BAB 9

1101 Words
Aku tidak tahu lagi harus meminta bantuan sama siapa, hanya kepada dirimulah aku bergantung, mengharap penuh bahwa kamu memang bisa membuatku merasa beruntung *** BEBERAPA detik setelah membaca pesan singkat dari Lisa—teman bangkunya, tubuh Gina bagai tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Refleks, gadis yang selalu membiarkan rambutnya tergerai begitu saja itu langsung menegakkan tubuhnya. Posisinya sekarang tengah duduk diatas kasur empuknya, tatapannya masih terpatri pada benda pipih yang cahayanya menyorot sampai ke wajahnya. Beberapa saat kemudian, ponsel berwarna hitam itu Gina lempar asal, disusul desahaan berat dan putaran bola mata. Ia kembali membuang napas, lalu memutuskan untuk beranjak dari benda empuk yang selalu saja menghipnotis dirinya untuk selalu berbaring di sana. Menyebalkan sekali, kenapa Gina sampai lupa kalau ada PR matematika sebanyak sepuluh soal? Rasanya leher Gina tengah dicekik dengan mati-matian. Tugas itu sudah diberi waktu selama satu Minggu, dan besok adalah waktunya untuk di kumpulkan. Setengah malas, Gina menarik kursi. Segera ia mendudukkan bokoongnya di sana. Setelah terduduk dengan sempurna, sekarang giliran tangannya yang mengambil alih untuk mengomando kegiatan yang akan di lakukan. Buku paket matematika dan buku tugas sekarang sudah terpampang nyata di hadapan Gina. Sesaat, gadis itu meneliti satu persatu soal yang tertera di kertas itu. Dahinya berkenyit tanda ia tengah merasakan bingung yang hebat. Belum juga lima menit, kepala Gina sudah diserang oleh penyakit pusing. Sumpah, demi apapun, angka-angka yang berbaris dengan rapi di sana sudah meracuni otak Gina. Ia merasa, satu buah soal saja tidak mampu ia jawab. Bukan karena rasa malas yang menyerangnya begitu saja, melainkan memang Gina yang tidak bisa memecahkan soal itu. Tak kuat menahan derita ini, cekatan dan penuh emosi, Gina langsung menutupi buku itu. Kedua bahunya merosot ke bawah, disusul punggung kecilnya yang ia hempaskan ke sandaran kursi. Gina masih merasa pusing. Tugasnya belum selesai satu buah pun. Mau meminta bantuan Lisa, rasanya juga tidak mungkin. Bukan karena Lisa pelit dalam materi pelajaran ini, Gina akui Lisa cukup pandai dan pastinya mampu untuk menjawabnya. Gina hanya tidak mau merepotkan sahabatnya itu. Selama ini, Lisa sudah sering membantunya, dan kali ini sudah cukup. Gina merasa kasihan dan tidak tega. Sampai detik ini pun, dirinya belum memberi apa-apa untuk Lisa. Mengingat segala pengorbanan Lisa, hati kecil Gina sedikit tercubit. Ia sesungguhnya malu, sudah sering sekali dirinya bergantung pada Lisa. Sementara dirinya tidak pernah direpotkan oleh Lisa sama sekali. Memang terdengar tidak adil, Gina mau mengakui akan hal itu. Otak Gina masih mencari jawaban agar ia segera lunas dari masalah tugas menyebalkan seperti sekarang ini. Pulpen yang terjepit disela jari telunjuk dan jari tengahnya sudah beralih ke arah mulutnya. Tanpa ada rasa jijik, gadis itu menggigit-gigit pulpen itu sampai ujung bekas gigitannya tadi sedikit rusak dan peyok. Tentu saja, tidak hanya itu, ludah Gina juga beralih di sana. Walaupun cuma sedikit, tetapi masih sangat kentara. Tiba-tiba saja, satu ide brilian melintas di tengah-tengah otak Gina. Gadis itu sedikit tersentak, mengerjapkan mata beberapa saat, sampai ia menyondongkan tubuhnya sedikit ke depan diikuti senyuman tipis yang terbit begitu saja lewat sudut bibirnya. Iya, ini adalah cara satu-satunya. Semoga saja berhasil. Gina buru-buru menyambar ponselnya yang tengah terbaring dengan keadaan telungkup di atas kasurnya. Setelah pola kunci terbuka, jempol Gina bergerak selincah macan tutul yang mengejar mangsanya, ia menekan nomor seseorang di sana, lalu dilanjutkan mulai mengetikan pesan singkat. Tidak lebih dari sepuluh detik, segera Gina mengetuk tombol send. Dan detik berikutnya pesan itu sudah terkirim kepada orang yang sekarang menjadi harapan Gina satu-satunya untuk membantunya menyelesaikan soal-soal keramat ini. *** Satu dentingan suara notifikasi chat membuyarkan fokus Gito yang sekarang tengah sibuk membaca buku sejarah Indonesia. Jika saja besok pagi tidak ada ulangan, mungkin saja sekarang Gito tengah meringkuk di atas kasur sambil menyetel musik kuat-kuat. Kebiasaan Gito di kamar memang seperti itu, sering menyulap tempat tidurnya menjadi tempat karaoke dadakan. Gina-rapidana: Gina sudah meluncur ke rumah bang Gito, jangan di kunci pintu kamarnya bang. Gito memijit keningnya, ia sempat berpikir sejenak, sampai kapan Gito harus hidup nelangsa berdampingan dengan manusia abnormal seperti Gina? Apakah gadis itu masih merasa kurang jika terus menyita waktu Gito hanya untuk meladeninya? Tidak di sekolah, apalagi di rumah seperti ini. Gina tidak ada henti-hentinya merenggut jatah waktu Gito yang sudah cowok itu jaga baik-baik. Gito mendesaah berat, kemudian wajahnya yang kusut ia usap dengan kasar. Sebenarnya mau ngapain gadis bloon itu datang ke rumahnya malam-malam begini? Mau meminta bantuan macam apa? Dan jangan bilang kalau Gina mau meminta dipakain popok sebelum tidur karena takut ngompol? Gito berjengit, sedikit tersentak tentang pikiran konyolnya itu. Dan ia tidak tahu tanpa ada sebab yang pasti kenapa dirinya bisa memusatkan otaknya ke arah sana. Gito kembali fokus pada Gina, ia teringat akan pesan itu yang sudah ia baca beberapa menit yang lalu, Gito segera bangkit dari duduknya, berjalan tergesa sampai ia sedikit tersandung hanya untuk mendekati pintu kamarnya. Setelah tangannya sudah menancap di kusen pintu, segera Gito dorong ke depan. Secara otomatis, akses keluar masuk dari kamar sudah tidak ada jalan lagi. Rapat sekali, pintu berwarna putih tulang itu sudah tidak menunjukkan celah sedikitpun. Senyuman Gito sedikit mengembang, seringai jail muncul. Jika sudah seperti ini caranya, Gina sudah dipastikan tidak bisa masuk dan mengganggu dirinya. Bodo amat tentang gadis itu, Gito tidak peduli. Mau teriak-teriak sampai serak saja Gito sudah membulatkan tekad kalau dirinya tidak akan terkecoh dan membukakan pintu untuk Gina. Sekalipun itu rengekan manja dari Gina. Kali ini Gito hanya ingin bebas, jatah malam harinya tidak bisa ia beri untuk Gina. "Bang Gito ada di kamar, kan? Bukain pintunya dong biar Gina bisa masuk. Sekarang Gina butuh bantuan bang Gito, cuma bang Gito aja yang bisa bantuin Gina sekarang. Nggak ada cara lain bang, bantuin Gina sekali aja dong bang, pliss ... Bukain pintu ini." Walaupun samar, karena terhalang pintu dan tembok, suara Gina masih bisa Gito tangkap. Awalnya Gito sedikit terkejut akan suara Gina yang mendadak muncul di tengah keheningan dan pikiran liar Gito. Namun, detik berikutnya ia membuang napasnya secara kasar. Dan, apa tadi kata gadis itu? Gina merengek padanya untuk sekali saja menolong kepadanya? Gito meringis mendengar kalimat itu, ia sudah mereka ulang ucapan Gina itu yang sudah terekam dengan jelas di memori otaknya. Lucu sekali, Gito sampai tersenyum kecut mendengarnya. Memangnya selama ini Gina menganggap perhatian Gito itu apa? Sebenarnya gadis itu tahu tidak kalau separuh hidup Gito sudah digunakan untuk menutupi rengekan manja dan membantu gadis itu? Entahlah, sulit menerjemahkannya. Gina berkata seperti itu seolah-olah Gito tidak pernah membantu gadis itu sama sekali. Bukannya itu sangat kejam? Kalau saja Gina ini orang asing, sudah Gito pukul habis-habisan tubuhnya. Dasar Gina nyebelin!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD