CHAPTER 6: Tirani

1187 Words
Rania berjalan cepat menuju mansion, setelah memohon kepada Wijaya untuk melepaskannya, akhirnya Rania bisa terbebas dan kini ia bersiap untuk kembali bekerja. "Aduh..!" Rania meringis, melihat pergelangan tangannya yang ditarik kuat oleh seseorang. "Kemana saja kau semalam, tidak tahukah peraturan jika kau melanggar hukuman." ucap suara yang sangat dikenal oleh Rania. "Aku berada di depan semalaman, apa kau tidak lihat?" "Bohong. Kau pikir aku bisa dibodohi olehmu dengan mudah. Ikut aku.." "Tidak, lepaskan aku. Bagaimana jika Tuan Wijaya tahu tentang ini, aku yakin kau pasti dengan cepat akan ditendang dari rumah ini." "Berani sekali pelayan rendahan sepertimu mengadu pada Tuan Wijaya. Aku tidak takut pada ancaman yang kau katakan itu. Ayo, ikut." Rania berusaha melepaskan tangannya dari Ibu kepala tersebut. Karena memaksa akhirnya tangan Rania terluka, wajahnya memerah menahan rasa kesalnya, menatap wajah wanita tua yang sangat angkuh itu. "Ada apa ini? kalian berani membuat keributan di rumahku." "Tuan Wijaya. Saya hanya memberikan hukuman pada pelayan rendahan ini." Wijaya berjalan menuju pada Rania dan Ibu kepala, dibelakang laki-laki itu terlihat Laura yang sedang menggendong bayi perempuan ikut bergabung bersama Wijaya. "Rumah saya bukan tempat kalian bertengkar, jika ingin beradu kekuatan silakan diluar saya akan dengan senang hati menontonnya." "Tadi malam ada keributan apa karena kalian juga?" Laura bertanya menatap pada Rania dengan intens. "Bukan saya Nyonya. Lebih tepatnya karena wanita ini." Ibu kepala menunjuk pada Rania, membuat Rania mengernyit tidak sengaja langsung melihat pada Wijaya. "Dengar, siapa saja yang membuat keputusan tanpa izin dari saya, akan mendapatkan hukuman yang setimpal." Rania tersenyum lebar, melihat reaksi Ibu kepala yang terlihat kesal karena rencananya untuk terus menghukum Rania kini tidak bisa lagi ia lakukan. "Apalagi yang kalian lakukan disini. Kembalilah bekerja." "Baik Nyonya." Rania membungkukkan badannya, tersenyum dan mengusapkan tangannya pada bahu Wijaya saat berlalu melewati laki-laki itu. Wijaya hanya diam tidak menampilkan reaksinya terhadap perbuatan Rania. Laura yang melihat hal itu menjadi curiga kepada Rania, apalagi setelah melihat wajah Wijaya yang tampak baik-baik saja, sama sekali tidak terganggu padahal saat awal pertama Rania masuk bekerja Wijaya memperingatkan agar Laura memperhatikan Rania supaya tidak mengganggunya. Sekarang malah sebaliknya berbeda. "Wijaya, ada apa?" Laura menatap Wijaya dengan tajam, sesaat kepergian Rania hanya meninggalkan mereka berdua. "Kenapa kau bertanya. Sebaiknya kau perhatikan lagi pelayan-pelayan di rumah ini termasuk kepala pelayan wanita, aku tidak suka jika orang lain memutuskan keinginan mereka tanpa persetujuan dariku. Atau kau tahu sendiri apa yang akan aku lakukan." "Tapi ini hanya masalah kecil, perdebatan antara pelayan sering terjadi, bukan." "Laura, jika kau tidak setuju sebaiknya kembali pulang ke rumah orangtuamu. Aku berhak memutuskan apapun itu di rumahku sendiri." "Sepertinya kau bukan Wijaya yang aku kenal. Begini sikapmu pada seorang istri. Jangan-jangan kau punya hubungan dengan pelayan itu, dengan Rania." "Jaga mulutmu, jangan sampai aku merobeknya." Wijaya berlalu pergi meninggalkan Laura, wanita itu memejamkan mata bersama kepalan tangannya dan menatap kepergian Wijaya. "Rania, siapa kau sebenarnya?" tanya Laura dengan ekspresi marah menyebut nama Rania. Sedangkan Rania yang berada dibalik dinding dan mendengar perdebatan dari pasangan tersebut hanya tertawa senang. Baginya pertengkaran antara Wijaya dan Laura adalah pertunjukan yang sangat sempurna di pagi hari ini. Rania kemudian berjalan menjauh dari rumah Wijaya, hendak melanjutkannya pekerjaan bersama pelayan lainnya. "Apa kalian mendengar keributan tadi malam?" "Iya, aku juga mendengarnya. Bahkan kamarku diketuk keras oleh seseorang sampai aku terbangun." "Aku keluar kamar dan melihat pelayan laki-laki diluar, mereka bertanya tentang Rania yang dihukum oleh ibu kepala." "Rania, apa kau tidak apa-apa? semua pelayan membicarakan tentangmu." Dara menatap Rania yang duduk tepat didepannya itu. Sekarang sedang jam makan siang jadi semua pelayan berkumpul diruang makan khusus untuk semua pelayan. "Tidak apa-apa, itu hak mereka mau membicarakan siapa saja." "Tapi apa kau benar-benar dihukum oleh ibu kepala? apa tidak sebaiknya kau istirahat saja tidak usah bekerja hari ini." "Jika aku tidak bekerja maka dia akan memberikan hukuman padaku lagi. Sudah, aku baik-baik saja." Rania tersenyum menggenggam tangan Dara, wanita yang sekarang menjadi temannya itu terlihat khawatir. Melihat Rania yang tersenyum akhirnya Dara pun ikut tersenyum. "Apa pekerjaanmu setelah ini?" tanya Rania setelah mereka menyelesaikan makan siang. "Seperti biasa, menyiapkan makan siang untuk Tuan dan Nyonya. Makanya kita disuruh makan siang lebih awal agar tidak menunda pekerjaan berikutnya." jawab Dara. Kedua wanita itu berjalan menuju ke arah rumah Wijaya. "Kalau kau, apa ada pekerjaan tambahan hari ini?" "Iya, wanita itu menyuruhku untuk berkebun, memindahkan tanaman di dalam pot besar yang ada di samping gudang ke taman belakang rumah Tuan Wijaya." "Serius. Itu banyak sekali Rania, ada ratusan tanaman didalam pot. Kenapa ibu kepala sangat tidak adil padamu." "Mungkin karena aku masih pelayan baru jadi dia memberikan lebih banyak pelajaran untukku." "Tidak mungkin. Sejak pertama kau bekerja dia sudah terlihat tidak menyukaimu. Aku bisa melihat dari wajahnya yang sudah keriput itu." Rania tertawa menggelengkan kepalanya, mendengar Dara yang menyebut wajah ibu kepala keriput, dan itu benar wanita itu bahkan sudah berusia 60 tahun. Rania telah banyak mengetahui tentang wanita tersebut, tentu saja dari Dara. Temannya yang sangat membantu Rania dalam menggali semua informasi yang ada di dalam rumah Wijaya. Anggap saja Rania memang memanfaatkan Dara. Tapi dia tidak akan melibatkan Dara dalam permasalahannya, Rania hanya menginginkan Dara untuk menemaninya selama di rumah tersebut dan menjadi sumber informasinya. Dari kejauhan Rania melihat Wijaya yang sedang bersama dengan Laura, ada beberapa orang lain diantara mereka. Mereka semua tampak asik mengobrol dan tertawa bersama, saat Wijaya melangkah menjauh dari Laura dan orang-orang tersebut. Rania berinisiatif ingin mengikuti Wijaya. "Rania, aku akan masuk dulu untuk bekerja. Kau juga ya, semangat bekerja. Jika pekerjaanku selesai lebih awal, aku akan membantumu dibelakang. Dahh." Dara melambaikan tangannya kepada Rania dan dibalas juga dengan lambaian tangan oleh Rania. Memastikan Dara sudah masuk ke dalam rumah, Rania kemudian melihat pada Laura yang masih sibuk berbicara dengan orang-orang yang Rania tidak kenal mereka siapa. Berjalan perlahan-lahan menuju kemana Wijaya sebelumnya pergi. Kedua mata Rania membulat saat menatap Wijaya yang berada dihadapannya. Buka karena Rania ketahuan mengikuti laki-laki itu, namun sesuatu yang Rania lihat lebih mengerikan daripada ketahuan oleh Wijaya. "Buang jasadnya, dan berikan laporan palsu bahwa terjadi kecelakaan." "Baik Tuan." Wijaya melepaskan sarung tangannya yang penuh cairan merah lalu melemparkan pada tubuh seorang pria yang kini sudah menjadi jasad dan berlumuran darah didepan kakinya. Mengambil handphone dibalik saku jaketnya, Wijaya berjalan menjauh sembari berbicara pada seseorang ditelepon. "Pria itu melawan, jadi aku membunuhnya. Semua bukti bahwa istrimu berselingkuh dengannya dan berkas pemindahan harta kepada anaknya sudah aku pindahkan atas namamu, setelah mengecek email segera kirimkan uangnya." Rania menutup mulutnya hampir berteriak. Rupanya pekerjaan Wijaya yang selama ini tidak diketahui olehnya adalah seorang agen mata-mata, bukan sekedar mencari informasi rahasia, Wijaya bahkan berani membunuh target dari kliennya jika ia merasa kesulitan mengatasi orang-orang yang dianggap Wijaya sangat cerewet dan bodoh. "Ternyata kau adalah mata-mata, Wijaya." gumam Rania, dirinya merasa ketakutan saat mengetahui satu kebenaran itu, bisa saja Wijaya mencari tahu informasi tentangnya dan Wijaya mengetahui bahwa Rania adalah Rania Marwan, kekasih lama yang dibuang oleh laki-laki itu. "Tidak, selama aku tidak gegabah dan tetap tenang, Wijaya tidak akan tahu siapa aku." yakinkan Rania pada dirinya. "Rania, apa yang kau lakukan disini?" Rania terkejut membalikkan badannya dan menatap Wijaya yang sudah berdiri dibelakangnya itu dengan senyuman lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD