BAB 3

1128 Words
Aku punya hati yang masih terjaga, dan hati ini mungkin akan menjadi yang pertama saat diterbangkan oleh kamu, dan yang akan menjadi pertama pula saat kamu menjatuhkannya begitu saja. *** SECARA serempak, kedua ban motor ninja milik Gito berhenti dengan sempurna di parkiran sekolah. Sungguh, berdebat dengan gadis aneh diboncengannya ini membuat kepala Gito pusing secara mendadak. Mungkin inilah sudah takdirnya bahwa Gito akan selalu kalah melawan Gina. Terkadang, Gito curiga, kenapa dirinya selalu kalah jika sudah berurusan dengan Gina? Setelah berdiri dari jok motornya, Gito segera melepas helm full face-nya yang masih membungkus kepalanya. Beberapa saat kemudian ia meletakkan helm itu di spion motornya dan disusul merapikan jambul rambut kebanggaannya. Ketika sudah melangkah sebanyak tiga kali menjauh dari motornya untuk pergi ke kelas, sebuah pekikan dari Gina membuat acara jalan kaki Gito berhenti begitu saja. Cowok jangkung itu mendesah berat, dengan ogah-ogahan ia menoleh ke belakang, alisnya menukik, rahangnya semakin tegas, lengkap dengan bola mata tajamnya yang ia arahkan ke gadis pembawa s**l itu "Apa?" Gito bertanya dengan nada suara yang terkesan membentak. Tentu saja ia melakukan hal seperti itu, sebab dirinya masih emosi. Gina mulai berjalan menyusul Gito yang sudah ada di depannya, bibir mungilnya mengerucut ke depan, lalu beberapa detik kemudian diikuti dengan suara khasnya. "Bang Gito kok ngomongnya ketus gitu sih sama Gina? Emang Gina salah apaan sama bang Gito?" Sedetik setelah perkataan Gina menyumpal di gendang telinganya, Gito segera merotasikan sepasang bola matanya yang berwarna cokelat gelap, desahan kasar baru saja lolos dari mulutnya. Dan kali ini, kedua tangannya terlipat di atas d**a. "Helm-nya lepas dulu sebelum lo ngomong. Sana balik lagi," ucap Gito sambil mengusir Gina dengan kelima jarinya yang ia angkat ke udara, ia mengibaskan berulang kali agar Gina paham. Namun, bukannya beranjak pergi untuk menurut, gadis menyebalkan ini malah kembali melontarkan kalimat. "Emang nggak boleh ngomong kalo Gina belum lepas helm ini, nggak ada peraturannya juga kok, kenapa bang Gito larang?" sangkal Gina enteng. Saking entengnya malah membuat d**a Gito langsung bergejolak tak keruan, menahan kesal dan berusaha meredam emosinya agar tidak tumpah. Ini masih pagi, dan Gito bersikeras menyangkal itu semua. "To the point aja, lo panggil gue buat apa?" Gina tersenyum sangat lebar, seolah ia sendiri lupa dengan perkataan sebelumnya. Terlalu senang, hingga gadis itu memekik kegirangan. Jangan salahkan Gito kalau ia mencebik bibirnya kesal. "Gina maunya cuma dilepasin helm ini sama bang Gito, ayo buruan bang!" Bersamaan dengan wajahnya yang nampak berseri-seri, Gina menarik ujung seragam Gito berulang kali. Merengek penuh percaya diri. Dan, kalau sudah begini, gadis itu sudah kelihatan seperti bocah yang merengek untuk dibelikan permen lollipop. Gito segera menjawab tegas, "ogah banget, lo masih punya tangan, jangan bergantung sama gue mulu lo, usaha sendiri lebih baik. Gue cabut, ada PR yang belum gue kerjain." Selepas mengatakan dengan sangat berwibawa, keras, serta tegas, Gito langsung berbalik badan, kali ini ia tidak peduli akan teriakan gadis itu. Sekali-kali diberi pelajaran agar Gina sadar dan tidak menggangu kehidupannya lagi. Berulang kali Gito mendengar teriakan Gina yang sungguh keras, namun Gito malah berpura-pura menulikan indera pendengarannya. Dia tidak peduli, biarkan saja gadis itu melakukannya sendiri. Memangnya apa susahnya melepas helm? *** Gito, beserta rombongannya—dengan baju olahraga yang sudah menyerap keringat—masih duduk di pinggir lapangan seusai melakukan olahraga. Mereka butuh istirahat, dan akhirnya berteduh di bawah pohon mangga sebagai pilihan