BAB 13

1307 Words
Berada di dekatmu, seringkali aku mendamba, hingga tidak sadar hati ini mulai meraba, jatuh kepadamu tanpa mengenal rasa iba *** BUJUKAN ke lima, masih saja belum mengelabui Gina supaya menurut apa kata-kata yang terlontar dari mulut Gito. Rasanya percuma saja, Gina tidak bisa diajak berkompromi dan bertoleransi, betapa susahnya Gito berbicara dengan Gina yang selalu dijawab seolah-olah sudah menyiratkan bahwa perkataan Gito sama sekali tidak pantas untuk ditanggap. Tanggap yang dimaksud bukan artian tidak paham, melainkan Gina tidak peduli. "Gin, plis lo nurut sama gue kali ini aja." Suara Gito semakin melemah, itu bujukan ke enam yang ia lontarkan dengan harapan besar dan tinggi, ia menatap Gina tak lupa dengan jurus andalannya—mata besar dan berkaca-kaca seperti anak anjing. Tidak mempan! Entah jiwa apa yang dimiliki oleh Gina, gadis itu malah menjawab dengan gelengan kepala. Ia menggeram, lalu diikuti perkataan untuk menyangkal ucapan Gito. "Sebenarnya bang Gito mau ngapain sih? Kok aneh banget, biasanya Gina juga pulang bareng bang Gito, kan?" "Iya, tapi untuk sekarang enggak." "Lah ... emang kenapa?" Satu alis Gina naik ke atas sembari mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Gito mendesaah kembali, tangannya berkacak pinggang. "Udah gue jelasin tadi Gina, gue ada keperluan. Dan ini penting, lo harus nurut sama gue!" "Nggak mau." Gito melotot tajam sementara itu rahangnya yang tegas semakin mengeras, "kok ngeyel sih?" "Lah ... Bang Gito ini gimana sih? Tadi pagi Gina kan berangkat bareng bang Gito. Jadi kalo pulang ya harus bareng lah." Gito mengepalkan tangannya, memang sangat susah untuk membujuk Gina. Gadis itu tidak pernah goyah dalam pendiriannya. Gito kemudian menghela napasnya, sedetik setelah itu udara disekitarnya ia hirup kembali, kali ini lebih panjang. Kesabaranlah yang menjadi tameng satu-satunya untuk situasi sekarang ini. "Tapi gue udah terlat. Plis lah Gin. Kali ini aja lo nurut sama gue." Gelengan kepala dari Gina benar-benar membuat Gito kesal setengah mati. Menyebalkan sekali. "Nggak mau, memang bang Gito ada keperluan apa? Gina bisa nunggu kok." "Bakal lama, gue pulang nanti malam. Nanti elo ketiduran lagi." "Kalo Gina ketiduran, kan ada bang Gito." "Nyusahin gue, yang ada keperluan gue nggak kelar-kelar karena terganggu sama lo." Decakan kasar Gito keluarkan, Gina selalu saja menyahut ucapannya. Hal itu sukses membuat dadaa Gito terlihat naik turun, kentara jika cowok itu menahan amarahnya. "Gina punya solusi yang adil nih bang." Gito mengerutkan dahi saat suara Gina menyumbat di telinganya. Ia sempat ragu, tetapi tak lama ia juga penasaran. Alhasil ia pun bertanya. "Emang apaan?" "Bang Gito anterin Gina sampe rumah dulu. Abis itu bang Gito boleh pergi deh. Gampang banget, kan?" "Gue udah bilang berapa kali sih? Gue ada urusan bege! Ini juga udah terlat, kalo gue nganterin lo dulu. Buang -buang waktu namanya. Buruan lo pulang dulu aja sana." "Tapi bang, Gi—" Ucapan Gina terpotong, tidak terlanjut sampai tuntas. Hanya satu alasan yang paling mendukung yaitu karena Gito menyelanya dengan gerakan bibir yang begitu cepat. "Apa? Nggak ada ongkos? Nih gue kasih uang." Saku celananya Gito rogoh, tak lama selembar uang berwarna ungu keluar dari sana. Dengan cepat Gito menarik tangan Gina, membuka tepalak gadis itu secara kasar, lalu dilanjutkan meletakkan uang tersebut ke dalam genggaman Gina. "Ih bang Gito apa-apaan sih? Gina nggak mau. Gina cuma mau pulang bareng bang Gito. Nanti kalo di jalan Gina kena culik gimana? Kalo Gina digodain sama tante-tante girang gimana?" "Lo cewek! Nggak ada tante-tante yang gangguin lo. Nggak bakal di culik karena di angkot banyak orang. Buruan sana sebelum angkotnya ngilang." Gito mengibaskan tangannya di udara, seolah memberi isyarat kepada Gina untuk segera pergi dari hadapannya. Gina memberenggut, tetapi ia tak lantas menuruti kemauan Gito, tubuh mungilnya masih berdiri di tempat, tak berpindah sama sekali. "Bang Gito kenapa sih? Gina itu nggak biasa naik angkot. Gina bisa mabok entar, kasihan penumpang yang lain. Kalo Gina muntah gimana bang? Emang bang Gito mau tanggung jawab? Kalo iya berarti Gina mau." Bola matanya ia putar dengan malas. Selain keras kepala, Gina juga cerewet. Gito pusing mendengar ocehannya bak burung beo itu. Mati-matian ia menahan dirinya agar tidak terlampau emosi. "Ogah banget, yang muntah itu elo. Ngapain gue yang tanggung jawab?" "Makanya, Gina pulang bareng bang Gito aja. Kayak gitu aja kok repot. Emang keperluan apa sih?" Senyuman sinis Gito tercetak, "emang harus banget, ya gue kasih tau ke elo?" "Iyalah, Gina berhak. Kan kita tetanggaan." "Udah, gue nggak mau ngomong sama lo lagi. Lo pulang sekarang, terus olahraga biar tubuh lo ideal." Seketika itu juga Gina terparangah, "Ha? Emang Gina gendut bang?" Seringai jail muncul di salah satu sudut bibir Gito, "iya, makanya pulang sana. Biar langsing kayak Misa. Jadi cewek itu harus pandai jaga penampilan. Biar lawan jenis banyak yang suka," cibir Gito. "Olahraga doang?" Mendadak, sebuah ide brilian muncul secara tak disengaja. Gito tesenyum simpul. Ia menatap Gina dalam, lalu seperkian detik berikutnya ia sudah berkata kembali. "Nggak sih, ada cara lain yang lebih cepat dan efektif. Lo mau tau?" Dengan rasa penasaran dicampur antusias yang amat tinggi, Gina maju selangkah mendekat ke arah Gito, lengkap dengan mimik wajah yang sangat penuh harap. Dalam hati, Gito sudah bersorak riang, Gina sudah masuk ke dalam perangkapnya. "Emang apaan bang? Kasih tau dong!" "Ada syaratnya, nggak semudah itu lo untuk tau. Gimana? Lo sanggup penuhi syarat dari gue?" Gina diam. Tak lama setelah itu ia pun mengangguk. "Iya, Gina bakal turutin. Emang apaan?" "Lo pulang naik angkot SEKARANG!" Gina memberenggut lagi, "yaah ... nggak asik ah. Gina nggak mau." "Ya itu terserah lo sih. Kalo lo mau supaya cepet langsing, lo tinggal turutin kemauan gue aja. Emang apa susahnya pulang naik angkot? Duit udah gue kasih, dan elo tinggal duduk manis di sana." Walaupun agak ragu, namun Gina memutuskan untuk mengangguk pasrah. Tetapi ia juga berat. Bagaimanapun ia tidak bohong soal itu. Dari dulu Gina tidak pernah naik angkutan umum. Tidak heran jika rasa takut dan khawatir sudah menyebar di batinnya. "Iya iya. Gina turutin kemauan bang Gito. Puas, ha?!" Gina melotot tajam, lalu matanya memutar secara cepat. "Lo juga puas kok. Nanti, lo ke rumah gue sama bawa batu yang gede-gede oke?" "Ha? Emang buat apaan bang?" heran Gina. "Buat makan lah." Secara enteng, Gito menukas dengan asal. Tak peduli apapun itu respons dari Gina. Yang paling penting gadis itu sudah setuju menuruti kemauannya. Jadi, tak ada alasan bagi Gina untuk merubah keputusan itu. "Emang batu bisa di makan bang? Kok Gina nggak tahu, batu kan keras. Kayak kepala bang Gito!" Sejujurnya, Gito amat percaya bahwa respons Gina pasti akan seperti itu. Gadis itu selalu tidak curiga apapun kalimat yang keluar dari mulut Gito. "Bisa lah, emang lo belum tahu?" Gina menggeleng. Sementara Gito tesenyum sinis. Senyum yang memperlihatkan kelicikan karena ia sudah menang memengaruhi Gina. "Tapi kan nggak masuk akal. Yang ada gigi Gina bakal rompol kalo gigit batu. Kalo batunya empuk kayak ini sih, Gina bisa makan." Gina membalas ucapan Gito sambil menyentuh buah dadaanya yang menurut Gito sama sekali tidak menggoda. Gito mengambil napas pendek sebelum menjawab, "lah emang empuk kok. Nanti batu itu direbus biar lo bisa makan. Selain tubuh lo bakal bagus, kulit lo juga makin glowing." Bola mata Gina seketika langsung berbinar. "Beneran bang? Emang beneran empuk banget? Kayak ini?" Untuk kedua kalinya, buah dadaanya ia pegang, sambil sedikit meremasnya hingga dadaa Gito terlihat naik turun. Perlahan, sesuatu di tengah-tengah selangkangannya mulai menegang. Gito menelan ludah, tetapi tak lama ia menggeleng. Dasar Gina sialaan, bisa-bisanya gadis itu memancing Gito! Emang Gina tidak tahu apa kalo cowok selalu lemah dalam urusan hal seperti itu? Menyebalkan sekali. "Hei! Nggak usah di perjelas kutil." "Kenapa? Bang Gito pengin pegang?" Sialaan! "Udah udah. Intinya lo nanti ke rumah gue, jangan lupa bawa batu. Entar gue masakin biar tubuh lo makin bagus." "Nggak percaya Gina mah. Emang bang Gito bisa masak?" "Bisalah. Nanti biar tambah enak, setelah batunya di rebus, kita tambahkan tepung biar kriuk-kriuk. Biar lo makin doyan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD