BAB 7

1314 Words
Paras cantik itu, senyuman itu, sifat itu, semuanya hanya milikku *** MISA berniat menyusul Gito yang sekarang tengah berada di parkiran sekolah. Setelah tersenyum dan pamit kepada penjaga perpustakaan, ia mulai melangkah ke tempat itu. Di sini, Misa tidak menemukan Gina. Dan ia sangat yakin apabila Gito sekarang sudah bertemu dengan Gina. Semoga saja. Sekitar lima menit Misa berjalan sedikit tergesa dari perpustakaan, akhirnya senyumannya yang lebar, kini bertambah mengembang. Cewek itu semakin cepat menyusul Gito dan Gina saat penglihatannya menangkap mereka. Sesuatu yang pertama kali Misa dengar setelah beberapa detik telah sampai di samping kekasihnya adalah rengekan manja dari Gina. Tidak heran jika sekarang Misa mengerutkan keningnya hingga dalam, menciptakan kebingungan tersendiri lewat ekspresinya yang terlihat seperti itu. "Bang Gito, buruan ih! Katanya tadi Gina di suruh masuk ke kelas," rengek Gina lagi dan perkataan itu sudah menjadi kalimat ke lima yang dikatakannya. Walaupun demikian, Gito masih enggan menggubrisnya. Tentu saja ada tujuan tersendiri mengapa Gito bertingkah seperti itu. Yakni, ia sudah sangat menebak jika tak lama setelah ini, Gina pasti akan melepas helmnya sendiri lengkap dengan mulutnya yang monyong ke depan. Gito tersenyum remeh, matanya terus berpusat pada Gina. Ia sampai tak sadar jika Misa sudah berdiri tegap tepat di samping kanannya. Gito baru saja menoleh dengan gerakan cepat disusul bola matanya yang ia kerjapkan sebanyak dua kali, sebab ia cukup merasa terkejut akan kehadiran pacarnya yang memanggil dirinya beberapa detik yang lalu. Bukan Gito namanya jika tidak pandai memainkan ekspresinya, ia sudah cukup lihai mengontrol raut mukanya. Tak lama setelah keterkejutan yang tidak di sadari Misa maupun Gina, lantas cowok itu tersenyum manis disusul pertanyaan ringan. "Kapan kamu datang Sa?" Misa berdecih kecil, walaupun sangat tidak kentara ia melakukan hal itu, tentu ia sendiri sebal dengan Gito sampai tak menyadari kehadirannya. Dengan sedikit terpaksa, Misa buru-buru menjawabnya, "barusan, emang kenapa Gina make helm? Dia pengin pulang?" Sebelum memberi jawaban itu, Gito sempat melirik pada Gina dengan ogah-ogahan, sedetik setelahnya arah penglihatannya ia pusatkan kembali pada Misa. Gito menggeleng pelan, menghela napas panjang, dan dilanjutkan berkata dengan nada suara yang terkesan malas. "Dari tadi pagi nih bocah emang di sini, nggak tau deh mau ngapain." Mendengar itu, Gina cemberut sambil menatap Misa. Sementara Misa sedikit merasa bingung, tatapannya kemudian ia kunci dengan Gina. Selama beberapa detik ekor mata Gina dan Misa saling bertubrukan. "Gina cuma nunggu bang Gito kak, tadi pagi bang Gito nggak lepasin helm di kepala Gina, jadi Gina nggak mungkin ke kelas makai helm, kan?" Misa berniat akan menjawab pertanyaan Gina, namun baru saja ucapannya akan keluar, buru-buru ia urungkan karena Gito sudah mengeluarkan semprotan maut. Kata-kata Misa hanya tertahan di ujung lidah. Ia memandangi Gito dan Gina secara bergantian. "Elo-nya aja yang salah. Itu tangan buat apa kalo nggak ada gunanya, ha?!" Gina menutup sepasang telinganya dengan kedua telapak tangannya, matanya menyusul terpejam. Ia pusing sekaligus merasa sakit pada bagian gendang telinga karena suara Gito yang lebih dari keras itu. Sebetulnya Gina tidak perlu melakukan itu karena kedua telinganya masih tertutup helm. Sejurus kemudian, Gina segera menyangkal ucapan Gito—yang menurutnya sangat tidak cocok. "Kalo sarapan sama makan malam Gina nggak pernah disuapin bunda atau ayah kok. Kalau buang air besar Gina juga cebok sendiri, nggak minta bantuan sama orang lain. Kalo bang Gito masih nggak percaya juga ...," Ucapan Gina terjeda karena secara mendadak gadis itu merapatkan bibirnya, kemudian ia mengangkat kedua telapak tangannya ke udara, baru setelah itu ia melanjutkan kata-katanya lagi, "nih lihat, tangan Gina ada dua, kak Misa juga bisa lihat tuh, bang Gito harus percaya kalo Gina masih punya tangan. Jangan suka asal ngomong, bikin sakit hati aja." Selepas berkata panjang lebar, dadaa Gina terlihat naik turun, terlihat gadis itu tengah menetralisir napasnya agar kembali berjalan dengan normal seperti sedia kala. "Udah ceramahnya?" Alis kanan Gito naik ke atas, seringai meremehkan tercetak dengan jelas di sudut bibirnya. "Udah kok, Gina capek soalnya." Misa yang mendengar dan menyimak interaksi antara Gito dan Gina, lantas mengeluarkan gelengan kepala. Ia tidak habis pikir dengan Gina. Betul apa kata Gito, gadis itu masih punya tangan, kenapa harus Gito yang melepaskan helm di kepalanya itu? Dan apa jadinya kalau Gito tidak datang ke sini? apakah gadis itu akan tetap di sini dengan helm yang bertengger di kepala sampai pulang sekolah nanti? Di sini, Misa tidak berpihak pada siapapun. Bukan Gina saja yang ia kritik, melainkan juga Gito. Pacarnya ini juga salah. Misa sudah tahu kalau Gina adalah gadis yang manja dan cerewet, tentu saja masih polos juga. Daripada terus berdebat seperti itu, kenapa Gito tidak langsung menuruti kemauan Gina saja? Misa masih terus memandangi mereka berdua. Gito yang keras kepala, dan Gina yang tidak mau jika apa yang ia mau belum juga dituruti. Mendadak saja, Misa merasa pusing, pelipisnya ia pijit sebentar. "Gito," panggil Misa dengan pelan dengan tangan yang menyentuh pundak kekasihnya. "Iya, ada apa?" Misa kembali membuang napasnya, karena terlalu malas untuk mengucapkan sepatah katapun, ia lantas menginteruksi dengan gerakan matanya yang ia kerlingkan ke arah Gina. Gito tidak sebodoh itu untuk mengerti maksud dari isyarat mata dari Misa. Ia tahu, kalau kekasihnya ini meminta dirinya untuk menuruti kemauan Gina. Sebetulnya Gito merasa enggan melakukan, gadis seperti Gina harus diberi pelajaran agar tidak seterusnya seperti ini, bertindak semaunya dan terus menganggu Gito. Sudah cukup, Gito tidak mau direpotkan lagi dan lagi. Ada kalanya ia meras lelah. Memang kelihatan gampang dan sepele, namun manusia punya batas kesabaran dan tidak terus-terusan menuruti kemauan orang lain, termasuk Gito sekalipun. Bola mata Misa terus tersorot ke arahnya, begitu bening dan indah di mata Gito, namun kali ini ia tidak terpancing. Walaupun agak ragu, namun ia tetap meyakinkan dirinya agar tidak goyah dari benteng yang sudah ia bangun. Ia tidak akan menuruti kemauan Misa, setidaknya untuk kali ini saja. Kalau sampai ia menuruti kemauan Misa, di sini yang menang banyak sudah pasti adalah Gina. Menyebalkan sekali. Tangan Gito terulur dan jatuh di pergelangan tangan Misa, ia mencengkalnya kuat. "Ayo balik ke kelas, aku anterin kamu. Bel masuk udah bunyi dari tadi, biarin tuh bocah di sini. Paling juga bakal capek sendiri, jangan selalu di manjain kayak gini, yang ada makin ngelunjak lagi." Tatapan Gina terus terekspos ke arah Gito, ucapannya yang panjang dan terlalu cepat dari mulut Gito tidak masuk ke dalam otak Gina. Ia tidak paham sama sekali, sungguh walaupun berpikir kritis sekalipun. Otomatis, Gito segera menoleh ke belakang lagi, menatap dengan dahi yang bergelombang pada Misa. Pacarnya ini menahannya di tempat, masih bergeming. Hanya gelengan kepala yang ia tunjukkan untuk Gito, dan Gito paham akan instruksi tersebut bahwa Misa tidak mau menuruti kemauannya. Sekali lagi, Misa menyuruh Gito untuk menuruti kemauan Gina lewat matanya yang ia putar serta gerakan dagunya. Ya ampun, rasanya Gito ingin lenyap saja. Gito tidak akan sudi melakukan itu, hati kecilnya menegaskan pada dirinya agar Gina harus berusaha mandiri. Hal itu juga akan berguna bagi gadis itu sendiri. Namun, Gito sendiri juga tidak bisa menolak permintaan dari Misa, ia sudah tahu jika pacarnya ini sudah marah, hal itu akan berdampak buruk padanya. Kemarahan Misa tidak pernah main-main. Bisa berabe Gito jika hal itu sampai terjadi. Dan pada akhirnya, karena tidak ada pilihan yang lain—walaupun terasa sangat sulit—Gito mengangguk terpaksa. Ini semua karena Misa. Catat, karena Misa. Titik. Cibiran penuh seharusnya Gito layangkan untuk Gina yang kali ini akan memang, Gito dapat melihat jika Gina tengah menatapnya dengan sorot mata memelas dan berkaca-kaca. Dengkusan kasar kembali keluar dari mulut Gito, tungkai kakinya lalu mengayun sampai membawa Gito di hadapan Gina kembali. Secara paksa tanpa ada kesan lembut lewat tingkahnya, Gito langsung menarik helm dari kepala Gina. Kasar sekali sampai Gina mengaduh meluapkan rasa sakit yang ia rasakan. Gesekan bagian dalam helm dengan pipi dan telinganya ia rasakan. Gina menyeringai sebal, bibirnya mengerucut beberapa senti ke depan, sementara tangannya sibuk mengelus-elus telinganya yang kali ini sudah merah, rasa sakit juga belum kunjung menguap. "Dasar bang Gito bangsaat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD