Getar rasa

1368 Words
Wanita itu lantas berjalan menuju ruangan lain yang ada di apartemen mewah tersebut dengan di ikuti oleh Arsen di belakangnya. “Ada apa?” Arsen melipat kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. Pandangan matanya menatap Bianca dengan tajam. “Jangan terlalu memanjakan Abian. Dia tidak biasa seperti itu,” lirih Bianca dengan menoleh ke arah Arsen. “Aku hanya ingin memberikan apa yang belum dia dapatkan selama ini,” jawab Arsen dengan tersenyum hangat. Bianca menghela napasnya dengan panjang. Dadanya terasa sesak jika sudah berbicara dengan Arsen. “Apa aku boleh bertanya satu hal?” Bianca menatap Arsen lekat. Dia berusaha mencari jawaban dari mata pria itu. “Silakan.” Arsen menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Apa ada alasan lain selain perjanjian di rumah sakit kemarin?” Bianca menatap arsen tajam. Sudut bibirnya bergerak gerak sebagai pertanda bahwa dia sedang bingung. “Ada!” Arsen menjawab dengan jujur. Dia tidak ingin menyembunyikan semuanya lebih jauh lagi. “Apa?” Tubuh Bianca bergetar mendengar jawaban Arsen. Matanya terlihat berkabut menatap kepada Arsen yang hanya diam membisu. “Aku akan mengatakan semuanya setelah kita menikah. Aku sangat yakin kamu juga mengetahui alasan mengapa aku harus menikahi kamu. Jangan berpura pura tidak tahu karena kamu pastinya juga merasakan semuanya.” “Kalau begitu, kita tidak usah saja menikah. Aku masih ingin sendiri.” Bianca menjawab dengan suara yang bergetar. Napasnya seperti tercekat di tenggorokannya. “Baiklah. Aku akan membatalkan pernikahan sekarang juga dan sebagai balasannya, kamu harus bersedia surat pernyataan kemarin diperkarakan lebih lanjut. Silakan pilih mana yang suka.” Arsen menatap Bianca dengan sudut bibir yang terangkat sebelah. Di dalam hatinya dia tertawa bahagia melihat wajah Bianca yang berubah pucat. Bianca terkejut mendengar ucapan Arsen. Bola matanya melebar membayangkan semuanya. ‘Ternyata pria ini sangat sulit untuk di ajak negosiasi,’ batinnya sendirian. Wanita itu lantas mengayunkan langkahnya dengan malas. Dia meninggalkan Arsen yang masih menatap tubuhnya dengan mata yang tidak berkedip. “Aku akan mendapatkan kamu seutuhnya, Bia,” lirih Arsen sendirian sesaat sebelum menyusul langkah Bianca. Jarum jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Mereka baru saja selesai makan malam dengan menu makanan yang dipesan khusus oleh Arsen. Bianca tersenyum mengingat bagaimana reaksi anaknya saat menatap beraneka ragam makanan lezat yang terhidang di atas meja. “Biarkan Abian tidur sendirian di kamar ini,” ucap Arsen sambil memasuki sebuah kamar yang cukup luas untuk ukuran kamar anak anak. Abian dan Bianca memperhatikan kamar yang dua kali lebih besar dari kamar di kontrakan mereka sebelumnya. “Wah, kamarnya bagus banget, Daddy. Abi suka,” teriak Abian dengan histeris. Bola matanya berbinar memancarkan kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata kata. “Bagus kalau kamu suka. Mulai sekarang tidur sendiri ya?” Arsen menundukkan tubuhnya dan mengusap rambut Abian dengan sayang. “Siap, Daddy!” Abian menjawab cepat dengan tangan yang terletak di keningnya layaknya bawahan yang hormat kepada atasan. Arsen tertawa lebar melihat aksi bocah kecil itu. “Abi mau tidur sekarang. Daddy sama Mommy boleh keluar,” ucap Abian seraya naik ke atas ranjang besar dengan kasur bulu angsa di atasnya. Kasur yang sangat empuk dan nyaman hingga membuat anak laki laki itu tertawa penuh kebahagiaan. “Kamu bisa tidur di sini,” ujar Arsen saat mereka memasuki sebuah kamar yang cukup luas dengan fasilitas serba mewah di dalamnya. Bola mata Bianca berputar melihat sekeliling kamar. Seketika perasaan tidak enak menerpa dirinya. ‘Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan pria sempurna seperti Arsen? Apa aku harus kabur dari pria ini?’ Bianca membatin sendirian dengan kepala yang mulai kusut memikirkan kehidupannya yang tiba tiba berubah drastis. “Kamu tidur di mana? Aku sama Abian saja,” jawab Bianca seraya melangkah menuju pintu kamar. “Tidurlah di sini, aku akan tidur di ruang kerja.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Arsen langsung melangkah menuju pintu kamar dan keluar dari kamar yang cukup luas tersebut. “Arsen,” panggil Bianca dengan suara pelan. Pria itu lantas membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah Binca dengan heran. “Ya. Ada apalagi? Masih mau bicara mengenai alasan lainnya? Aku janji akan membicarakan semuanya setelah kita resmi menikah.” “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah memberikan kebahagiaan bagi Abian. Aku berharap pernikahan kita nantinya tidak diketahui oleh siapa pun.” Bianca menatap Arsen dengan lurus. “Apa ada alasan yang menyertainya?” Arsen menatap Bianca dengan bingung. ‘Mengapa harus dirahasiakan? Apa Bianca tidak bangga mempunyai suami sepertiku?’ Beragam pertanyaan muncul di kepala Arsen. “Aku tidak ingin mengganggu karier kamu. Satu hal yang pasti, keberadaan aku akan menjadi ancaman terhadap hidup kamu nantinya. Tetapi aku tidak diberi pilihan lain untuk menolak pernikahan ini.” Arsen hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan meskipun hatinya tidak memahami pemikiran yang ada di kepala Bianca. Tidak lama kemudian, setelah Arsen masuk ke dalam ruang kerjanya, Bianca juga masuk kembali ke dalam kamar yang tadinya telah dikatakan oleh Arsen. Dia duduk sebentar di tepi ranjang yang cukup luas dan empuk serta sangat nyaman itu. Pikirannya memikirkan hal lain dan merasa tidak pantas untuk tidur di atas ranjang yang pastinya memiliki harga sangat tinggi itu. Perlahan wanita itu mengambil selimut dan bantal. Dia memilih untuk tidur di lantai yang dialasi dengan karpet tebal dengan bulu bulu halus di bagian atasnya. Wanita itu merebahkan tubuhnya dengan kepala yang bersandar ke bantal. Matanya menatap langit langit kamar dengan beragam pikirannya. Otaknya berputar teringat dengan kejadian enam tahun yang lalu yang membuat hidupnya menjadi jungkir balik. Mulai dari hamil di luar nikah dan di usir dari rumah. Dia harus meninggalkan kehidupan mewah semenjak kejadian yang luar biasa itu menghampiri hidupnya. Bianca mengusap sudut matanya yang mengeluarkan bulir bening. Perasaannya sangat perih mengingat kejadian tersebut. Tubuh dan hatinya terasa sangat lelah hingga matanya terpejam untuk beristirahat sejenak dari kesibukan duniawi. “Tok tok tok!” Terdengar suara ketukan di pintu kamar yang membangunkan Bianca dari tidur lelapnya. Wanita itu lantas duduk dari tidurnya dan menatap sekelilingnya dengan terkejut. Seketika pikirannya teringat dengan di mana dia sekarang dan juga Arsen. “Sudah bangun, Bi? Bisa bukain pintunya?” Suara Arsen membuat Bianca tersentak dari lamunannya. Dia mengibaskan selimut dan berjalan menuju pintu. Tidak lama kemudian, wajah Arsen tampak dengan jelas setelah pintu terbuka. Arsen menatap Bianca dengan kening yang berkerut, “Maaf sudah mengganggu tidurnya. Aku lupa membawa dokumen ini,” ucapnya sambil memegang dokumen yang tadinya berada di atas meja. “Tidak masalah. Aku juga sudah bangun kok,” jawab Bianca dengan tersenyum seraya melirik ke arah jam dinding. Jarum jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Selanjutnya dia memperhatikan Arsen yang terlihat mengantuk. ‘Apa dia tidak tidur semalaman?’ batin Bianca bertanya tanya dengan kening yang berkerut. “Owh, syukurlah. Tadinya aku enggak berniat untuk membangunkan kamu, tetapi mengingat dokumen ini sangat penting membuat aku harus mengetuk pintu.” Arsen pun berjalan keluar dari kamar. Tetapi pria itu berbalik menatap ke arah Bianca saat teringat dengan selimut dan bantal yang berada di lantai. “Kamu tidur di lantai?” tanya Arsen dengan kening yang berkerut seraya melihat ranjang dan lantai secara bergantian. Bianca hanya terdiam dengan mulut yang terbuka. Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Tidur di lantai itu tidak baik untuk kesehatan. Lain kali jangan tidur di lantai lagi. Nantik kalau kamu sakit maka aku juga yang akan repot. Oh iya, aku mau tidur sebentar. Nanti bangunkan jam tujuh ya?” ucap Arsen dengan panjang lebar. Dia tersenyum menatap Bianca yang terlihat melongo dengan wajah khas bangun tidurnya. Apalagi ditambah dengan rambut yang terlihat acak acakan membuat wanita itu terlihat sangat alami dimata Arsen. “Halo, Bi. Kamu dengarkan?” Arsen menggoyang goyangkan tangannya di depan mata Bianca hingga wanita itu terkejut. “Oh, iya. Baiklah,” jawab Bianca dengan menganggukkan kepalanya. Wajahnya memerah saat menyadari telah berinteraksi dengan pimpinan Rasendra Grup dalam keadaan baru bangun tidur. Bianca lantas menepuk keningnya saat teringat dengan belum cuci muka. “Tidak apa apa. Kamu tetap terlihat cantik kok meskipun belum cuci muka. Terlihat lebih natural saja tanpa make up. Tetapi aku suka.” Bianca menatap Arsen dengan bola mata yang melebar. Wajahnya merona mendengar ucapan Arsen. Bianca meraba dadanya dengan tangan yang bergetar. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang setelah mendengar ucapan Presiden Direktur Rasendra Grup itu. Sedangkan Arsen sudah menghilang dari tadi dari hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD