Jika kamu mau tahu kelemahanku, cukup mudah bagimu untuk tahu sendiri, karena titik sensitifku cuma ada didirimu, lebih tepatnya ketika kamu tersenyum penuh arti.
***
BULATAN tekad yang Gito pupuk supaya tidak peduli dengan Gina lagi sudah hilang beberapa menit setelah ia meyakinkan dirinya itu, nyatanya saja ia tidak bisa, lagi dan lagi Gito tidak menemukan titik kejelasan mengapa dirinya bertingkah macam itu.
Walaupun selalu menjengkelkan dengan ulahnya, Gito tidak bisa berbohong kepada siapapun kalau dirinya kadang merasa tidak enak hati dengan Gina. Seperti sekarang ini contohnya, ia tengah melamun sambil bertopang dagu, tatapannya yang kosong terus terpatri ke arah meja belajarnya.
Tuturan dari Lisa—teman kelas Gina—terus saja bergelantungan di tempurung kepalanya, bagaimana bisa gadis itu tidak masuk ke kelas? Gito tidak percaya jika Gina sampai membolos. Tidak mungkin sekali, gadis lugu macam Gina itu sangat mustahil jika meninggalkan pelajaran.
Tepukan cukup keras di pundak Gito membuat acara lamuan sejenak itu seketika buyar, dengan sebal dan diikuti dengan tatapan super duper sangar, Gito memusatkan matanya kepada Dion, teman bangkunya.
Menyadari akan hal itu, Dion nyengir lebar, matanya yang sudah sipit ditambah ia menciptakan ekspresi seperti itu seketika langsung memperlihatkan garis lurus di sepasang matanya. Cowok itu menggeser kursinya menjauh dari Gito.
Dion sudah sangat paham, bahkan tanpa dijelaskan lagi, ia sendiri harus waspada dua puluh empat jam kalau Gito sudah memancarkan aura tajam lewat ekor matanya itu.
"Santai aja To, jangan natap gue kayak lihat mangsa dong," ujar Dion, mendramatisir keadaan agar tidak terlalu mencengkam. Ia pun takut dengan bola mata Gito yang selegam rambutnya.
Gito hanya membalasnya dengan dengkusan kasar, disusul putaran bola matanya dengan jengah. Sejurus kemudian, ia mencabut bokoongnya secara cepat dari kursi. Lantas, setelah tubuh tegap nan menjulang tinggi itu sudah berdiri tegap, ia langsung melangkah menjauh dari kelas, menghindar dari gangguan Dion lebih tepatnya.
Seolah menulikan telinganya, Gito terus saja berjalan santai, tak peduli akan teriakan Dion maupun dua sahabatnya yang lain. Mereka asik berteriak memanggil nama dirinya, namun Gito berlaku cuek, sekadar menengok ke belakang untuk menatap para sahabatnya itu saja tidak ia lakukan.
Alibi Gito untuk menghindari dari ketiga cowok yang selalu menemani hari-harinya itu memang tak sepenuhnya salah. Hanya saja—untuk sekarang ini, tujuan menghindar dari mereka hanya untuk mencari seorang gadis. Ya, betul sekali. Tebakan kalian tidak salah atau melenceng jauh. Siapa lagi kalau bukan Gina si gadis alien kesasar dan nyungsep di bumi itu?
Tekadnya sudah bulat, entah dapat ilham dari mana, Gito memutuskan untuk mencari Gina yang katanya tidak masuk kelas itu. Gito juga dihantui rasa penasaran yang tinggi, ia sungguh ingin tahu kejadian yang sebenarnya tentang hilangnya gadis kerdil itu secara tiba-tiba. Tidak mungkin, Gito tidak percaya jika Gina bolos sekolah.
Sampai pada akhirnya, saat Gito hendak menuruni anak tangga, suara dari seseorang yang berjarak beberapa meter di belakangnya menginterupsi gerakan ayunan tungkai kakinya. Gito menjeda langkahnya. Secara serempak, kepalanya ia miringkan ke belakang, hanya memastikan siapa gerangan orang yang memanggil namanya itu.
Menyadari siapa orang itu, Gito memilih memusatkan seluruh tubuhnya kepada si pemanggil nama itu. Kini, tubuh tegap nan ideal Gito sepenuhnya terarah kepada cewek manis berkulit putih dengan rambut panjang berwarna sehitam malika yang menutupi sampai sebatas punggungnya.
Senyuman kecil Gito terbit, diikuti oleh cewek di hadapan Gito yang kini mulai mengikis jarak karena ia terus melangkah maju sampai ke hadapan Gito. Keduanya saling mengunci tatapan, begitu terjebak pesona satu sama lain.
"Misa, kamu mau ke mana?" tanya Gito, satu alisnya naik ke atas, sambil menunggu cewek dihadapannya ini—yang tak lain dan tak bukan adalah kekasihnya—angkat bicara, Gito memasukan kedua tangannya ke dalam saku. Bagaimanapun, ia harus terlihat cool dihadapan sang pujaan hati.
Sejenak, cewek cantik berlesung pipit itu langsung terkekeh kecil, lalu menggeleng samar, ia memfokuskan tatapannya lagi pada cowok dihadapannya ini.
"Hmmm ... kamu sendiri mau ngapain, mukanya kenapa tegang gitu, ada masalah?"
Seperkian detik setelah ucapan Misa terlontar, desahaan kasar lolos lagi, ingatan Gito kembali tertuju kepada Gina. Ia harus cepat mencarinya, kalau sampai sepulang sekolah Gina tidak juga ketemu, nyawa dirinyalah yang akan menjadi bahan taruhan. Bukan hanya mendapatkan semprotan Sandra, melainkan ia sendiri juga akan mendapati hal yang sama pada mama dan papanya.
Tentu saja, ia berangkat dengan gadis itu, pulang sekolah juga harus seperti semula. Dan itu semua adalah titipan dari mamanya, bukan Gito yang memintanya sendiri.
Ya kali Gito sendiri yang meminta Gina untuk terus pulang bareng dengan dirinya?
Tidak mungkin Gito meminta hal semacam itu, lebih baik ia mengantarkan Misa pulang daripada memilih pulang bareng Gina. Dan untung saja, Gito sangat beruntung memiliki kekasih seperti Misa, bukan hanya cantik secara fisiknya saja, pacarnya itu juga baik, walaupun kadangkala suka marah kalau Gito tidak menuruti kemauannya, tetapi Gito tahu kalau Misa gadis yang pengertian, tanpa menjelaskan sekalipun, Misa sudah paham.
Oke, Gito tidak perlu pusing memikirkan hal itu, Kekasihnya ini juga bukan salah satu tipikal cewek cemburuan, ataupun posesif seperti kebanyakan para cewek. No!Big no! Misa berbeda, ia tidak cemburu maupun jengkel jika Gito selalu berangkat dan pulang sekolah dengan Gina.
Dan, kalaupun Misa cemburu, berarti otak cewek satu ini sedang konslet. Iya, tidak salah lagi, apa yang harus dicemburui dari gadis aneh seperti Gina ini?
Iya memang, muka Gina terlihat masih polos, bening, dan kinyis-kinyis, wajahnya juga bersih seperti gadis pada umumnya. Hanya saja ada satu yang berlebihan yang menempel di tubuh Gina. Yap! Tepat sekali, sifat menyebalkannya itu. Ish, memikirkannya saja kepala Gito udah pusing tujuh keliling.
"Aku mau nyari Gina, kata temannya tuh bocah nggak berangkat sekolah," jawab Gito dengan suara yang terkesan jutek. Raut wajahnya juga sudah berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya, kali ini wajah imut dan senyuman itu telah tergantikan oleh kemuraman.
Tentu saja, perkataan Gito tadi membuat Misa bingung, keningnya sudah merespons dengan membentuk lipatan ganda, ekor matanya menyipit. Tak tahan menyimpan rasa bingung lagi, ia pun langsung bertanya.
"Gina nggak masuk sekolah, terus ngapain di cari? Ya nggak mungkin dia ada di sini lah, kamu ada-ada aja deh."
Misa tersenyum manis lagi, giginya yang putih, bersih, dan rapi yang berjejer di dalam mulutnya itu kini terlihat dengan jelas. Cewek itu nyengir, disusul gelengan kecil beberapa kali.
Gito ikut menggeleng malas, "tadi pagi dia berangkat sama aku, dan temannya tiba-tiba tanya ke aku soal keberadaan Gina. Nggak mungkin kalau Gina bolos, mana berani tuh bocah."
Misa manggut-manggut paham perkataan Gito, ia mengerlingkan matanya menatap sekitar, berpikir adalah cara satu-satunya untuk sekarang.
"Kalo gitu, dia sekarang di mana dong?"
"Ya mana aku tahu, makanya ini aku juga lagi mau nyari Gina."
Satu lagi, senyuman memabukkan Misa muncul begitu lebar, menciptakan debaran tersendiri di d**a@ Gito.
"Aku bantu cari deh kalo gitu, biar kamu ada temennya."
Dengan cepat, Gito langsung menggeleng, "nggak, aku nggak-nggak mau ngerepotin kamu, pacar aku nggak boleh capek, lebih baik kamu ke kelas aja sana, oke?"