mereka. Asik tertawa karena banyak lelucon yang dilontarkan dari salah satu sahabatnya itu, tiba-tiba saja suaranya tersekat, tidak hanya Gito, ketiga sahabatnya juga diam. Pandangan mereka secara serempak tertuju pada seorang gadis dengan pipi sedikit tembam, rambutnya dicepol satu menyerupai ekor kuda, ia tengah berjalan dengan tergesa ke arah sini. Mereka saling pandang, tidak ada yang mengenalnya di sini, begitupun dengan Gito. Setelah berhenti di hadapan keempat cowok itu, gadis yang dikenal bernama Lisa itu menunjukkan raut wajah gelisah. Keheranan mereka bertambah satu, di sini tidak ada yang kenal dengan gadis ini, dan kenapa tiba-tiba ia malah menunjukkan raut wajah seperti itu? Entahlah, mereka berempat masih digeluti rasa penasaran. Gito yang merasa tak tahan, segera bertanya kepada gadis ini kenapa ada di sini, dan apa tujuannya menemuinya bersama teman-teman ini. "Lo siapa? Dan ada keperluan apa? Butuh bantuan?" Wajah Gito mendongak ke atas karena posisinya sekarang sedang duduk, ia bertanya menyuarakan isi hati sahabatnya. Dengan kompaknya, mereka berempat menunggu jawaban dari Lisa. "Aku mau tanya sama kak Gito," ujar si gadis, ekspresinya tidak berubah seperti beberapa menit yang lalu. "Gue? Lo kenal gue?" Gito yang sedikit terkejut, langsung menunjuk dirinya dengan jari tangannya. Lisa mengangguk satu kali. Ekor matanya masih saja tertuju pada Gito. "Emang lo ada urusan apa sampai nyari-nyari Gito segala dek?" tanya Dion karena terlalu penasaran, dia duduk tepat di sebelah kanan Gito. "Aku cuma mau tanya Gina sama kak Gito," jawab Lisa lirih. Seketika alis Gito tertaut begitu nama Gina di sebut, memangnya ada apa dengan gadis perusuh itu? Ia berpikir sejenak, namun kembali menengadah kepalanya menatap gadis di hadapannya ini, yang Gito rasa adalah teman dari Gina. "Emang Gina kenapa? Dia gangguin lo atau udah malak lo? Sori, itu bukan urusan gue, jadi lo jangan tanya-tanya tuh bocah sama gue, lo ngerti?" Sorot mata Gito menghunus sampai menusuk manik mata Lisa, sebenarnya Lisa agak takut menghadapi Gito yang seperti ini, namun ia tidak boleh seperti itu. Bernapas untuk kembali menenangkan dirinya, Lisa segera menyangkal perkataan Gito. "Bukan gitu kak, aku cuma mau tanya, kenapa Gina nggak masuk sekolah? Aku tanya kakak soalnya kak Gito selalu berangkat bareng sama dia, lagipula kak Gito juga tetangga Gina. Jadi, aku cuma bisa tanya ke kakak." Gadis itu bernapas lega sesuai mengatakan kata-kata panjang barusan itu, ia menunduk sesaat, lalu tak lama kemudian ia kembali mengarahkan bola matanya untuk menatap Gito sebab cowok itu mengeluarkan kalimat. "Tunggu, lo bilang Gina nggak masuk?" Lisa mengangguk, mendadak Gito berpikir. Ia ingat betul dan mustahil kalau dirinya hilang ingatan. Tadi pagi dirinya memang berangkat dengan gadis itu, tetapi kenapa Lisa mengatakan Gina tidak masuk sekolah, sebenarnya gadis itu ada di mana? Gito masih memikirkan itu, Gina selalu saja menyeret dirinya seperti ini. Gito kemudian menoleh saat sahabatnya mengeluarkan suara, menginterupsi ajang berpikir kritisnya. "Lo ingat-ingat lagi To, lo beneran tadi pagi berangkat bareng tuh anak?" tanya Yogi diikuti anggukan kepala dari Dion dan Nino. Gito mendesaah kasar, bola matanya ia putar dengan malas. "Lo pikir gue pikun apa? Gue masih ingat kali, tapi kenapa tuh bocah tiba-tiba ilang kayak gini? Aneh banget, nggak mungkin diculik genderuwo, kan?" Dion, Yogi, dan Nino mengangguk mengiyakan. Tak terkecuali dengan Lisa yang masih setia berdiri di sana. Mereka menutup mulutnya, otaknya bekerja keras, berusaha mencari alasan yang masuk akal ke mana hilangnya Gina. "Tapi bisa jadi sih tuh bocah diculik makhluk halus, mukanya juga masih kayak bayi gitu, iya nggak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD