasti apa maksud Wijaya yang menjadikan dirinya sebagai kekasih dari laki-laki itu, padahal ia hanya seorang pelayan biasa. Rania tidak ingin pusing memikirkan, mengikuti permainan Wijaya sambil menjalankan rencananya. Semakin Wijaya dekat dengannya maka akan semakin mudah Rania membalas dendam pada Wijaya. Rania membuka matanya, dia terbangun saat matahari sudah naik menampakkan dirinya yang terselip dari balik gorden kamar. Rania mengambil kemeja milik Wijaya, memakainya sembari berjalan membuka gorden, membiarkan cahaya masuk ke dalam kamar. Menolehkan kepalanya saat Wijaya yang juga ikut terbangun menatap padanya. Lekuk tubuh Rania yang terlihat jelas dibalik kemejanya itu membuat Wijaya kembali b*******h. "Honey, pakai celana." seru Rania menutup wajahnya ketika melihat Wijaya berdiri tanpa mengenakan apapun. "Kenapa? kau sudah melihatnya dua kali bukan." ucap Wijaya mengambil celananya dan memakainya. Rania menghela nafas panjang. "Tapi tidak perlu memperlihatkannya begitu, kau tidak malu." "Untuk apa malu, hanya pada kekasihku." Wijaya menarik pinggang Rania membawanya untuk digendong. "Apa yang kau lakukan, bagaimana jika ada orang lain yang melihat kita. Aku masih ingin bekerja." Rania berusaha turun namun tangan Wijaya menahannya. "Tidak akan ada orang yang melihat jika kau diam, honey." "Turunkan aku.." Rania memohon pada Wijaya menatap dengan mengedipkan matanya. "Manis sekali. Rasanya aku tidak bisa." "Apa?" "Katakan dengan lembut padaku atau kita bermain sekali lagi." "Tidak, tidak." Wijaya tertawa mengecup singkat bibir Rania. "Ayo, katakan." Rania cemberut, mengangguk kecil. "Honey, bisa kau turunkan aku. Aku harus bekerja sekarang, jika tidak aku bisa dipecat dan dimarahi lagi." "Siapa yang akan memarahi?" "Ibu kepala, dia selalu marah-marah jika aku terlambat." "Apa dia juga yang menyuruhmu untuk berjaga di depan?" "Iya, sebagai hukuman." Rania memajukan bibirnya mengadu. "Kau tenang saja. Aku akan membereskannya." Rania tersenyum lebar. Hatinya sangat puas kini bisa mengendalikan Wijaya ditangannya, mulai sekarang siapa saja yang berani mengusik Rania akan selalu mendapat kesialan. Tidak ada ruginya Rania memberikan tubuhnya pada Wijaya. Laki-laki bodoh itu dengan sangat mudah termakan rayuan tubuh seksi Rania.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD