BAB 11

1038 Words
Semakin detik kian berlanjut ke menit, dan menit kian berjalan ke tiap jam, entah kenapa ada perasaan yang tiba-tiba menyelisik ke dalam hati, entah apa itu. Yang jelas, aku suka jika perasaan itu larut, atau bahkan menetap di dalam sana *** Ini yang Gito tidak suka, setelah gadis itu bersorak karena buatan minumannya di puji, gadis licik ini pasti akan meminta imbalan. Seperti ini contohnya sekarang. Jika sebelumnya Gito tahu kalau s**u cokelat yang beberapa menit lalu ia konsumsi adalah hasil cipta dan kreasi seorang Ginasya Juandani, tanpa repot dan menimbang-nimbang lagi keputusannya tepat atau tidak, sudah dipastikan Gito akan menolak itu mentah-mentah. Walaupun begitu, tetap saja hati Farah sudah membulat, ia menggeleng penuh. Sama sekali menulikan pendengarannya tentang perkataan Gito. "Nggak ada salahnya bantuin Gina, kamu juga yang bakal untung sendiri," dengan napas yang diambil secara panjang, Farah berujar lagi yang menuai respons mulut menganga dari Gito. Sementara gadis penuh kelicikan itu tersenyum sendiri. Dan Gito tidak bodoh arti senyuman menjijikan dari Gina itu, ia sudah memfonis bahwa Gina tengah mengejek dirinya dengan satu buah alasan yang sudah di terka dengan mudah. Ya, secara tidak langsung Gina meremehkan Gito karena kalah oleh ucapan Farah. Gito mendesaah keras, masih menguatkan diri agar tidak larut dalam suasana, tangannya terkepal penuh. Dan hanya itu adalah cara satu-satunya untuk menyalurkan amarahnya. Beberapa detik kemudian, napas yang sempat tertahan beberapa saat, akhirnya terbuang dengan berat. "Untung dari mananya ma? Di sini itu Gito yang akan menjadi pihak yang dirugikan. Sedangkan dia yang merasa di untungkan. Dan Gito nggak mau seperti ini," ucapanya tegas, lalu tatapannya beralih pada Gina dengan sorot mata yang menajam, "dan elo Gin, jangan repotin gue mulu. Lo bisa ngerjain tugas itu sendiri, gue percaya sama lo kalo lo bakal bisa. Berusaha dulu, cari rumusnya di buku paket, pasti ada semua di sana." Memang dari sananya Gina merupakan gadis pembangkang dan keras kepala, sudah tidak ragu apabila gadis ini menggeleng penuh rasa yakin. "Nggak mau, kalo sendiri Gina pasti bakalan ngantuk. Gina maunya diajarin sama bang Gito, mau dong bang?" rajuk Gina, untuk kali kesekian, dengan mulut yang memberenggut sebal, ia lantas maju selangkah dan berakhir di hadapan Gito. Sejurus kemudian, Gina menarik ujung kaos putih polos yang sekarang menutupi d**a bidang Gito dan sudah dipastikan Gina bakalan betah berlama-lama kalau ngedusel di sana. "Permintaan elo gue tolak," balas Gito cepat, menghempaskan tangan Gina secara kasar, tindakannya itu menuai kritikan pedas yang terlontar dari mulut Farah. "Jangan kasar sama Gina kamu! Gina cuma mau minta tolong, niat dia ke sini itu baik, cuma kamu yang bisa di andelin di sini. Bukan dia yang untung, kamu lebih untung lagi, mama udah jelasin itu barusan." "Coba mana jelasin apa keuntungan yang bakal Gito dapat dari dia?" cicit Gito, ingin rasanya mendengar seruan dari Farah selanjutnya. Diam sejenak, mencari perkataan yang cocok seraya menetralisir napasnya yang kian memburu, setelah di rasa sudah cukup cukup siap, wanita setengah baya itu kembali mendongakkan dagunya, sepasang matanya langsung bertubrukan dengan manik mata Gito yang memang sedari tadi sudah mengarah ke arah mata Farah. "Kamu bakal dapat pahala karena udah bantu orang lain, tidak hanya itu, kamu juga bakal tambah pinter. Materi ujian nanti pasti juga ada yang diambil dari pelajaran kelas sepuluh, bukan cuma materi kamu di kelas dua belas aja. Masih ada lagi, kinerja otak kamu juga bisa bertambah gesit untuk berpikir. Sebenarnya masih banyak manfaat lainnya, cuma kamu tidak menganggap mereka ada, kamu itu suka sekali menyepelekan." "Oke oke, udah cukup. Gito bakal bantuin Gina ngerjain PR, mama puas sekarang?" di titik kesabaran yang hampir habis, hanya sederet kalimat itu yang mampu Gito ucapkan. Farah tersenyum kian melebar, disusul Gina yang tak kalah memekik histeris menahan kegirangan hatinya yang semakin membuncah. "Beneran bang?" Gina memastikan ucapan Gito, apakah cowok itu berkata sungguh-sungguh atau hanya alibi semata untuk menghindari dari cacian mamanya. Gito membalasnya dengan anggukan kepala malas. "Mama turun sekarang, jangan coba-coba bohong, awas kamu ya?!" Sebelum melesat menuruni tangga, wanita itu menodongkan kepalan tangan penuh pada Gito hingga Gito berhasil dibuat bungkam oleh mamanya. Sempat beberapa detik ia merasa ngeri membayangkan itu, bulu kuduknya sampai merespons dengan mendirikan badannya. Setelah sosok Farah sudah benar-benar hilang dari pandangannya, Gito pun menghela napas kasar. Lagi dan lagi kesialan akan selalu mengekor dibelakangnya. Gina pasti menang, apapun itu caranya. Dan Gito menyimpulkan jika Gina memang benar-benar gadis penuh kelicikan yang tersembunyi di tubuhnya. Gina selalu menang apapun masalah yang tengah diperdebatkan, sama sekali tidak memberi celah bagi Gito untuk menjuarai itu semua, walaupun hanya sekali. Lamunan Gito seketika sadar saat Gina menepuk pipinya cukup keras, otomatis Gito langsung melotot penuh kebencian pada Gina. "Jangan marahin, Gina cuma nggak mau bang Gito kesurupan karena dari tadi asik ngelamun. Kan Gina juga yang bakal rugi, kalo bang Gito kesambet, bisa nggak selesai PR Gina ini. Buruan masuk!" Tidak mendengar protes yang baru saja akan Gito semprot dan layangkan, gadis itu sudah mendorong Gito masuk kembali ke kamarnya. "Elo kok bisa ngeselin gini sih jadi orang?" Menjauh satu langkah dari hadapan Gina, tangannya terlipat dengan sempurna di depan dadaa, dan pada akhirnya Gito berkata dengan nada suara yang amat melenceng dari kata halus dan penuh pengertian. Gina sempat menggerutu beberapa detik, segera ia menukas cepat jawaban untuk Gito. "Nggak usah banyak bacot lah bang, buruan mulai, sebelum keburu malam banget. Gina soalnya takut kalo pulang terlalu malam, nanti bang Gito temenin Gina, ya?" "Nggak!" "Ya udah, cukup lihatin Gina aja dari pintu depan, nanti bang Gito boleh masuk setelah Gina masuk ke dalam rumah. Deal?" Gina menodongkan tangannya, sangat berharap jika Gito langsung menjabat dan setuju dengan usulannya itu. "Kalo gitu, pulang sekarang aja. Mumpung belum malam-malam amat," jawab Gito jail, terlalu enteng sampai seringai tipis mewarnai bibirnya. "Kan bang Gito belum ngajarin Gina apa-apa, kenapa langsung nyuruh gitu? Nggak boleh, Gina aduin ke om Huda tahu rasa lo bang," sinis Gina sambil ikut bersedakep. Gito tersenyum, lalu berkata, "papa lagi dinas, sana pergi dan ngadu sekarang. Apa perlu gue pesenin taksi online buat lo?" Gina menggeleng cepat, meralat usulan pertamanya itu. Ia lantas mengulang perkataannya untuk memperbaiki kalimat sebelumnya yang seratus persen fatal. "Ya udah, ke tante Farah juga bisa." "Bangsaat emang lo Gin!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD