Tidak ada yang lebih menakutkan di dunia ini jika dibandingkan harus kehilangan dirimu. Kamu segalanya, penuh keistimewaan, bahkan angan-anganku semua sudah melekat di tubuhmu
***
SATU lagi, Gito lupa menyebutkannya. Salah satu sifat Misa yang paling tidak bisa diganggu gugat adalah ucapannya. Apa yang cewek itu mau pada waktu ini, detik ini juga harus segera ia dapatkan. Memang, terdengar dan terlihat penuh obsesi. Tapi mau bagaimana lagi, memang itulah kenyataannya.
Tetapi, tak apa. Gito tak pernah mempermasalahkan atau mencemaskan hal seperti itu, yang menurut dirinya tidak terlalu penting. Sudah ketiga kalinya Gito tidak mengizinkan Misa untuk mencari Gina, tetapi bukan Misa namanya kalau tidak ngeyel. Cewek satu ini masih kekeuh pada pendiriannya.
Dan, sebagai jawaban terakhir karena terlalu malas berdebat, Gito memutuskan untuk pasrah dan menurut, walaupun sebelumnya ia kembali mendesaah berat. Gito tidak ingin membuat Misa repot, apalagi jika cewek itu kecapean cuma mencari manusia jadi-jadian macam Gina ini.
"Kamu yakin mau ikut aku cari Gina?" Entah untuk menjadi pertanyaan yang keberapa kalinya, namun tetap saja, Gito terus melontarkan kalimat itu untuk Misa. Bisa jadi, kan, kalau cewek itu berubah pikiran?
Misa nampak malas meladeni pertanyaan sama yang terus terlontar dari mulut Gito. Jika bukan karena status cowok itu yang menyandang sebagai kekasihnya, sudah dipastikan kalau Gito akan babak belur. Misa lalu berdecih singkat.
"Keputusan aku itu udah bulat, jangan tanya mulu deh. Mau di lakban apa itu mulut!"
Gito membalas dengan mengendikkan bahu, "ya kali kamu berubah pikiran gitu."
"Nggak akan!" balas Misa telak.
Setelah itu, Gito maupun Misa memilih untuk mendiami satu sama lain. Mereka berdua sibuk menatap ke sekeliling, barangkali tidak sengaja ekor matanya menangkap sesuatu yang tengah di cari.
Lima belas menit berlalu, dan sampai saat ini belum ada titik kejelasan bahwa Gina akan di temukan. Menyebalkan sekali, Gito sudah berdecak sebal. Sebenarnya gadis itu ada di mana? Kenapa susah sekali di cari?
Kalau sudah seperti ini jadinya. Fix, tidak salah lagi ia akan mendapatkan siraman rohani dari orang tua Gina maupun orang tuanya sendiri. Gito segera menggeleng mantap, Gina harus di temukan hari ini juga.
Gito kemudian melirik jam tangan berwarna hitam mengkilap yang melingkar dengan sempurna di lengan tangannya, jarum kecil itu masih menunjukkan pukul jam sepuluh kurang lima menit. Dan itu tandanya, bel istirahat akan segera menggema tak lama lagi.
Gito berkacak pinggang sebentar, lalu dilanjutkan menghembuskan napasnya dengan panjang lewat mulutnya. Gito menoleh ke sekeliling, tak lama setelah itu tatapannya jatuh pada Misa yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Ekspresi yang ditunjukkan Gito sangat terkejut. Refleks, cowok itu langsung menghampiri Misa yang tengah membungkuk, kedua tangannya memegang lututnya. Sudah dipastikan bahwa cewek itu sangat lelah dan merasa pegal pada area sekitar lututnya itu.
"Misa, kamu capek?" tanya Gito setelah berdiri di hadapan sang kekasih, ia ikut membungkuk.
Misa segera menegakkan punggungnya, rambutnya ia singkirkan yang menutupi sedikit wajahnya, senyuman Misa terbit begitu saja, lalu bersamaan dengan matanya yang terpejam, Misa menggeleng pelan.
"Nggak pa-pa kok, cuma pegal dikit, hehehe ...."
"Udah, kamu istirahat aja, aku bisa cari Gina sendiri kok, nggak usah dipaksain, nanti kamu malah tambah sakit. kan, aku juga yang rugi kalau kamu nanti jatuh sakit," ucap Gito yang menyiratkan kekhawatiran, kedua tangannya terangkat, terulur begitu saja, dan jatuh di pundak Misa, ia menepuknya beberapa kali.
Misa tersenyum jail, "emang kamu rugi apaan kalo aku sakit? Yang ada itu aku kali."
"Ya nggak bisa lihat senyuman manis kamu lah, dan nggak bisa nyubit pipi kamu ini."
Dengan gemas, pipi mulus cewek itu Gito tarik hingga si empunya langsung mengaduh dan memekik kesakitan. Walaupun begitu, perlakukan dan ucapan Gito membuat Misa diserang penyakit jantung secara mendadak.
Pipinya sudah merasa panas, dan Misa yakin bahwa sekarang rona merah sudah menyeruak dan menjalar di sepasang pipinya ini. Ia tersipu malu. Sementara Gito yang menyadari itu hanya terkekeh ringan.
"Sana, balik ke kelas aja, aku kuat kok cari Gina sendiri. Emang apa susahnya sih cari gadis b***t macam itu?"
"Oh iya? Tapi kenapa dari tadi belum nemu juga, katanya gampang, dasar!"
Mulut Misa sudah menggerutu, hal itu membuat Gito gemas sendiri, ia selalu senang jika Misa merajuk, sebab jika cewek itu dalam mode ekspresi seperti itu, tingkat kecantikannya akan bertambah dua kali lipat.
Gito menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal sedikitpun, ia nyengir kuda ke arah Misa.
"Aku masih kuat, oke? Jadi jangan suruh aku balik ke kelas, tadi cuma pegal sebentar, dan kali ini udah ilang kok. Yuk, cari Gina lagi."
Misa sudah bersiap kembali melaju dengan sepasang kakinya yang panjang, namun belum juga hal itu terwujud secara sempurna, suara Gito kembali menyatu dengan udara hingga pergerakan Misa seketika urung terlaksana.
"Yakin? Beneran nggak?"
Penuh semangat dan kepercayaan diri yang begitu besar nan tinggi, Misa mengangguk lengkap dengan senyuman meluluhkan jantung Gito untuk kembali berdenyut.
"Oke, kalo gitu kita mencar aja gimana? Biar cepet ketemu, itu sih kalo kamu setuju."
"Oke, Bos!"
Setelah memutuskan untuk berpisah sesaat, Gito segera melaksanan tugasnya lagi. Rooftop sekolah sudah ia kunjungi, perpustakaan sekolah akan di cek oleh Misa, dan Gito hanya memiliki dua tempat lagi yang belum ia kunjungi. Aula sekolah dan parkiran.
Untuk sekarang, Gito memilih opsi yang kedua untuk ia kunjungi terlebih dahulu. Tentu saja ada alasannya, sebab jaraknya yang paling dekat dengan dirinya berada yaitu parkiran sekolah. Walaupun tidak yakin Gina ada di sana, Gito akan memastikannya. Tentu saja, daripada tidak sama sekali.
Setelah sampai di sana, tentu saja keadaan sangat sepi, hanya segelintir murid yang nongkrong duduk di atas jok motor sambil bercengkrama dengan teman-temannya. Gito terus melangkah, semua penjuru dan sudut harus ia cek dengan mata jernihnya, tidak boleh ada yang kelewat sedikitpun.
Kaki panjangnya terus memaksa melangkah lebih jauh dan dalam lagi.
Seketika, tanpa di sengaja, bola mata Gito sudah membulat menyerupai bola kasti, ia tidak mungkin salah lihat, lantas segera ia kerjapkan matanya sebanyak tiga kali. Dan, masih sama, gadis yang berdiri beberapa meter di hadapannya memang Gina.
Gito tersenyum sesaat, akhirnya gadis itu ketemu juga, dan ia tidak tahu kenapa merasa sesenang ini cuma bisa menemukan Gina. Oke, ini terlalu berlebihan. Detik selanjutnya Gito berdehem satu kali, kembali bersikap cool seperti biasanya.
Cowok jangkung itu berjalan ke arah gadis itu. Aneh sekali, kenapa Gina berdiri di sana seorang diri? Ada apa gerangan dengan gadis itu? Sepertinya Gina belum menyadari akan kehadiran Gito yang perlahan mengikis jarak dengannya.
Tidak sia-sia Gito memeriksa tempat ini. Tempat yang menurutnya sangat mustahil untuk mencari keberadaan Gina, malah menyembunyikan gadis itu di sana.
Kata Lisa, Gina tidak masuk sekolah, bukannya berarti gadis itu belum memasuki kelas sejak jam pertama? Apa Gina berada di sini dari tadi pagi? Tetapi untuk apa dan ada keperluan apa?
Kening Gito tidak bisa menyingkirkan kerutan yang tercipta berlapis-lapis, terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, tentang kejanggalan dan keanehan akan sikap Gina.
Merasa tidak bisa mencegah rasa keingintahuan yang sudah membludak, Gito mempercepat langkah kakinya, ia butuh kejelasan dari si gadis yang selalu menyusahkannya itu.