CHAPTER 9: Pesta Tengah Malam

1111 Words
"Kau yakin aku bisa ikut?" tanya Dara yang melihat ke arah Rania. Kedua wanita yang sebentar lagi akan mengikuti pesta tengah malam itu masih mempersiapkan diri mereka, seperti berganti baju dan menata rambut. "Aku sudah bicara dengan Tuan Wijaya. Dia bilang aku bisa mengajak satu pelayan untuk menemaniku." "Jadi kau memilihku?" "Tentu saja Dara. Hanya kau yang dekat denganku, setelah malam ini aku jadi bisa mengenali karakter pelayan lain, mereka hanya baik didepan, tapi menggunjing aku dibelakang." "Sabar saja. Mereka hanya terlalu berharap padahal yang mengatur adalah Tuan dan Nyonya, seharusnya mereka protes pada majikan jangan padamu. Memangnya kau yang meminta untuk dipilih." Dara melipat tangannya menatap sedih pada Rania. Rania hanya tersenyum menjawab ucapan Dara. Seandainya Dara tahu bahwa memang Rania yang meminta apakah sikapnya akan berbeda dari sekarang. Sepanjang jalan menuju gedung pesta yang berada diujung tak jauh dari mansion, Rania hanya diam sesekali menanggapi ucapan Dara. "Kelihatan sepi banget, Rania. Beneran disini pestanya?" Rania menatap bangunan yang tidak kalah besar dari mansion, tidak adanya tanda aktivitas apapun dari dalam bahkan pesta yang seharusnya ada alunan musik itu sama sekali tidak terdengar. "Menurut yang tertulis diundangkan, pesta tengah malam diadakan disini, kau juga membacanya kan." Dara menganggukkan kepala. "Kita masuk saja, mungkin pestanya diadakan seperti ini, tanpa adanya kebisingan." "Oke. Ayo." "Nah, tamu penting kita tahun ini sudah datang.." Lukas berdiri menghampiri Rania dan Dara yang baru masuk ke dalam ruangan setelah menyusuri setiap ruangan di dalam gedung tersebut, akhirnya menemukan tempat dimana pesta tengah malam diadakan. Tidak terlihat seorang wanita, kebanyakan dari tamu-tamu didominasi oleh laki-laki, tentu saja dengan pangkat tinggi mereka yang fantastis. "Rania, kita bertemu lagi. Sepertinya sudah sangat sering, apakah ini yang dinamakan jodoh ditangan takdir." ucap Lukas tersenyum lebar. Rania tidak berbicara, hanya mengangguk kecil menatap kepada Lukas yang sangat membuatnya muak dengan kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki tua tersebut. "Tuan Wijaya di mana?" tanya Rania melirik ke segala arah mencari Wijaya, tak melihat keberadaan tuan rumah itu. "Oh, kau mencari Wijaya. Ada, tapi sekarang dia sedang sibuk bermain. Lebih baik kau duduk dulu bersamaku, tidak pegal berdiri." "Rania, ayo kita duduk." Dara menarik tangan Rania, membawa mereka untuk duduk di sofa kecil yang berada diujung, jauh dari kumpulan laki-laki yang sudah duduk di sofa bagian tengah. "Rania, kenapa kau mencari Tuan Wijaya?" tanya Dara sesaat mereka sudah berpindah duduk. "Hanya mau menyapa saja, karena Tuan Wijaya yang mengundang kita." katanya pada Dara. "Begitu ya, benar juga setidaknya kita bisa ucapkan terima kasih pada Tuan Wijaya." Rania mengangguk, berpaling dari Dara untuk melihat sekeliling ruangan. Rania menatap ke arah bawah tangga, Wijaya yang sedang asik dengan tamunya, dia tidak sadar bahwa Rania sedang menatap tajam tanpa adanya ekspresi yang bisa ditebak. --- "Tuan-tuan, boleh ikut bergabung?" Rania menghampiri Wijaya dan tamunya, ikut berdiri disana perlahan mengambil minuman ditangan Wijaya dan meminum di gelas yang sama dengan Wijaya. "Ahh, pelayan wanita yang terpilih malam ini. Tuan Wijaya, anda sangat selektif dalam memilih putrinya, pesta tengah malam ini tidak akan terasa membosankan jika ada wanita cantik seperti ini." ungkap salah satu laki-laki berkepala plontos yang berada di depan Rania. Rania kemudian tersenyum menanggapinya dengan santai, lain halnya dengan wajah Wijaya yang terlihat mengeras apalagi melihat punggung belakang Rania yang terekspos sampai pada pinggulnya, membuat wanita itu semakin seksi dan menggoda di matanya. Rania mengambil minuman lagi yang kebetulan berada didekatnya. Dia minum sampai tidak sadar sudah banyak meneguk minuman tersebut hingga membuatnya sedikit mabuk. "Sudah, kau sudah terlalu banyak minum Rania. Nanti kau mabuk." Wijaya mengambil gelas ditangan Rania yang akan diminum lagi oleh wanita itu. "Tidak, aku tidak akan mabuk. Aku kuat, Tuan." kata Rania yang memaksa untuk mengambil gelas di tangan Wijaya. "Rania." Wijaya meraih pinggang Rania mendekatkan wanita itu pada tubuhnya. "Tuan Wijaya, silakan bergabung untuk minum bersama Bapak Walikota. Sudah ditunggu di ruangan." pelayan laki-laki yang menghampiri Wijaya dan memberitahunya, membuat Wijaya bingung hendak meninggalkan Rania apalagi wanita itu sekarang sudah mabuk. "Baiklah, saya minta kau bawa Rania ke kamar saya diatas, kunci pintunya jangan sampai dia keluar karena wanita ini sedang mabuk, jangan sampai membuat masalah di pestanya." "Baik Tuan." Wijaya menyerahkan Rania pada pelayan tersebut, sebenarnya Wijaya tidak rela wanitanya itu disentuh oleh laki-laki lain namun, sekarang ia harus menghampiri walikota demi keberlangsungan bisnisnya di masa depan. "Pergi. Tidak, kamu ngapain. Wijaya kamu itu orangnya menyebalkan." Rania sangat mabuk sampai berbicara seenaknya. Mengusap wajah pelayan laki-laki itu melihatnya sebagai Wijaya. Pelayan tersebut hendak berjalan menuju lantai atas, tapi langkahnya terhenti saat Sato datang dan langsung merebut Rania ke tangannya. "Kemana kau akan bawa dia? berani sekali." ucap Sato, kedua matanya menyiratkan kemarahan. "Tidak Tuan Sato. Saya hanya disuruh oleh Tuan Wijaya, karena wanita itu sudah mabuk." dengan tangan bergetar pelayan laki-laki itu menjelaskan pada Sato. "Pergi. Jangan sampai aku melihatmu menyentuhnya lagi dengan tangan kotor milikmu itu." Pelayan tersebut segera berlalu pergi ketakutan. Dia pikir Sato tidak memperhatikan sedari tadi, bahwa tangan pelayan itu sangat berani masuk ke dalam gaun bagian belakang Rania yang tanpa penutup. "Kenapa kau berpakaian seperti ini? aku akan membakarnya nanti." Sato melepaskan jas miliknya, menutupi tubuh belakang Rania dan mengangkat kedalam gendongannya untuk dibawa ke lantai atas. Sato membaringkan Rania diatas tempat tidur, menyelimuti tubuh wanita itu dengan pelan-pelan. Ketika akan beranjak, Sato merasakan Rania yang gelisah dalam tidurnya, keringat dari wajah Rania sudah menetes deras hingga membasahi lehernya. "Kenapa Rania, kau kenapa?" Tiba-tiba Rania menangis, tubuhnya bergetar dan tangan yang menggenggam erat lengan Sato hingga membuat Sato meringis karena terkena goresan kuku Rania. Rania terbangun, kedua matanya menatap langit kamar. Kemudian menoleh ke arah Sato yang masih melihatnya dengan serius. "Kau tahu. Dia bilang akan selalu menyayangi aku, mencintaiku, tapi itu semua hanya kebohongan dari mulutnya, dibelakang aku dia telah menjalin hubungan dengan sahabatku sendiri. Aku sangat membencinya, laki-laki itu brengsek." kata Rania masih menangis. Sato tidak bereaksi apapun, menyimpulkan bahwa kehidupan Rania sepertinya sangat menyedihkan dan penuh dengan luka mendalam. Tersirat dari sorotan kedua mata Rania yang penuh dengan Kebencian dan juga dendam. *** Wijaya yang sejak tadi berada di ruangan bersama petinggi lain baru menyadari tentang Rania. Segera Wijaya berdiri berpamitan untuk keluar sebentar. "Sebentar, saya permisi dulu." kata Wijaya pada tamunya. Melihat ke arah pelayan laki-laki yang sebelumnya dia minta tolong untuk membawa Rania. Wijaya menghampiri pelayan tersebut. "Kau sudah membawanya ke kamar saya?" "Tuan Wijaya, mohon maaf Tuan. Tadi saya mau bawa ke kamar atas tapi saya dicegah oleh Tuan Sato, wanita itu dibawa oleh Tuan Sato." "Sato? ada masalah apa dia dengan Rania. Sudahlah, kembali bekerja." Wijaya berjalan menaiki tangga menuju kamar atas, melihat pintu kamarnya yang tidak tertutup beserta punggung belakang seseorang yang sangat Wijaya kenali, sedang duduk menghadap pada wanita yang berbaring di atas kasur. "Sato."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD