Fasilitas mewah untuk Abian

1777 Words
Mereka menempuh perjalanan selama hampir tiga puluh menit lamanya. Akhirnya, mobil mewah Arsen berhenti tepat di depan sebuah butik mewah. Pemilik butik tampak sudah menunggu kedatangan mereka. “Arsen, ayo masuk. Aku sudah menyiapkan gaun bagus seperti yang kamu minta.” Seorang wanita muda dengan usia yang tidak terlalu jauh dengan Bianca menyambut kedatangan mereka. Wanita cantik dengan postur tubuh seratus tujuh puluh lima itu terlihat sangat ramah dan juga baik. “Terima kasih, Elmar.” Arsen tersenyum kepada Elmar. “Pilihlah gaun mana yang kamu suka, Bia,” ucap Arsen kepada Bianca. Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya dengan patuh. “Ayo masuk,” Wanita itu menatap Bianca dengan mulut yang masih terbuka. “Bianca, Mbak,” jawab Bianca untuk menyambung ucapan Elmar dengan tersenyum manis. Mereka pun masuk ke dalam butik. Bola mata Bianca melebar saat memperhatikan beberapa buah gaun yang terpajang dengan sangat indah. Tangan kurusnya bergerak menyentuh label harga yang ada di patung tersebut. Jantung Bianca berdebar dengan sangat kencang saat melihat harga gaun yang melebihi dari satu tahun gajinya itu. Bianca lantas berjalan melihat gaun yang lain. Tujuan utamanya adalah melihat harga gaun. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar saat melihat semua harga gaun di butik tersebut sangat mahal. “Kamu mau yang mana?” tanya Arsen setelah melihat Bianca yang dari tadi hanya melihat label harga saja. “Tidak ada yang aku suka. Kita cari di tempat lain saja, yuk,” bisik Bianca dengan suara yang sangat pelan di telinga Arsen. “Hah? Jangan bercanda, Bia. Gaun sebagus ini kamu tidak suka? Pilihannya juga banyak kok. Jangan membuatku capek berkeliling mencari gaun yang kamu inginkan.” Arsen mengucapkan kalimat tersebut dengan penekanan di setiap katanya. Pandangan matanya menatap bola mata indah milik Bianca dengan tajam. “Tetapi, harganya terlalu mahal,” ucap Bianca dengan menoleh ke arah Elmar yang sedang memasang gaun baru di sebuah etalase kaca. “Aku yang bayar. Gaji kamu tidak akan dipotong untuk gaun ini,” jawab Arsen dengan memutar bola matanya. ‘Baru juga mau menikah, matrenya sudah kelihatan. Dasar perempuan yang tidak mau rugi,’ bisik Arsen di dalam hatinya. “Aku mau gaun yang sederhana saja.” Bianca menatap wajah Arsen dengan pandangan yang memohon. Arsen menghirup udara dengan panjang dan menghembuskannya melalui mulut secara kasar. “Bungkus gaun terbaik dari butik ini, El. Aku tidak mempunyai waktu yang banyak untuk memilih.” Bianca memegang lengan Arsen karena terkejut. Dia mencengkeram tangan pria itu dengan cukup kuat hingga meninggalkan bekas pada kulit Arsen yang putih bersih. “Jangan membantah. Atau kau sudah lupa dengan isi perjanjian yang kemarin?” Arsen terpaksa mengeluarkan jurus andalannya hingga membuat Bianca langsung diam dan patuh. Elmar yang mendengar debat panas itu hanya tertawa. Apalagi saat melihat bola mata Bianca yang melebar menatap Arsen. “Ayo, kita coba dahulu,” sahut Elmar dengan tersenyum manis kepada Bianca. “Tetapi, Mbak.” Suara Bianca seakan tercekat di kerongkongannya. Dia menatap Elmar dengan ragu. “Tidak masalah, Bia. Bukan kamu kok yang membayarnya, jadi jangan pikirkan label harganya. Itu hanya sebagai pemanis kok,” ucap Elmar seakan mengerti maksud Bianca. Elmar menggenggam tangan Bianca dan membawa wanita itu menuju sebuah pintu yang ada di samping patung. Mereka sampai di sebuah ruangan yang sangat luas dengan kaca besar di sekeliling dindingnya. “Dicoba dahulu, Bia. Mana tahu ada yang kurang cocok.” Elmar menyerahkan sebuah gaun berwarna putih ke tangan Bianca. Wanita itu menerima gaun tersebut dengan tangan yang bergetar. Rasanya dia ingin protes tetapi suaranya mendadak hilang. “Kamu terlihat sangat cantik sekali, Bia,” puji Elmar saat melihat gaun mewah itu melekat dengan sempurna di tubuh Bianca yang tergolong kurus. “Gaun ini terlalu mahal, Mbak.” Akhirnya Bianca tidak bisa menahan pikirannya. “Tidak masalah. Gaun ini belum seberapa dibandingkan dengan pendapatan Arsen selama satu bulan.” Elmar tertawa setelah mengucapkan kalimat tersebut. Di dalam hatinya dia berpikir bahwa Bianca masih sangat polos dengan barang branded yang ada di butiknya. Pemikiran Elmar juga sejalan dengan barang barang yang melekat di tubuh Bianca. Meskipun terlihat bagus tetapi harganya sangat terjangkau. Setelah selesai mencobakan gaun tersebut, mereka segera keluar dari ruangan ganti. Pandangan mata Bianca terpaku menatap Arsen yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponsel di tangannya. “Sudah selesai?” tanya Arsen dengan suara yang sangat lembut. “Sudah. Ayo pulang,” jawab Bianca yang sudah khawatir memikirkan Abian. “Baiklah.” Arsen memasukkan ponsel ke dalam saku celana yang dipakainya. Arsen berjalan mencari Elmar yang sedang membungkus gaun tadi. “Lengkap ya, El,” ucap Arsen seraya menyerahkan selembar kartu kredit kepada pemilik butik yang merupakan sahabat baiknya itu. “Baiklah. Sepertinya dia keberatan dengan gaun ini karena harganya. Bagaimana kalau aku pilihkan saja sepatunya karena takutnya dia tidak akan mau jika diminta untuk memilih serta mencobanya.” Arsen menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Elmar. Akhirnya, Elmar memilihkan sepatu yang cocok dengan gaun pengantin. Sepasang sepatu yang berwarna putih dengan aksen Swarovski. Setelah selesai dengan semuanya, akhirnya mereka keluar dari butik mewah tersebut. Arsen membawa barang belanjaan sampai ke mobil dan meletakkannya di bangku belakang. “Apa masih ada yang mau dibeli?” tanya Arsen saat mobil mewah itu sudah meluncur meninggalkan kawasan butik. “Tidak ada,” jawab Bianca dengan kepala yang menunduk lesu. “Apa ada masalah?” Arsen menoleh ke arah Bianca yang hanya diam saja dan tidak seperti biasanya yang selalu cerewet. “Ada yang ingin aku bicarakan,” sahut Bianca seraya memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Arsen yang sedang fokus menyetir. “Besok saja setelah proses nikah selesai.” Bianca menghembuskan napasnya dengan kasar. Raut kecewa terpancar jelas di wajahnya. Selanjutnya, wanita itu mengalihkan pandangannya menatap keluar melalui jendela kaca mobil yang tertutup rapat. Dua puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah sakit Arafah. Bianca berjalan duluan tanpa memikirkan Arsen lagi. Dia melangkah dengan lebar menuju ruangan Abian. Langkah kakinya terhenti saat mendengarkan suara Alex yang sedang tertawa bersama anaknya. Tanpa sadar, air matanya menetes saat melihat kebaikan orang orang yang tidak pernah dikenalnya sebelum ini. “Terima kasih, Pak,” ucap Bianca dengan membungkukkan tubuhnya. “Tidak masalah. Apa semuanya sudah selesai?” jawab Alex dengan tersenyum seraya berdiri dari tempat duduknya. “Sudah. Kamu bisa pulang duluan. Aku akan pulang dengan Bianca dan juga Abian. Oh iya, pindahkan semua barang barang yang ada di kontrakan Bianca ke apartemen malam ini.” Arsen yang baru masuk langsung memberikan perintah kepada asisten pribadinya itu. “Baik, Tuan,” jawab Alex dengan patuh. Bianca terkejut mendengar ucapan Arsen. “Aku mau bicara,” potong Bianca dengan suara yang cukup keras. “Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kita pulang sekarang. Kemasi barang barang kamu.” Arsen tidak memberikan kesempatan kepada Bianca untuk berbicara karena dia tahu wanita itu hanya akan memprotes apa yang sudah diucapkannya tadi. Mulai dari kemarin, Arsen sudah mempelajari sifat Bianca yang keras. Dia akan jauh lebih keras dari sifat wanita itu agar bisa menggenggam wanita yang telah dihancurkannya tersebut. “Sudah siap untuk pulang, boy?” sapa Arsen sambil mengusap pipi Abian dengan sayang. Perasaannya tidak bisa dibohongi bawah dia sangat bahagia bisa memiliki Abian. “Sudah, Dokter.” Abian tersenyum dengan wajah yang sangat bahagia. Mata indahnya berkilat sempurna menatap Arsen yang sangat baik dan penuh perhatian kepadanya. Abian bersyukur atas kecelakaan yang dialaminya karena melalui musibah tersebut dia bisa merasakan sosok seorang Ayah pada diri Dokter tampan tersebut. “Ayo, kita pulang sekarang,” sahut Arsen seraya berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya kepada Abian. Pria itu lantas menggendong tubuh kecil Abian. Anak kecil itu menatap Arsen dengan sangat bahagia. “Terima kasih, Dokter,” bisik Abian yang sudah membenamkan kepalanya di ceruk leher Arsen. Abian menghirup wangi parfum Arsen yang sangat lembut. Dia perlahan memejamkan matanya meresapi aroma parfum tersebut. “Sama sama,” jawab Arsen dengan tertawa pelan karena geli dengan rambut Abian yang menyentuh kulitnya. Bianca yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menatap dengan terkejut dan terharu. Air matanya menetes kembali tanpa bisa dibendungnya. “Biar aku saja yang menggendong Abi,” ucap Bianca seraya mengulurkan tangannya untuk mengambil anaknya. “Abi mau sama Dokter saja, Mommy. Abi ingin dipeluk sama Dokter meskipun bukan Daddy.” Ucapan polos anaknya membuat Bianca menghentikan langkahnya. Dia menangis dengan bahu yang tergoncang kuat. Di dalam hatinya, wanita itu tidak henti hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Semua ini karena dia yang tidak pernah bisa mengatakan siapa ayah dari Abian. Bagaimana mungkin Bianca bisa mengatakan siapa ayah biologis anaknya, sedangkan dia saja tidak pernah tahu seperti apa sosok pria yang sudah membuatnya hamil itu sekarang. Perasaan Arsen bergetar hebat mendengar ucapan polos dari Abian. Rasa bersalah itu semakin besar menghujam jantungnya. Abian mengusap dinding bagian dalam mobil saat mereka sudah sampai di dalam mobil mewah yang terpakir di halaman rumah sakit. Jari jari kecilnya yang mungil mengusap dengan pelan. Matanya berbinar melihat mobil semewah itu. “Abi belum pernah naik mobil,” ucapnya dengan polos. “Mulai sekarang Abi akan naik mobil ke mana pun. Oh iya, mulai sekarang jangan panggil Dokter lagi. Kamu boleh memanggil dengan sebutan Daddy,” sahut Arsen dengan tersenyum bahagia. Apalagi saat menoleh ke arah Bianca yang duduk di bangku penumpang. Bola mata Bianca menatap Arsen dengan melebar dan mulut yang terbuka. “Mommy,” panggil Abian seraya memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Bianca yang duduk di bangku belakang. “Iya, sayang,” jawab Bianca menganggukkan kepalanya dengan terpaksa karena tatapan Arsen yang menusuk jantungnya. Sepanjang perjalanan, Abian terlihat sangat bahagia. Dia memperhatikan semua yang ada di dalam mobil. Sesekali dia menoleh ke arah Arsen yang sedang menyetir. “Mommy, kita enggak pulang ke rumah?” tanya Abian dengan kening yang berkerut tajam menatap ke arah Bianca. “Nantik kita pulang kerumah, sayang,” jawab Bianca sambil mengusap lengan anaknya dengan sayang. “Mulai sekarang, kamu sama Mommy tinggal di sini, ya. Rumah yang lama sudah tidak dipakai lagi.” Arsen menjawab dengan cepat. “Abian mau kan, tinggal sama Daddy di sini?” Arsen menoleh ke arah Abian dan Bianca secara bergantian. “Mau, tetapi Abi harus sekolah,” jawabnya dengan ragu. Bola matanya berputar putar dengan satu tangan yang memegang dagunya seperti orang yang sedang berpikir. “Nanti sekolahnya Daddy yang antarkan setiap pagi dan untuk pulang akan ada sopir yang menjemput kamu setiap harinya,” jelas Arsen seraya menjatuhkan tubuhnya di samping Abian. “Terima kasih, Daddy,” bisik Abian seraya mengecup pipi Arsen dengan sayang. Mata Arsen berkaca kaca menatap ke arah anak kecil itu. Pikirannya menerawang jauh memikirkan semuanya. Hatinya sangat bahagia saat melihat Abian yang bisa menerima kehadirannya dengan baik. Bunga bunga indah bermekaran di dadanya. Bianca berdiri dari tempat duduknya dan menatap Arsen dengan datar, “Aku mau bicara.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD