CHAPTER 2: Keluarga Wijaya

1530 Words
"Selamat menikmati makan malam, Tuan dan Nyonya." Rania membungkukkan badannya, setelah menyiapkan semua makanan di atas meja. Memberi salam kepada Wijaya dan juga istrinya, tidak lupa Rania tetap melayani tamu dari keluarga tersebut. "Tuan Wijaya sangat pintar dalam memilih pelayan. Siapa namamu Nona?" seorang pria menatap Rania, mengambil tangan dan mencium punggung tangan Rania. Jika tidak menghargai keputusannya untuk bekerja sebagai pelayan, Rania sudah menampar wajah dekil itu, sangat menjijikkan. "Rania, Tuan." "Rania, nama yang manis." tukasnya sembari tersenyum. "Dia hanya pelayan, Tuan Lukas. Rania, jika pekerjaanmu sudah selesai silakan kembali." ucap wanita yang duduk disebelah Wijaya. "Baik Nyonya." Rania membungkuk sebentar, ia kemudian berjalan menjauh kembali ke dapur. "Jangan terlalu keras Nyonya Laura. Saya lihat Rania tidak begitu tertarik dengan suami anda." "Lukas." "Bisakah kalian berdua diam, malam ini kita merayakan ulang tahu Ibu, jangan merusak suasana." tegur Wijaya pada akhirnya membuat semua orang terdiam. "Sato, aku dengar tanah yang ada di Utara akan kau jual, benarkah?" Sato Wijaya, adik dari Wijaya Fatwa yang sejak tadi tak berminat untuk bergabung dalam pembicaraan mereka hanya mengangguk samar. "Sato tidak pernah sukses dalam berbisnis, pada akhirnya hanya mengandalkan hasil penjualan tanah." timpal Lukas lalu tertawa. Sato meremas kuat tangannya, jika bukan karena bantuannya secara diam-diam usaha yang Lukas jalankan tidak akan berhasil hingga sekarang. "Jaga mulutmu itu Lukas, jika bukan aku.." "Sato. Pertemuan dengan anak perempuan presiden akan dilaksanakan dua minggu lagi, persiapkan dirimu." Wijaya memandang pada adiknya itu dengan tatapan lurus. Dia tahu Sato merasa kesal namun Wijaya tidak akan membiarkan Lukas menarik investasinya dari perusahaan Group Tirta, hanya karena keegoisan adiknya. "Aku sudah selesai makan." Sato meninggalkan meja makan, semua orang menatap padanya dengan pandangan remeh. "Sangat berbeda sepertimu, Wijaya. Sato itu benar-benar anak durhaka, asal kau tahu lima hari lalu dia mencoba memasukkan obat depresi pada minuman ayahmu, hanya karena tidak memenuhi keinginannya untuk melanjutkan proyek di Andalas. Padahal proyek itu sudah menjadi tanggung jawab Gabriel." "Benar Kak, jika aku tidak memergoki dia. Pasti sekarang ayah sudah masuk dalam jebakannya." sambung Gabriel adik bungsu Wijaya menimpali ucapan wanita yang bernama Hamidah. "Sayang, kau harus memberi nasihat pada Sato. Dia hanya mendengarkan bila kau yang berbicara." "Iya nak. Laura benar." "Baik, nanti aku bicara padanya. Kita selesaikan dulu makan malam dan cepat istirahat." Mereka semua mengangguk dan melanjutkan makan malam. Dibalik tembok dapur senyuman sinis terpatri dibibir Rania, wanita itu belum kembali ke mansion. Dia sengaja mendengarkan pembicaraan keluarga Wijaya itu walau tidak terlalu jelas tapi pastinya Rania kini tahu bahwa dulu semua orang memang menginginkan dirinya untuk mati, termasuk sahabatnya sendiri, Laura Benjamin. "Lihat saja sejauh mana keluarga sempurna ini akan bertahan." ucap Rania menggenggam sendok ditangannya dengan kuat. "Rania, kau masih disini?" Rania tersenyum singkat melihat Dara yang berjalan menghampirinya. "Hai Dara." "Kau tidak istirahat, setelah ini aku yang bertugas membereskan makan malam Tuan dan Nyonya. Kau pergilah istirahat, pasti lelah sekali mengerjakan banyak pekerjaan di awal." "Kau memang mengerti aku Dara. Aku pergi ke mansion dulu." Rania melepaskan celemek ditubuhnya dan meletakkan di atas meja dapur. Dara tersenyum mendorong Rania untuk bergegas menuju mansion, sebelum seseorang melihat mereka. Karena jika pekerjaan pelayan sebelumnya telah selesai, maka dilanjutkan oleh pelayan selanjutnya, pelayan sebelumnya tidak boleh berada ditempat yang sama dengan pekerjaan pelayan lain jika tidak mau mendapat masalah, kecuali atas perintah ketua pelayan yang mengizinkan 2 orang sekaligus mengerjakan pekerjaan, seperti tugas Rania memasak dibantu oleh Dara, setelah selesai memasak Dara harus kembali ke pekerjaannya atau beristirahat, sisa pekerjaan yang lain adalah tugas Rania hingga pelayan selanjutnya menggantikan tugasnya. Rania tiba di kamarnya, mengunci pintu dan berbaring di kasurnya. Mata birunya memandang langit-langit kamar, melihat Laura yang tertawa bahagia seperti tidak merasa bersalah atau memang hanya pura-pura. Sama halnya dengan Wijaya, laki-laki itu seperti tidak mempunyai dosa, kejahatannya pada Rania masih membekas dalam ingatan Rania, sedikitpun tidak terlewati mulai dari pembunuhan berencana atas kedua orangtuanya, seluruh harta keluarga Marwan dengan bangga mereka alihkan untuk kesuksesan keluarga Wijaya, dan harga diri Rania, amarah itu tidak bisa Rania tahan jika dia tidak menunggu untuk memulihkan diri maka sudah sejak dulu Rania membalaskan dendamnya. Suara handphone berdering membuat Rania terkejut, menghembuskan nafas ringan ia lalu mengambil handphone dan menjawab panggilan dari seseorang itu. "Terima kasih banyak kak. Beritahu saja penjaga bahwa itu adalah kiriman pakaian untuk pelayan Rania dari orangtuanya, jangan sampai mereka mengetahui identitas dirimu." "Tidak, mereka tidak akan curiga. Aku masih bermain halus." "Baiklah, aku menyayangimu." Rania tersenyum, kakaknya itu selalu saja mengkhawatirkan dirinya, satu lagi penyelamat hidup Rania, entah bagaimana dia akan membalas budi seseorang tersebut. Rania menyimpan kembali handphonenya, terlalu lelah tidak sadar ia berbaring hingga tertidur diatas kasur. "Tidak..! tolong, jangan.. tidak..!!" Rania bermimpi buruk, keringat bercucuran diwajahnya. Segera mengambil minum dan menenangkan pikirannya, Rania mencoba memejamkan mata, lalu air matanya pun terjatuh dari pipinya tidak sanggup menahan lagi. Sakit sekali jika membayangkan bagaimana Wijaya menyiksanya, padahal seluruh perasaan bahkan kepercayaan Rania berikan pada laki-laki itu. Tapi tanpa alasan Wijaya membencinya bahkan ingin membunuhnya. Sekarang Wijaya bahkan hidup penuh dengan kemewahan, sedangkan Rania hanya sebatas pelayan di rumah keluarga Wijaya saja. "Aku akan membalas perbuatan yang kamu lakukan padaku, Wijaya." "Tidak akan aku maafkan..!" --- Rania keluar dari kamar, menghampiri beberapa pelayan yang sibuk menyantap sarapan mereka di meja makan. "Rania, ayo bergabung bersama kami." Dara menarik tangan Rania bersama duduk di meja makan. "Rania, kami dengar kemaren kau digoda oleh Tuan Lukas. Kalau kami menjadi dirimu, tentu tidak akan menolak. Jarang sekali membuat Tuan Lukas tertarik pada pelayan seperti kita. Benarkan semua?" ucap salah satu pelayan yang kemudian mendapat anggukan kepala oleh pelayan lainnya. Rania hanya tersenyum tipis, menghiraukan pendapat mereka. "Sudahlah, jangan bergosip tentang keluarga Wijaya. Kalau terdengar Nyonya kita bisa mendapatkan masalah." sahut Dara ketika melihat wajah Rania yang tidak nyaman. "Rania, kau ikut aku berbelanja di pasar hari ini. Tadi Ibu kepala sudah bilang kepadaku untuk memberitahu kamu." "Belanja dimana?" "Keluarga Wijaya punya pasar sendiri, perjalanan sekitar 2 jam, kau tidak apa-apa kan?" "Aku baik-baik saja. Aku ikut denganmu." Dara tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka semua melanjutkan sarapan pagi sebelum memulai aktivitas berat hingga malam hari. "Dara, berapa lama kau sudah bekerja dengan keluarga Wijaya?" tanya Rania, mereka berdua sudah berada di mobil untuk perjalanan menuju pasar. "Belum lama, aku sama saja sepertimu orang baru, dan masuk beberapa bulan yang lalu." jawab Dara. "Kau tahu tentang keluarga Wijaya, maksudku seperti apa mereka?" "Aku tidak begitu tahu tapi dari beberapa rumor, keluarga Wijaya adalah keluarga terpandang dan dihormati seluruh dunia, siapa yang tidak mengenal Arta Wijaya dan Hamidah, ayah dan ibu Tuan Wijaya Fatwa, memiliki tiga anak, pertama Tuan Wijaya, kedua Sato Wijaya dan ketiga anak perempuan mereka Gabriel Wijaya. Ketiganya memiliki bisnis masing-masing yang sukses di seluruh dunia. Oh iya di hari pertamamu datang Tuan Wijaya baru saja mengadakan perayaan karena perusahaan Group Tirta masuk dalam jaringan internasional nomor 2 di dunia, dan juga menyambut anaknya yang baru saja lahir dari Nyonya Laura Benjamin, istrinya Tuan Wijaya Fatwa." "Begitu ya, apa tidak ada rumor jelek tentang keluarga mereka?" "Selama aku bekerja sepertinya tidak ada. Keluarga Wijaya benar-benar menjaga kehormatan mereka. Kenapa kau bertanya, Rania?" "Ohhh, aku hanya penasaran. Karena tadi malam.." "Kau tidak usah memikirkan Tuan Lukas, dia memang laki-laki yang suka menggoda bahkan sudah pernah menikah lima kali. Tapi tidak pernah berhasil." Rania menganggukkan kepalanya, melihat pada jalan raya. Masih banyak teka-teki pertanyaan yang belum Rania dapatkan, sepertinya dia harus menanyakan pada orang yang memang sudah lama bekerja didalam keluarga Wijaya. "Kita sudah sampai di pasar. Kita harus berpisah jika ingin cepat selesai." Dara memberikan keranjang ditangan Rania. "Tapi, aku tidak tahu jalannya." "Benar juga. Begini saja, kau berjalan lurus belilah sayur dan buah-buahan, apa yang kau lihat beli saja. Jika sudah diujung pasar, kembali lagi kesini, lihat palang hijau di pohon ini, disini kita bertemu lagi." ucap Dara menepuk bahu Rania, menyakinkan Rania kemudian menunjuk pada pohon disebelah mobil yang membawa mereka tadi. Rania mengangguk kecil. Berjalan lurus sambil membawa keranjang ditangannya. Rania meletakkan buah anggur didalam keranjang bersama buah dan sayur lainnya. Pasar tersebut memang milik Keluarga Wijaya, saat pedagang melihat seragam Rania mereka seakan sudah tahu kalau Rania adalah pelayan dari keluarga Wijaya dan mereka juga tahu sayur dan buah-buahan apa yang seharusnya berada di rumah tersebut. Rania membalikkan badannya hendak kembali menuju ke arah mobil. Tapi sesuatu yang ada didepannya lantas membuatnya menghentikan langkah. "Apa panen bulan ini mengalami kenaikan?" "Semestinya begitu Tuan Sato, tapi entah bagaimana beberapa buah bahkan tidak bisa kami petik karena sudah jatuh dari pohonnya dan membusuk." jawab salah satu pedagang kepada Sato yang duduk didepan tendanya. "Selidiki, siapa yang berani mengusikku." "Baik Tuan, kepala pasar sudah mengetahui sekarang sedang dalam perjalanan menemui petuah untuk mencari tahu seseorang itu." "Bagus." Sato membalikkan badannya, mengernyit ketika menatap Rania yang ternyata masih berdiri ditempatnya itu. "Bukankah kau salah satu pelayan di rumah Wijaya?" tanya Sato saat sudah berada didepan Rania. "Benar Tuan. Saya bertugas untuk berbelanja di pasar." jawab Rania tanpa menatap pada Sato. "Aku ingat dirimu, kau yang menggoda Lukas tadi malam." "Apa tidak terbalik? Tuan Lukas lah yang menggodaku." "Ternyata kau memiliki cukup keberanian untuk menjawab." Rania mengangkat wajahnya, kedua bola mata mereka lantas bertemu. Sato merasakan aneh saat menatap mata Rania yang menurutnya sangat tidak asing. Seperti pernah mengenal sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD