BAB 14

1259 Words
Kamu adalah orang pertama yang aku cari saat aku merasa butuh tempat untuk bersandar, menorehkan segala luka yang kini membekas di hati, terimakasih untukmu. Penyembuh lara *** MEMANG, usaha yang Gito keluarkan untuk memberi sebuah bujukan untuk Gina supaya pulang duluan, membutuhkan banyak kesabaran, dan menguras emosi cukup besar tentunya. Selepas kepergian Gina yang menghilang dari pandangannya beberapa menit yang lalu, Gito lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling sebelum pada akhirnya ia merogoh saku celananya untuk mengambil benda pipih yang tertera di sana. Sedetik setelah layar yang semula terkunci sudah terbuka, sebuah aplikasi untuk berkirim pesan akhirnya Gito buka, jempol tangannya langsung bergerak sangat gesit sampai berhenti saat nama kekasihnya tertera dilayar ponselnya itu. Senyuman manis Gito terbit. Kemudian, ia mengetik pesan di atas papan keyboard. Misa—yang: Aku tungguin kamu di parkiran, nggak pakek lama karena udah kangen berat, hehe ... Tanpa menunggu balasan pesan dari Misa, Gito sudah melaju pergi ke tempat di mana ia janjikan barusan itu. Tangannya memasukkan kembali ponselnya itu ke saku celana. Setelah dirinya sudah sampai di parkiran sekolah, sosok perempuan cantik yang selalu Gito dambakan menyita perhatiannya. Tergesa, ia terus mengayunkan tungkai kakinya menerjang angin sampai pada akhirnya tubuh tegap Gito sudah menjulang tinggi di hadapan Misa, lengkap dengan setarik senyuman simpul yang kian menambah rona merah di pipi Misa. "Udah sampai? Kok cepet amat?" tanya Gito pelan. "Kamu yang lambat tau," balas Misa cepat, namun segera ia meralatnya. "Nggak, cuma becanda kok. Dati tadi aku emang di sekitar sini. Nungguin temen di jemput sama bokapnya," ucap Misa menjelaskan. Mengangguk seolah ia paham. Lantas, Gito segera mengeluarkan motor besarnya yang sudah berdiri tegap tepat di belakang Misa. Cewek manis itu sedikit menyingkir, memberi ruang gerak untuk Gito. Parkiran sekolah sudah lumayan sepi, sangat memudahkan bagi Gito untuk mengeluarkan kuda besinya dari area itu. "Kamu mau anterin aku pulang?" tanya Misa setelah susah payah menaiki motor Gito yang tinggi, satu alasan yang tepat, Misa tengah memakai rok. Hal itu tidak memungkinkan bagi cewek itu untuk duduk leluasa di atas motor Gito. Naik ke atasnya saja Misa butuh bantuin Gito. Gito menjawab dengan anggukan kepala, bersamaan dengan itu mesin motornya sudah menyala. Setelah di rasa sudah siap dan helm sudah bertengger di kepala Misa maupun Gito, mereka pun kemudian membelah jalanan yang sedang dipadati oleh kendaraan besar. "Gito, kalo kamu anterin aku. Terus tadi Gina pulang bareng siapa?" tanya Misa, sedikit menaikkan suaranya. Berharap Gito mendengarnya. "Udah, nggak usah pikiran dia. Udah gede, nggak perlu buat dikhawatirin," balas Gito. Misa mendaratkan tepukan cukup keras di pundak Gito. Awalnya Gito tidak peduli, namun tepukan Misa yang semakin keras serta diiringi suara cewek itu yang menggelengkan kepalanya membuat fokus Gito kembali terbelah. Hanya sekilas, Gito melirik Misa. "Gito, aku mau bicara. Ayo menepi!" Gito memang mendengar ucapan Misa, cewek diboncengannya ini memekik keras. Namun Gito tak peduli, ia harus fokus pada jalanan. Memilih mengabaikan perintah dari kekasihnya. Merasa tidak dipedulikan, Misa menggeram jengkel. Ia semakin keras menepuk pundak Gito. Kali ini lebih kuat lagi, Sampai Gito sedikit kehilangan kendali dalam berkendara, ia oleng sebanyak dua kali. Perhatiannya kemudian teralih pada Misa, kalau sudah begini Gito hanya bisa menunduk kepada cewek itu. Menurut dengannya adalah cara satu-satunya untuk sekarang ini. Gito melepas helm sejurus kemudian setelah motor besar berwarna merahnya terhenti di pinggir jalan. Sementara itu, Misa sudah turun dari motornya. Sambil mengendurkan helm, cewek itu tidak melepaskan pandangan horor yang ia pusatkan ke arah Gito. Jelas, ekspresi itu sudah menjadi bukti jika Misa sekarang sedang marah. "Mau ngomong apa? Sambil jalan, kan, bisa," seloroh Gito yang sudah peka akan mata Misa yang terus menyorot tajam ke arahnya. "Gina pulang bareng siapa?" tanya Misa, masih dingin dan jutek. Gito segera menghela napasnya, entah kenapa telinganya selalu sensitif bila nama gadis naif itu disebut. Gito memutar sepasang bola matanya dengan jengah. "Naik angkot, nggak bakal ilang. Dia udah gede, udah bisa baca, apalagi buat jaga diri." Misa menggeleng penuh, tidak sehati dengan perkataan Gito. "Aku nggak sepemikiran dengan kata terakhir kamu itu. Soal jaga diri, mungkin Gina nggak bisa-bisa amat." "Kenapa?" "Kamu masih tanya kenapa?" Misa mendengkus kasar, mulutnya ternganga lebar sebab ia terkejut dengan respons Gito yang menjawab seperti itu. Misa meraup udara disekitarnya dalam-dalam, mengisi paru-parunya yang kosong, lalu tak lama kemudian ia membuangnya secara kasar. "Gina udah gede Sa, kamu nggak perlu khawatir. Seharusnya kamu seneng dong bisa pulang bareng aku. Nggak usah pikiran Gina. Nggak penting." Lagi dan lagi Misa menggeleng. "Dia itu jarang pulang sekolah naik angkot, tiap hari juga sama kamu. Bahkan kalau di rumah, kamu juga selalu yang nganterin dia pergi ke manapun kalo Gina di suruh sama Bundanya untuk membeli sesuatu, atau membeli buku pelajaran di toko buku. Kenapa kamu nggak mikirin dia, kalau tejadi apa-apa gimana? Kan kamu juga yang bakal di salahin." Gito berpikir sejenak, menimbang perkataan Misa yang panjang lebar itu. Tidak sepenuhnya penuturan dari cewek itu salah, mungkin banyak benarnya juga. Namun, sekarang Gito tidak mau berpikir itu, seharusnya sekarang ia bersenang-senang dengan Misa, bukan malah memikirkan nasib gadis perusuh seperti Gina. Gito tersenyum tipis, ia beranjak mendekati Misa yang masih memberenggut kesal. Di mata Gito, jika Misa menunjukkan raut wajah seperti ini, wajah manis dan mengemaskannya bakal bertambah dua kali lipat. Gito tidak berbohong, ia lalu terkekeh, kemudian tangannya terjulur ke udara, dan berakhir di rambut Misa yang selalu halus nan rapi, yang selalu Gito suka karena baunya yang khas dan harum. Segera Gito mengacak rambut Misa, gerakan yang begitu pelan, menenangkan, dan menghanyutkan hati Misa hingga ada perasaan aneh yang menggerangi dan bertengger dihatinya. Walaupun aneh, namun Misa suka perhatian Gito, ia tersenyum malu, berusaha menyembunyikan rona merah yang seketika menguasai area sepasang pipinya. "Nggak usah dipikirin lagi, aku janji Gina bakal baik-baik aja. Sekarang, nikmati aja waktu kita berdua. Jarang-jarang loh kita kayak gini." Hati Misa sudah berangsur membaik, ia menurut dan mengangguk patuh. Memang, mereka jarang menikmati waktu berduaan, paling sering hanya akhir pekan, itupun cuma bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan waktu mereka direnggut oleh Gina. Biasanya, Gina akan menjelma menjadi orang ketiga kemanapun Gito dan Misa pergi untuk berpacaran. Orang ketiga yang dimaksud bukan untuk merusak hubungan diantara Misa dan Gito, melainkan hanya sebagai perusuh yang selalu hadir di setiap saat. Mengingat akan hal itu, Gito seringkali tersulut emosi. Hal-hal romantis yang akan ia tunjukkan dan membuat Misa baper, selalu saja urung karena Gina tidak absen nyempil di sana. Sementara Gito yang selalu jengah akan kehadiran Gina—yang menurut cowok itu penguntit sekaligus pengganggu orang berpacaran, lain halnya dengan Misa. Cewek itu merasa biasa saja, tidak selalu menyulitkan diri maupun marah-marah dengan Gina. Misa tidak seperti itu, walaupun tampangnya juga sedikit jutek, namun hatinya baik. Misa tidak risih apabila Gina selalu menjadi penengah di antara dirinya dan Gito. Memang, Misa juga sepemikiran dengan Gito kalau Gina adalah gadis kecil yang masih butuh bimbingan. Namun, bukan berarti sepenuhnya Misa suka dengan kehadiran Gina yang selalu dekat dan nempel dengan Gito. Walaupun Misa bukan tipikal gadis yang cemburuan, tentu saja sesekali ia bisa merasakan itu. Misa juga seperti manusia kebanyakan, masih punya hati. Rasa iri mungkin saja bisa timbul di manapun dan kapanpun ia berada. Kehadiran Gina tentu kadangkala merenggut perhatian Misa, bagaimana tingkah gadis itu yang selalu manja dengan Gito, kekasihnya. Oke, Misa tidak menyebut Gina sebagai gadis yang akan merebut pacarnya, gadis itu terlalu polos jika dikatai seperti itu. Dan tidak mungkin juga Gina dan Gito bakal bersama dalam satu ikatan yang bernama cinta. "Kita jalan-jalan aja gimana?" Gito memberi usul, seketika lamuan Misa terpecah begitu saja. "Eh ... Iya. Kita jalan-jalan aja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD