BAB 8

1188 Words
Lisan yang hanya tertahan di ujung lidah, sudah tergantikan dengan cara perlakuanmu yang indah *** YA AMPUN, setan apa yang sekarang tengah merasuki tubuh Misa? Gito masih belum bisa menyimpulkan tindakan pacarnya ini. Dengan gerakan yang cukup terbilang cepat, wajah yang sudah kusut Gito usapkan secara kasar. Desahaan singkat lolos dari bibirnya, ia menatap jengah pada Misa yang lagi dan lagi meminta dirinya untuk menuruti kemauan gadis manja satu ini. Gina. Masih sama seperti sebelumnya, Misa meminta hal itu lewat ekor matanya, entah sebab apa ia tidak berkata sedemikian rupa, Gito tidak mengerti maksud dari pacarnya ini. Menolak permintaan Misa sama saja membunuh dirinya sendiri, Gito merasa frustasi, kepalanya panas. Tangannya sudah terkepal penuh menahan amarahnya. Gito kemudian melirik Gina yang beberapa langkah ada di hadapannya, mata gadis itu masih terpapar ke arahnya, sepertinya tidak akan berpindah. Gito tahu dan sudah menebak dengan pasti kalau Gina tengah menunggu jawaban memuaskan dari Gito. Gito pasrah, lalu menyahut dengan ketus, "iya, gue turutin kemauan lo!" Gina bersorak riang, tersenyum penuh kegembiraan. Sebetulnya manis bila ditatap lebih lama dan diperhatikan dengan seksama dari wajah Gina, si gadis manja dan menyebalkan. Gina tak henti-hentinya melempar seringai gigi putihnya yang tertata dengan rapi bak tentara yang siap tempur di dalam mulutnya. Gadis itu senang bukan main, akhirnya keinginannya terwujud walaupun sebelumnya ia sudah berasumsi diri bahwa Gito akan menolaknya. Dan pencapaiannya sungguh tak ia duga sebelumnya, Gito setuju mengantarkan dirinya pergi ke kelas. Gina tidak tahu jika alasan Gito setuju rengekan manja itu terpusat dan karena ada pihak lain di belakangnya. Misa. Misa ikut tersenyum melihat Gina seperti itu, matanya ia putar dan berakhir di objek yang sebelumnya ia tatap, yaitu Gito. Misa juga menyunggingkan senyuman tipis kepada Gito, mau tak mau Gito juga membalasnya. Sebenarnya, saat ini suasana hatinya sedang tidak kondusif, ia tersenyum karena terpaksa, satu alasan yang mendominasi, yaitu tidak mau membuat Misa marah kepadanya. "Ya udah bang, buruan anterin Gina ke kelas, udah kelewat setengah jam nih," rengek Gina lagi. Benar saja, waktu setengah jam terakhir Gito habisnya hanya untuk adu mulut dan menuruti kemauan Gina maupun Misa. Waktunya sudah ia buang sia-sia. Gito mendesaah, lalu mengangguk. Sedikit agak terkejut karena Gito tiba-tiba saja meraup tangannya dan menggandengnya dengan erat, Misa lalu tersenyum tipis, mulai mengikuti Gito yang terlebih dahulu sudah mengayunkan tungkai kakinya, meninggalkan parkiran yang sepi dan hanya di penuhi oleh kuda besi. Gina masih bergeming di tempat, ia merengut sebal, mengentakan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali. "Bang Gito, kak Misa! Jangan tinggalin Gina dong," pekik Gina sambil berlari tergopoh-gopoh, berusaha menyusul pasangan yang sudah berjalan semakin menjauh meninggalkan dirinya. Satu menit kemudian, usaha Gina sudah mencapai puncak kejayaan. Akhirnya langkah kakinya sejajar dengan kaki panjang Gito yang terayun semakin cepat. "Bang Gito jadi anterin Gina ke kelas, kan?" "Hmm..." "Kok jalannya cepet banget sih, Gina kan jadi susah nyeimbangi kaki bang Gito yang kayak enggrang ini, panjang banget gila! Nanti pulang sekolah Gina boleh pinjem kaki bang Gito buat di jadiin galah nggak? Soalnya mangga di belakang rumah udah pada kuning-kuning." Gito masih terus berjalan, tatapannya tak berpindah sama sekali, ia seolah menulikan indera pendengarannya, mensugesti dirinya agar tidak menyahut atau meladeni lebih lanjut gubrisan Gina yang melenceng jauh dari kata berfaedah. Tangan kiri Gito masih setia melilit pada pergelangan tangan Misa yang ramping. Misa sedikit terkekeh kecil mendengar ucapan Gina. Ia sedikit terhibur, gadis ini memang lucu. "Bang Gito kok diem mulu sih. Marah ya sama Gina?" Sambil terus berjalan maju, Gina sibuk pada wajah Gito yang fokus sekali pada jalanan. Ia cemberut, kali ini ia percaya jika Gito memang marah. Misa yang berjalan di sisi Gito yang lain, ikut mendongakkan wajahnya, meneliti wajah pacarnya yang sedatar papan triplek. Selanjutnya Misa menggelengkan kepalanya pelan. "Kak Misa, bang Gito beneran marah sama Gina nggak sih? Di ajak ngobrol kok diem aja?" Misa menatap Gina, lalu menyahut bersamaan dengan kedua bahunya yang terangkat ke atas. "Nggak tahu, iya kali. Coba bujuk lagi biar mau ngomong tuh," saran Misa dan diangguki kepala dari Gina dengan semangat penuh. Tanpa sadar, kini pijakan kaki Gito beserta Gina dan Misa sudah menapaki lantai, di mana tepat di depan kelas Gina. Sempat bingung sekejap, namun detik berikutnya Gina sudah paham kenapa Gito berhenti. Ia nyengir lebar. "Makasih bang Gito, nanti pulangnya tungguin Gina di parkiran ya, kalo sanggup sih dateng ke sini aja nemenin Gina piket, soalnya hari ini giliran Gina yang bertugas. Itu sih kalo bang Gito betah nungguin Gina di parkiran. Kalo udah kerja, Gina bisa lemot loh bang." Setelah ucapan tertuntaskan tanpa ada kendala yang menyela sedikitpun. Seperti biasa, Gina mengatur napasnya sejenak. Gadis cerewet itu menatap Gito tanpa henti, hingga yang merasa di tatap seperti itu kadang kala risih sendiri. "Ya kalo nggak betah gue tinggal cabut, apa susahnya?" "Ih, ngeselin banget, nggak cocok kalo bang Gito ngeselin. Mukanya nggak sepadan, songong sih boleh aja asalkan ganteng. Nah kalo bang Gito? Udah jelek, kerjaannya marah-marah mulu lagi, hadehh ...." Gina menatap nanar ke arah Gito, mulutnya berkecap berulang kali, sampai pada akhirnya ia berhenti dan menoleh ke arah Misa sebab cewek itu mengeluarkan suara. "Itu sama aja kamu ngehujat pacar aku lho Gina," ujar Misa, masih diselingi nada candaan. "Maaf kak, cuma becanda kok. Nggak bermaksud gitu, maafin Gina, ya?" "Tau kok, dan nggak usah minta maaf, santai aja," pungkas Misa cepat. Masih sama, lengkap dengan senyuman manis yang memabukkan. "Udah minta di tungguin, ngehina pula. Gue tinggal beneran baru tau rasa lo," cibir Gito sembari menatap tak suka pada Gina. "Gina tinggal ngomong sama Tante Farah sama om Huda juga bisa, biar bang Gito di marahin udah ninggalin Gina sendirian di sini." "Sebelum itu, udah gue gampar mulut lo duluan," sangkal Gito cepat, bola matanya membulat secara refleks. "Gito, udah ih. Jangan keseringan marah sama Gina, dia cuma becanda kok," lerai Misa yang sudah tak tahan mendengar pekikan dari Gina maupun Gito. Perdebatan kecil yang seringkali ia dengar, terlalu sering hingga ia kadangkala bosan dan jengah. "Udah kelewatan banget bercandanya, nggak wajar." "Kamu harusnya ngalah dong sama Gina, Kamu itu cowok, harus ngalah sama cewek," cicit Misa lagi, dan cewek itu terus membela Gina sampai Gito muak sendiri. "Iya iya, maafin aku, ya?" Misa mengangguk sekilas. Tanpa sadar, Gito sudah mendaratkan kecupan singkat di keningnya, ia sedikit grogi dan canggung. Setelah Gito mencabut kecupan yang terjadi beberapa detik itu, seketika tubuh Misa terasa panas dan menegang. Cewek itu terlihat salah tingkah, beberapa kali ketangkap basah oleh Gito ketika Misa tengah tersenyum malu lengkap dengan pipi yang merona merah. Gito terkekeh pelan, disusul gelengan kecil. Tingkah Misa terkadang mengemaskan, Gito suka itu. "Kak Misa gemesin banget kalo senyum kayak gitu," komentar Gina yang tiba-tiba saja bersuara, menyelinap dan menerobos ke dalam debaran yang tengah Misa rasakan. Gina seakan tahu isi hati Gito, gadis itu telah menyeruakan jawaban hati kecil Gito. Memang, Misa terlihat cantik dan selucu itu. Gadis itu ikut mematri sebuah sunggingan senyuman kecil. "Iyalah, pacar siapa dulu? Udah pasti gemesin. Nggak kayak lo, boro-boro gemesin, yang ada lo itu ngeselin." "Gitooo ...." Dengan suara pelan dan parau, Misa kembali mencicit. Ia menegur Gito untuk kali kesekian. "Dasar bang Gito bangsaat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD