BAB 12

1290 Words
Percayalah, apapun yang sedang kamu lakukan saat ini, pasti ada saja orang lain yang tidak menyukainya *** "TUH muka kayaknya kusut banget, kelihatan gantengan kemoceng ke mana-mana kalo lo kayak gini To." Yogi berkomentar sebab raut wajah Gito tidak secerah dan cool macam biasanya, hal itu menuai beragam pikiran aneh yang memenuhi otak dari sahabat-sahabatnya. Saat ini, keempat cowok itu tengah berkumpul, menikmati waktu istirahatnya yang masih tersisa sepuluh menit lagi di sebuah meja panjang, terletak di pojokan kantin. Bangku ini sangat nyaman, sudah menjadi tempat favorit mereka untuk nongkrong dan makan di sini. Sebelum membalas dan mengutarakan isi hatinya, Gito menyesap sedikit minuman oranye juice miliknya yang sama sekali belum tersentuh sedikitpun. Gelas bagian luarnya nampak berembun, es batu yang berada di dalam gelas sudah sedikit mencari, melebur dan seketika langsung menyatu dengan air berasa itu. Tenggorakannya sudah basah, Gito merasa lega sesaat, lalu ia membuang napasnya secara gusar. Ia kembali menatap satu persatu sahabatnya yang kini memusatkan pandangan ke arah dirinya. Agar risih memang, tapi Gito tidak mengutarakan itu. "Gue cuma lagi nggak mood, santai aja." Gito tersenyum kecil, yang diangguki oleh Yogi dan Nino. Begitu kontras dengan Dion yang malah menunjukkan lipatan ganda yang terbentuk dikeningnya yang mulus. "Gina lagi?" Sedikit terkejut karena perkataan Dion sesuai apa yang kini hinggap dan tengah menjalar di dadaanya. Tapi bukan Gito namanya kalau tidak bisa bersikap normal dan menyembunyikan raut wajahnya. Cowok itu hanya mengulas senyum tipis, menyapu perhatian pada kalangan siswi yang tengah lewat di sekitarnya. Mereka jelas mengagumi sosok Algito Fianlo, bahkan banyak diantaranya yang tersenyum dan baper sendiri kala Gito tersenyum. Namun sayang beribu sayang, mereka hanya berhak mengagumi lewat jarak jauh. Sebab, satu alasan sudah berhamburan dan menyatu ke hati cewek-cewek pengagum rahasia Gito tadi. Mereka tidak bisa apa-apa selain memperhatikan Gito dari jauh karena cowok super ganteng itu—menurut mereka—sudah memiliki pacar. Apalagi pacarnya itu salah satu primadona sekolah. "Ya gitu deh," singkat Gito sembari merosotkan bahunya ke bawah, terlihat jika ia tengah mengembuskan napas kasar. "Masalah apa lagi emang? Tuh bocah kayaknya demen banget deh ngerecoki elo mulu," seloroh Yogi mengambil satu kesimpulan yang kerap mendapatkan anggukan dari , Dion dan Nino. Jelas mereka sependapat dengan kalimat yang Yogi ucapkan. Selama sejauh ini, mata mereka selalu mengamati betapa gesit dan aneh tingkah Gina. "Gue setuju, kalo lo lama-lama nyaman gimana To? Biasanya nih ya, benih cinta itu muncul kalau ada cowok sama cewek sering berinteraksi, lo sama Gina nggak jauh dari klise itu menurut gue sih," ujar Nino, sok bijak. Gito tersenyum kecut, "tapi sayang, itu nggak berlaku buat gue. Nggak ada sejarahnya gue demen sama orang yang gue benci. Nggak bakal, mustahil banget," sangkal Gito, tentu saja ia melayangkan protes. Ketidaksetujuan akan perkataan Gito itu seketika membuat dadaa Nino memanas, walau sesaat. "Awas lo, kemakan omongan sendiri baru tahu rasa." Segera Gito menjawab cepat perkataan dari Dion. "Nggak bakal, gue udah punya Misa. Coba deh lo pikir sekarang, mana mungkin gue pacaran sama tetangga gue sendiri? Lucu banget," cicit Gito disusul tawa hambar yabg mengudara. "Ya nggak pa-pa kali To. Anti-mainstream itu, berasa kek main wahana yang mengacu adrenalin, muehehe ...." Merotasikan bola matanya dengan jengah, Gito berdesis singkat. Ucapan ketiga sahabatnya sangat absurd. Gito lalu menoleh saat Dion kembali berkata. "Emang apa yang bikin lo sampe mikirin Gina lagi?" Tatapan Gito masih terpancar ke arah Dion, beberapa detik ia butuh memproses kalimat itu. Pada akhirnya, tepat di detik kesepuluh, Gito mengerjap dan diikuti desahaan kasar. Gito mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum pada akhirnya tatapannya jatuh kepada Dion lagi yang setia menunggu jawaban darinya. "Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Nggak penting." *** Selepas beberapa menit menahan kencing yang sudah sampai di ujung, akhirnya bel tanda pergantian pelajaran sudah berbunyi, Dion segera lari terbirit-b***t meninggalkan kelas. Guru sejarah Indonesia yang sudah memberi ulangan harian pada hari ini sempat dibuat tercengang sesaat. Lalu, Bu Isna—guru sejarah—nampak menggeleng pelan tanda ia tidak peduli dengan tingkah anak didiknya itu. Tidak hanya Bu Isna, Gito yang sebangku dengan Dion, juga merasa janggal kenapa cowok itu berlari seperti habis ketangkap basah karena maling mangga milik tetangga. Tidak mau pusing memikirkan itu, Gito mengendikkan bahu dengan mulut mencibir. Sementara itu, beberapa menit setelah berdiam di kamar mandi, Dion lekas keluar dari sana dengan raut wajah amat aneh. Dia membuka mulutnya, sementara matanya terpejam. Ia tengah merasakan sensasi kelegaan tiada tara. Acara tahan menahan buang air kecil akhirnya sudah tuntas. Dan Dion memilih memutuskan bergerak dari sana setelah merapikan seragamnya. Diantara derap tungkai kakinya yang terus berayun, bibir Dion sedikit monyong ke depan, siulan yang terdengar sedikit merdu itu datang dari Dion. Sampai detik selanjutnya ia segera menghentikan siulan itu. Cowok itu terpaku di tempat, matanya berpusat kepada seorang cewek yang berjarak beberapa langkah di hadapannya. Manik mata Dion berbinar, ada rasa kagum yang menelisik hatinya saat memandangi paras cantik pada cewek itu. Bibirnya nampak merah, dan Dion sudah tahu kalau bibir merah tersebut karena ada tambahan lipstik. Ragu, Dion segera menghampiri cewek itu yang entah siapa karena ia tidak tahu namanya. Cewek itu tengah memunguti es krim yang tercecer di lantai, Dion bisa menebak kalau ada sekitar lima es krim di sana. Dan semua memiliki rasa yang sama, coklat. Setelah menelusuri lebih jauh lagi, Dion baru sadar kalau plastik kresek di tangan si cewek sudah jebol dibagian bawah, tidak salah jika es krim itu berjatuhan dan berserakan di lantai. Tanpa berpikir panjang, dengan gerakan amat gesit, Dion segera membantu memunguti es krim itu. Cewek itu memberhentikan aktivitasnya, spontan dia mendongak dan memicingkan matanya kepada Dion sebelum pada akhirnya ia langsung merebut es krim yang tengah bertengger di tangan Dion. "Jangan sentuh es krim gue!" Sentak cewek itu dengan nada tak bersahabat, suaranya menggema dan menusuk pendengaran Dion begitu saja. Dion sempat terdiam sesaat, ini diluar ekspektasinya. Cewek ini macam singa betina yang lagi PMS. Dion masih diam, saat es krim itu direbut oleh cewek itu juga ia tidak bereaksi sama sekali. Cantik-cantik galaknya ngalahin induk yang kehilangan anaknya, Dion membatin, ia terus memusatkan pandangannya pada cewek itu, memang cantik kalau ditelusuri lebih dalam. Namun sifatnya itu bikin bulu kuduk seketika meremang. Setelah memberenggut es krim dari genggaman Dion, cewek galak itu membalas tatapan Dion, iris mata cokelatnya yang kental itu nampak memancarkan aura berbahaya. Betul saja, semprotan kasar langsung Dion dapatkan. "Nggak usah lihat-lihat. Jaga tuh mata, jangan jelalatan mulu!" tukasnya sarkastis hingga tenggorokan Dion tersekat dalam, ia sempat tersedak liurnya sendiri. Tertohok oleh ucapan si cewek, benar-benar sadiis. Tak terima, Dion ikut membalas sengit, "di sini gue niatnya baik, cuma mau nolongin elo, kok lo malah nyolot sih?" Dion berujar sinis, dadaanya membusung ke depan kala kedua tangannya terlipat di sana. "Dan gue nggak butuh bantuan lo! Jangan jadi sok pahlawan sama gue kalo lo masih sayang sama nyawa lo." "Dih..." "APA?! NGGAK TERIMA?" "Elo cantik, tapi sayang terhalang oleh galaknya." Dion tersenyum miris. "Gue galak ya karena elo tolool!" Dion mendesaah kasar, "kok malah nyalahin gue? di mana-mana kalo orang dibantu itu ngucapin terima kasih, bukan kayak lo tadi, nggak sopan iya, nyolot juga iya," cibir Dion menatap remeh pada cewek dihadapannya yang sedang memutar malas kedua bola matanya. "Gue nggak butuh bantuan lo, minggir! Gue mau lewat!" Cewek itu berlalu, sempat menubrukkan diri di bahu Dion. Cewek angkuh itu membuat Dion mencibir. Dion akui, cewek barusan memang cantik dan Dion begitu tertarik oleh parasnya, begitu kontras dengan sifatnya yang jutek dan pemarah. Ekor mata Dion masih saja menatap punggung cewek itu yang kian mengabur dari pandangannya. Beberapa menit yang lalu Dion sempat melihat nama di seragam cewek angkuh tersebut. Olivia Kharisma, itulah jika Dion tidak salah mengeja. Nama yang begitu cantik, kharismatik seperti wajahnya, namun sama sekali tidak cocok jika kata Kharisma itu ditujukan untuk sifatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD