CHAPTER 3: Penguntit Handal

1334 Words
"Rania." Dara berjalan menghampiri Rania yang melihat padanya. "Tuan Sato. Apa Rania menyinggung anda?" Dara membungkuk berdiri di samping Rania. "Tidak. Saya kira temanmu ini tersesat jadi saya pikir untuk membawanya kembali ke rumah Wijaya." ucap Sato, tatapan matanya menatap pada Rania. "Tidak apa-apa Tuan. Kami berangkat bersama, ini sudah mau kembali." ujar Dara. "Baiklah. Saya pergi dulu." Sato melewati Rania sedikit meliriknya dengan senyuman. Rania yang sadar dengan tatapan Sato padanya hanya terdiam bersama pikirannya. "Kau tidak apa-apa, Rania? kenapa bisa bertemu dengan Tuan Sato?" "Aku tidak tahu, tadi kami bertemu di jalan." "Ya ampun, aku kira kau melakukan kesalahan. Tuan Sato itu orang yang keras, wajahnya saja seperti pendiam tapi sifatnya melebihi Tuan Wijaya. "Bagaimana kau tahu?" Rania mengikuti langkah Dara, mereka berjalan bersama kembali ke mobil yang sudah menunggu. "Banyak rumor tentang Tuan Sato. Pernah terjadi pemberontakan beberapa tahun lalu, saat itu masa kejayaan Tuan Wijaya. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tapi Tuan Sato menjadi tersangka pembunuhan satu keluarga." Rania terdiam, matanya terasa perih saat ingatan kebakaran yang menyebabkan keluarganya meninggal. "Apa yang kau maksud itu pembunuhan diarea kebakaran?" Dara menggelengkan kepalanya. "Belum pasti penyebabnya dan alasan Tuan Sato. Lagipula itu hanyalah rumor yang biasa digosipkan oleh orang-orang. Mereka hanya iri pada keluarga Wijaya." "Dara." "Iya, Rania. Jangan terlalu terkejut begitu, kalau bicara tentang keluarga terpandang tentu saja banyak hal yang luar biasa." "Bagaimana jika keluargamu meninggal karena kebakaran?" "Itu musibah dari Tuhan." "Jika yang mengambil nyawa mereka bukan Tuhan melainkan seorang pengkhianat. Apa yang kau lakukan?" Dara melihat pada Rania, mengernyitkan keningnya. "Aku akan melupakan itu. Hidupku harus berjalan lebih baik selanjutnya." ucap Dara. "Kau tidak membalas mereka?" "Rania, apa kau ada masalah?" Rania mengedipkan matanya, tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Jika kau tidak enak badan, setelah ini kau bisa istirahat saja. Aku akan izinkan pada Ibu kepala." "Iya, terima kasih Dara. "Tidak masalah. Sekarang kita teman, jadi jangan sungkan untuk bertanya padaku." Dara merangkul bahu Rania dan tersenyum lebar, Rania pun ikut tersenyum meskipun di dalam hatinya masih memikirkan tentang hubungan Sato dengan kejadian kebakaran itu. Mobil berhenti tepat di depan mansion. Rania turun dari mobil setelah Dara, Dara memanggil pelayan laki-laki untuk membawa bahan makanan ke dapur umum rumah Wijaya. "Kau tidak apa-apa kalau ke kamar sendiri? aku harus langsung bekerja untuk memasak makan siang Tuan Wijaya dan Nyonya." Dara mengusap bahu Rania, bertanya. "Tidak masalah. Kau duluan saja." jawab Rania lalu tersenyum. Dara berjalan menuju rumah utama Wijaya yang terletak di depan mansion. Rania melihat Dara sudah menghilang dibalik tembok rumah kemudian berjalan cepat, namun ia tidak menuju mansion melainkan bangunan yang ada disebelah rumah utama. "Kali ini usahaku harus berhasil. Dengan lingerie ini aku yakin Tuan Wijaya akan menatapku." senyumnya sinis sambil memakai topeng berwarna hitam. Tangan Rania mengusap lingerie berwarna merah terang dan menerawang hingga ke pakaian dalamnya dan bagian atas yang tidak mengenakan penutup, membalut pas lekuk tubuhnya, sehingga tercetak dengan sempurna. Kedua kakinya melangkah masuk dibalik pintu yang ternyata terhubung dengan kamar besar dan mewah, terdapat foto keluarga dengan semua wajah yang sudah Rania kenal, termasuk wajah Wijaya. Jari-jari Rania menyapu pelan bingkai foto pernikahan Wijaya dan Laura. Dua manusia serakah yang tidak tahu malu. Tanpa berpikir panjang Rania mengambil dengan tangannya melemparkan Kedinding foto tersebut. "Ini baru foto wajah kalian yang aku lempar. Tunggu saja nanti, wajah asli kalian yang akan aku benar-benar lemparkan." ucap Rania dengan nafas menggebu-gebu. Kepalanya menoleh ke arah ranjang tidur yang besar, tersenyum lebar seakan semesta memang mendukungnya. Saat ini tengah berbaring seorang Wijaya Fatwa disana dan untung saja tidak mendengar apa yang tadi Rania perbuat pada foto pernikahannya itu. Mengusap pelan-pelan wajah Wijaya, menaiki di atas tubuh pria itu dan mengendus bau yang masih sama saat mereka masih bersama dulu. "Tidak. Rania sadarlah, dialah orang yang ingin kamu mati." Rania memejamkan matanya kuat, masih berada di atas tubuh Wijaya. Pergerakan dari pria itu membuat Rania panik lantas segera turun dan berbaring menyelimuti dirinya di samping Wijaya. "Laura, bukankah kau ada perjamuan bersama temanmu. Kau sudah pulang?" Wijaya terbangun melihat pada sisi kanannya, menepuk pelan selimut mengira bahwa itu adalah Laura, istrinya. Rania hanya berdehem, semakin mengeratkan pegangan tangannya pada selimut. "Kau kenapa? apa kau sakit?" Wijaya duduk hendak menarik selimut itu, tetapi Rania menggelengkan kepalanya dan memejamkan mata, bukan rencana ini yang dia mau. "Laura." "Jika kau sakit aku akan panggilkan dokter. Jangan sampai karena kau sakit aku membatalkan perjalanan proyek, itu sangat penting untukku." ucap Wijaya. Rania yang berada dibalik selimut dan mendengar ucapan Wijaya lantas berdecak, ingin sekali menyumpal mulut Wijaya itu dengan satu koper uang. "Laura, apa kau menggodaku?" Rania melebarkan bola matanya besar, ketika telapak tangan Wijaya yang berdosa menyentuh pinggulnya dan mengusap hingga bagian paha. Rania tidak bisa menahan desahannya saat tangan Wijaya yang masuk disela kedua pahanya, mengelusnya disana. "Tunggu. Apa kau benar-benar sakit, mengapa suaramu berbeda?" Rania menutup mulutnya, selesai sudah. Wijaya akan membuka selimut itu dan melihat siapa sebenarnya yang baru dia goda tadi. "Kau siapa? kenapa di kamarku?" tanya Wijaya menarik tiba-tiba selimut yang menutupi Rania, membuangnya ke lantai. "Kau.." tunjuk Wijaya pada Rania. Rania beruntung masih menggunakan topeng diwajahnya sehingga Wijaya tidak langsung mengenali dirinya. "Kau akan dihukum untuk ini. Berani menyusup ke kamarku dan berpura-pura menjadi Laura." "Tunggu. Aku hanya ingin dirimu." Rania memegang lengan Wijaya ketika laki-laki itu akan keluar dari kamar. Wijaya membalikkan badannya, menatap rendah pada Rania. Rania menanggalkan lingerie yang menempel ditubuhnya, menyisakan underwear. Bagian tubuh atasnya terlihat nyata dengan benda yang menonjol disana. "Kau berusaha menggodaku. Apa kau pikir aku akan tertarik dan berhubungan denganmu." ejek Wijaya berjalan mengelilingi Rania. "Kau bahkan belum mencobanya, sudah menyimpulkan duluan." ujar Rania mengangkat wajahnya. "Huhh, jadi apa yang akan kita lakukan?" "Kau mau kita bagaimana? aku tahu jika Laura, istrimu itu tidak benar-benar memberikan hak dirimu sebagai suaminya. Anak yang bersama kalian, apa kau yakin itu adalah anakmu dan Laura." "Siapa kau bisa mengarang cerita seperti itu. Jangan terlalu banyak bicara, aku bisa saja langsung membunuhmu, tapi.." Wijaya menghentikan kalimatnya, menarik tengkuk Rania mendekat dengan satu tangannya lagi mengelus perut Rania terus turun kebawah. "Kau akan aku bebaskan asalkan dengan ini jaminannya." Wijaya memasukkan satu jarinya pada area bawah Rania. Rania yang belum siap terkejut mendesah nyaring, berpegangan pada kedua bahu Wijaya merasakan area intimnya yang basah. "Kita lanjutkan di kamar mandi." bisik Wijaya mengangkat Rania dalam gendongannya. --- Merebahkan seluruh tubuhnya diatas tempat tidur, memejamkan mata kembali teringat hubungan haramnya bersama Wijaya tadi siang. Rania menutup mulutnya dengan bantal dan mengeluarkan teriakannya meluapkan kemarahan. "Bagaimana aku bisa berhubungan lagi dengan laki-laki itu. Aku hanya ingin membunuhnya, membunuhnya." Seakan tahu tangisannya kini hanya berujung sia-sia. Rania mencoba tenang dan menganggap kejadian itu adalah kecelakaan. Salahnya sendiri kenapa masuk dalam selimut bukannya kabur. "Bodoh, benar-benar bodoh." "Siapa yang bodoh?" "Dara." Rania terkejut melihat kepala Dara yang menyembul dibalik pintu kamar. "Maaf Rania, aku tidak sengaja. Tadi ingin mengetuk pintu tapi aku lihat pintu kamarmu sudah terbuka dan lihat kamu pukul-pukul kepala, aku khawatir." Rania menghembuskan nafasnya, sepertinya ia harus lebih waspada untuk berbicara apapun tentang Wijaya atau keluarga laki-laki itu, karena bisa saja orang lain mendengar dan merusak semua rencananya selama ini. "Aku tak apa. Kenapa kau kesini?" tanya Rania melihat Dara yang masih mengenakan seragamnya. "Tuan Wijaya meminta untuk membersihkan kamarnya Tuan dan Nyonya. Semua pelayan sedang sibuk dengan pekerjaan mereka jadi Ibu kepala menyuruh aku untuk memanggilmu." "Apa? aku yang membersihkan." "Sepertinya begitu, karena hanya kau sisa pelayan wanita disini, pelayan laki-laki tidak diperbolehkan masuk ke kamar Tuan Wijaya apalagi membersihkannya, itu sudah tugas pelayan wanita." jelas Dara. "Jadi bagaimana?" Rania mengutuk Wijaya dalam hatinya, kenapa siang tadi juga harus bermain diatas tempat tidur. Pada akhirnya yang membersihkan harus dirinya, meskipun Wijaya tidak tahu jika wanita itu adalah Rania namun, tetap saja hal itu sangat memalukan. "Rania, kenapa melamun? cepatlah temui Ibu kepala." "Oke. Aku akan menyusul, aku pakai seragam dulu. Kau duluan saja." "Baiklah. Cepatlah sedikit ya." Rania tersenyum menganggukkan kepalanya pada Dara yang kemudian berlalu meninggalkan kamar Rania. Rania meremas rambutnya, menyesali perbuatannya dan berakhir dia memalukan diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD