Arsen memasuki ruangannya dengan langkah lebar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Pagi ini dia akan mengadakan meeting dengan kepala bagian cleaning service dan beberapa kepala bagian.
“Bagaimana dengan persiapan pernikahannya, Lex?”
Alex yang sedang bekerja dengan laptop yang ada di hadapannya langsung mengangkat kepalanya dengan cepat. Dia menatap ke arah Arsen yang sudah duduk di kursi kebesarannya.
“Apa kau sudah memikirkan semuanya?” tanya Alex seraya menutup pekerjaannya. Pria tampan itu berjalan menuju tempat Arsen dan duduk di kursi yang ada di hadapan Presiden Direktur Rasendra Grup itu.
“Ya. Aku sangat yakin dialah orangnya. Semoga saja semuanya memang benar demikian.” Arsen berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati kaca raksasa yang menjadi dinding pemisah ruangannya. Pikirannya masih memikirkan kejadian enam tahun yang lalu. Rasa bersalah itu begitu besar menghantam dadanya.
“Bagaimana jika ternyata bukan Bianca orangnya?” Alex terus bertanya karena dia sangat mengenal sifat Arsen yang sudah menjadi sahabat sekaligus bosnya selama puluhan tahun lamanya.
Arsen memutar tubuhnya dan menatap Alex dengan tajam.
“Aku akan tetap menikah dengannya,” jawab Arsen dengan pasti. Sedikit pun tidak terlihat keraguan di wajahnya.
“Apa kau tidak akan menyesal dengan semua pilihan ini? Bianca tidak seperti yang kau harapkan selama ini. Dia sangat jauh dari tipe wanita yang telah mewarnai kari hari kamu selama ini.” Alex mengungkapkan semua penyelidikannya terkait kehidupan Bianca. Apalagi dengan ambisi wanita itu yang hampir setiap hari mengambil lembur di kantor. Untuk apalagi dia mengambil lembur kalau bukan karena uang.
“Tidak masalah. Aku merasa bersalah karena telah menghancurkan hidupnya.” Arsen tetap dengan pendiriannya.
“Jangan menikahinya hanya karena rasa bersalah, Arsen. Tetapi pikirkan semuanya dengan teliti karena hal ini akan menjadi masalah besar nantinya.”
“Aku akan menjalaninya meskipun banyak rintangan ke depannya.” Arsen menjawab dengan pasti.
“Baiklah. Aku tidak ingin mendengar penyesalan di kemudian hari, jika penyesalan itu meluncur dari kamu. Berbeda jika penyesalan itu muncul dari Bianca nantinya, maka semua itu bisa diselesaikan dengan baik.”
Arsen menoleh ke arah Alex. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh asisten pribadinya itu. Tetapi, Presiden Direktur Rasendra Grup itu berusaha untuk mengabaikan keraguan Alex. Sebenarnya bukan hanya Alex saja yang meragukan tindakannya, tetapi dia juga merasa belum yakin seratus persen untuk menikah dengan Bianca. Tetapi saat ingatannya melayang kepada Abian dan rentetan pertanyaan anak itu yang tidak mampu di jawab oleh Bianca, maka keinginan untuk menikahi Bianca semakin besar.
“Aku mau semuanya diselesaikan dalam waktu yang cepat, Lex,” ucap Arsen seraya memutar tubuhnya menghadap ke arah Alex.
“Baiklah. Apa Abian sudah pulang?” Alex mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka.
“Sore nanti dia sudah dibolehkan pulang. Terus awasi mereka berdua. Aku tidak mau rencana pernikahan ini gagal. Apalagi Bianca, sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu untuk menolak pernikahan ini.”
“Apa tidak bisa ditunda dahulu pernikahannya sampai kamu bisa mengenal Bianca dengan baik?” Alex menatap Arsen dengan kening yang berkerut.
“Tidak bisa. Aku akan mengenalnya setelah kami menikah.”
Alex menganggukkan kepalanya dengan patuh. Di dalam hatinya dia berharap semoga Arsen tidak menyesal dengan keputusannya. Setidaknya dia sudah memberikan nasihat kepada sahabatnya itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat Bianca baru saja selesai mengemasi peralatan pekerjaannya. Sekilas wanita itu mengusap dahinya yang tampak berkeringat. Arsen yang sedang duduk di ruangannya membuka cctv. Dia mencari di mana keberadaan Bianca. Pandangan matanya berhenti menatap layar monitor saat melihat Bianca yang sedang berdiri di ruangan khusus untuk karyawan bagian cleaning service.
“Ke ruangan saya sekarang,” ucap Arsen melalui tombol yang ada di atas mejanya.
Kiara yang sedang mengemasi barang barangnya langsung berdiri saat mendengar perintah dari Presdir tampan itu.
“Tok tok tok!” Kiara mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan Presiden Direktur dengan pelan.
“Masuk!” Suara bariton dari Arsen menggema di balik pintu ruangan.
Kiara bergegas memasuki ruangan yang terasa cukup dingin tersebut.
“Sudah mau pulang, Kia?” Arsen menatap sekretarisnya itu dengan pandangan yang tidak berkedip.
“Iya, Pak. Tetapi jika masih ada tugas yang harus diselesaikan tidak apa apa kok, Pak,” jawab Kiara dengan menundukkan kepalanya.
“Hubungi karyawan yang bernama Bianca Florensia di bagian cleaning service. Suruh dia menghadap saya sekarang juga karena ada beberapa pekerjaannya yang tidak beres.”
Kiara terkejut menatap ke arah Arsen. Pikirannya mulai diselimuti rasa takut karena ternyata Presdir selalu memantau cctv untuk melihat pekerjaan karyawannya.
“Baik, Pak,” jawab Kiara dengan patuh.
“Silakan keluar.” Perintah Arsen seraya menunjuk ke arah pintu keluar.
Tanpa menunggu perintah selanjutnya, Kiara langsung bergegas keluar dan berjalan menuju lift. Gadis cantik itu langsung menuju ruangan untuk karyawan bagian cleaning service.
Bianca yang sedang berkemas terkejut saat melihat seorang wanita cantik memasuki ruangan yang hanya tinggal dia sendirian di dalamnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” sapa Bianca dengan sopan karena dia tahu siapa wanita cantik yang berdiri di hadapannya sekarang. Meskipun dia tidak mengetahui di bagian apa wanita itu bekerja, tetapi dari penampilannya Bianca sangat mengetahui bahwa jawaban wanita itu termasuk tinggi di perusahaan yang sangat besar itu.
Kiara yang sedang memperhatikan ruangan yang tidak terlalu luas itu dengan kening yang berkerut.
“Kamu Bianca Florensia?” tanya Kiara dengan memperhatikan penampilan Bianca yang biasa saja.
“Iya, Bu.” Bianca menjawab seraya menganggukkan kepalanya dengan cepat. Bola matanya berpendar memperhatikan penampilan Kiara yang terlihat sangat menawan dan mewah.
“Saya Kiara, Sekretaris Presiden Direktur. Anda diminta oleh Pak Arsen untuk datang keruangannya terkait dengan pekerjaan.”
Bianca terkejut mendengar ucapan Kiara. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Pikirannya menerawang saat mendengar nama Arsen. ‘Apa aku akan dipecat?’ pikir Bianca dengan wajah yang terlihat memucat.
“Cepatlah, Presdir menunggu di ruangannya,” sahut Kiara sebelum melangkah keluar dari ruangan tersebut.
“Baik, Bu,” jawab Bianca dengan cepat. Wanita itu lantas menyambar tas ransel yang terlihat sudah lusuh di atas meja. Kiara memandang Bianca dengan kening yang berkerut tajam, tetapi tanpa suara sedikit pun. Sekretaris Presdir itu langsung berjalan dengan cepat keluar dari ruangan tersebut.
“Tunggu sebentar, Bu,” teriak Bianca saat melihat pintu lift yang hendak tertutup. Kiara segera keluar kembali untuk menemui Bianca.
“Maaf, saya tidak tahu ruangan Presdir. Bisa tolong tunjukkan?” pinta Bianca dengan suara yang sangat pelan dan sopan.
“Bisa, ayo ikut saya.”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Kiara melangkah memasuki lift dengan di ikuti oleh Bianca di belakangnya. Tidak lama kemudian, lift telah berhenti di lantai paling tinggi di gedung tersebut.
“Silakan langsung masuk, Bianca,” ucap Kiara sambil menunjuk pintu dengan tulisan Presiden Direktur.
“Terima kasih,” lirih Bianca dengan jantung yang bergemuruh hebat. Pikirannya tidak bisa menjangkau apa yang akan terjadi di balik ruangan tersebut.
Bianca berjalan menuju pintu ruangan Presiden Direktur dengan langkah yang gemetar. Perlahan dia mengetuk pintu hingga sebuah jawaban terdengar dari balik pintu besar tersebut.
Bianca mendorong pintu dengan pelan. Sekilas dia bisa melihat Presiden Direktur yang duduk di kursi kebesarannya.
“Pak,” panggil Bianca saat tidak ada suara dari Arsen.
“Ya,” jawab Arsen dengan singkat tetapi matanya masih terpaku kepada tumpukan kertas yang ada di hadapannya.
“Ada apa memanggil saya, Pak? Kalau tidak ada yang mau disampaikan, maka saya mohon pamit dahulu.”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Bianca memutar tubuhnya. Sudah sepuluh menit lebih dia di ruangan tersebut, tetapi Arsen tidak bersuara. Sedangkan kepalanya sudah menerawang kepada Abian yang tadi hanya di titipkan dengan perawat yang berjaga saja. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Abian karena mereka akan kembali ke rumah malam ini.
“Kita pulang bersama,” ucap Arsen dengan menatap ke arah Bianca yang tampak terkejut mendengar ucapannya.
“Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri,” jawab Bianca dengan suara yang bergetar. Tidak hanya suaranya saja yang bergetar, tetapi kakinya juga ikut bergetar menopang tubuhnya yang kurus.
“Jangan membantah, Bia. Kita akan mampir ke butik mengambil gaun yang akan kamu pakai besok pagi,” sahut Arsen dengan tatapan mata yang menatap ke arah wanita itu.
“Maksudnya, Pak?” Bianca memberanikan dirinya untuk bertanya meskipun jantungnya berdebar dengan sangat kencang.
“Besok pagi kita akan menikah secara resmi. Kamu bisa memilih gaun yang kamu inginkan.”
Bianca berjalan mendekat ke meja Arsen. Tatapan matanya menatap pria itu dengan bola mata yang melebar.
“Apa tidak bisa dibatalkan, Pak?” tanya Bianca dengan takut takut. Rasa cemas juga menyertai perasaannya. Awalnya dia berpikiran bahwa Arsen hanya bercanda tetapi ternyata pria itu tidak memperlihatkan wajah bercanda sedikit pun.
“Tidak bisa. Kita sudah sepakat. Diamlah, karena aku tidak akan mengecewakan kamu.” Arsen menatap Bianca dengan tajam.
“Apa tidak bisa dibicarakan lagi?” Bianca tetap melakukan negosiasi kepada Arsen.
“Negosiasinya nanti saja setelah kita resmi menikah.”
“Anda akan menyesal menikah dengan saya nantinya,” lirih Bianca dengan air mata yang mulai menetes. Bagaimana mungkin seorang pria seperti Arsen yang memiliki segalanya akan menikah dengan dirinya yang hanya anak terbuang dan tidak mempunyai keluarga?
“Tidak usah memikirkan perasaan saya karena sepertinya kamu yang akan menyesal menikah dengan saya.” Arsen tersenyum kecut menatap ke arah Bianca yang juga sedang menatap ke arahnya.
Jantung Bianca berdetak dengan sangat kencang. Mulutnya langsung terkunci rapat. Sepertinya hidupnya memang akan berakhir di tangan pria yang tidak pernah dia inginkan tersebut. Tetapi Bianca juga tidak mempunyai kekuatan untuk melawan seorang Arsenio Rasendra yang memiliki segalanya.
Arsen mengemasi barang barangnya. Tidak lama kemudian Presiden Direktur itu sudah berjalan duluan di depan Bianca. Wanita itu hanya mengikuti langkah kaki Arsen menuju sebuah pintu yang ada di ruangan tersebut. Ternyata pintu itu adalah jalan menuju lift khusus untuk Presdir. Bianca hanya diam selama mereka berada di dalam lift.
“Masuklah,” ucap Arsen setelah menekan remote mobil. Mobil keluaran Porsche dengan warna silver itu terlihat sangat mewah. Bianca membuka pintu bagian penumpang dan duduk dengan tenang di bangku belakang.
“Pindah ke depan, aku bukan supir pribadi kamu. Kamu pikir aku driver taksi online?” dengus Arsen dengan bola mata yang memutar.
Bianca terkejut mendengar ucapan Arsen. Tanpa menunggu komando untuk yang kedua kalinya, secara pontan dia langsung pindah kedepan.
“Pak, apa kita bisa kerumah sakit sebentar?” tanya Bianca dengan wajah yang memelas.
“Tidak usah khawatir dengan keadaan Abian. Alex sudah menemaninya dari tadi sore,” jawab Arsen dengan pandangan mata yang fokus menatap jalanan yang ada di depan mereka. Sepanjang perjalanan, Bianca lebih memilih untuk diam. Dia tidak tahu harus berkata apa karena pikirannya berkecamuk hebat. Semenjak bertemu dengan Arsen, dia merasa bahwa hidupnya seakan jungkir balik. Dia merasa bahwa takdir sedang mempermainkan hidupnya dengan sangat kejam dan tanpa belas kasihan.
Tiba tiba, Bianca merasa perasaannya sangat terluka. Tanpa sadar, air matanya menetes di luar kendalinya. Arsen hanya menoleh ke arah wanita yang duduk di sampingnya itu dengan pandangan yang berkerut tajam.
“Kamu kenapa sih? Diajak menikah kayak diajak mau pergi ke medan perang saja. Dari kemarin terus menangis. Dasar cengeng,” gerutu Arsen dengan kesal.
“Aku bukan cengeng. Dasar egois,” balas Bianca seraya menatap Arsen dengan tajam.
“Bagus. Ternyata kamu tidak selemah yang aku pikirkan, rubah kecil,” bisik Arsen dengan smirk yang tercetak jelas di wajah tampannya.