BAB 2

1163 Words
Hati yang sedang galau tentu saja bisa di tata kembali. Akan tetapi, apakah hati yang sudah terlanjur kecewa bisa diperbaiki lagi? *** "INGAT Gin, manjanya dikurangin napa! Gue berasa pengin jeburin elo ke kolam kodok," celetuk Gito yang sekarang sudah duduk manis di atas motor besarnya. Tatapan cowok itu terus terpusat kepada gadis yang berdiri setengah meter darinya. Gito berdecih ulang, bukan tanpa sebab ia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Hanya saja, menurut dirinya gadis itu memang sangat aneh dan manja. Hanya masalah Gito tidak setuju memakaikan jaket ke tubuh gadis itu, seperti biasa—tidak heran lagi—Gina akan selalu merengek. "Bang, jangan marah-marah mulu sama Gina dong. Di sini Gina, kan, cuma mau dipakaikan jaket, dasar bang Gito pelit, kuburannya sempit baru tau rasa lo bang!" Gito tidak memedulikan celotehan Gina, yang menurutnya jauh dari kata berfaedah. Terlalu panjang bertele-tele, apalagi setiap ucapannya tidak ada pengajarannya. Bikin perut Gito mendadak mules saja. Awalnya, Gito sudah sangat bersyukur jika Gina marah kepada, toh itu semua tidak penting bagi dirinya. Bahkan sebaliknya, Gito malah mendapat banyak keuntungan. Terbebas dari gadis itu. Tetapi, harapan yang sepenuhnya dia yakin memang kenyataan, seketika langsung pupus terbawa angin ketika Sandra—mama Gina—berbicara kepadanya bahwa mereka harus berbaikan. Awalnya Gito bingung, di sini posisinya yang marah kepada dirinya adalah Gina, Gito sendiri tidak merasa seperti itu. Tapi sudahlah, lagipula saat Sandra berbicara baik-baik seperti itu, Farah—mamanya—juga ikut mendengarkannya. "Hei cewek manja, lo masih punya tangan! Ngapain minta tolong gue, emang tangan lo mau buat apa? Pajangan doang?" Masih tidak berpindah dari posisinya, Gito tersenyum kecut. Seketika wajah Gina cemberut, tetapi ia sama sekali tidak beringsut memakai jaket berwarna coklat s**u itu ke tubuhnya. Gadis kecil itu hanya diam di tempat. "Astaga, malah diem lagi nih bocah. Buruan Gina! Nggak ada waktu lagi, nanti kita terlambat, bukan hanya gue, tapi elo juga bakal di hukum!" Sungguh, butuh kesabaran lebih jika sudah berhubungan dengan gadis menyebalkan ini, emosi Gito memang gampang terkuras jika sudah menyangkut tentang Gina. Padahal, ini masih pagi, tetapi Gina seolah tidak kenal tempat dan waktu untuk mengganggunya. "Ih ... bang Gito ngeselin mulu sih dari dulu. Udah berapa kali Gina ngomong sama bang Gito kalo Gina itu mau dipakaikan jaket cuma sama bang Gito, buruan bang, katanya biar nggak terlambat," seru Gina lagi, masih teguh pada pendiriannya, terlalu kokoh, hingga Gito susah merobohkannya. Sudah minta dibantuin, mendesak pula! Dasar Gina, gadis itu selalu saja memaksa, tidak mau tahu lagi. Bagi Gina, dirinya harus mendapatkannya apa yang hatinya inginkan. Entah itu sampai kapan, yang penting keinginannya terkabul dengan sempurna. "ENGGAK! kalo lo nggak mau nurut, gue tinggal lo di sini," ancam Gito disusul matanya yang melotot tajam, tentu saja Gina yang melihat itu seketika langsung gelisah. Bola mata Gina semakin jernih, matanya berkaca-kaca. Sudah tidak asing lagi bagi Gito, kalau tidak merengek, ya pasti akan menangis. Ah, Gito sudah hapal diluar kepala. Dalam hati, Gito sudah menghitung mundur dari tiga menuju satu. Setelah hitungannya selesai dan ... Tepat sekali. Gina akan menangis, mulutnya sudah terbuka setengah. Sebelum hal itu tejadi, Gito segera menarik tangan Gina—yang untungnya posisi gadis rewel ini dekat dengannya—hal itu sukses memudahkan Gito menarik tangan Gina. Sejurus kemudian, Gito langsung mendekap mulut Gina. Ini masih di depan rumah Gito, sudah dipastikan kalau suara Gina menangis akan di dengar oleh mamanya, Gito tak mau kejadian itu lekas terwujud. "Diem, lo bisa diem nggak?! Lo itu udah gede, nggak cocok nangis kayak ini," omel Gito, mengecilkan volume suaranya, tentu saja bertujuan agar orang lain tidak bisa mendengarnya, terutama sang mama. Masih membekap mulut Gina dengan telapak tangannya yang lebar, Gito terus berbicara dengan nada mengancam, raut wajahnya penuh keseriusan. Gina terus saja memberontak, dan untuk usahanya yang entah ke berapa kali, akhirnya ia berhasil dari dekapan tangan Gito yang beberapa detik lalu menempel di mulutnya. "TANTE FARAH, BANG GITO NGGAK MAU NU—" "Iya iya gue turutin kemauan elo, sekarang Lo bisa diem nggak?!" Selalu saja, pada akhirnya Gito yang akan kalah. Seribu satu cara pasti Gina lakukan agar keinginannya tetap terkabul. Wajah cemberut dengan mata berkaca-kaca sudah lebur dan telah digantikan dengan senyuman paling bahagia yang terpancar lewat kedua sudut bibir gadis ini. Gito berdecak malas, ia beringsut turun dari motornya, rasanya malas, tetapi ia tetap melakukannya. "Ya udah mana?" Tanpa menatap gadis gila dihadapannya ini, Gito segera menodongkan tangannya, meminta sesuatu dari Gina. "Ya ampun bang Gito, nggak ikhlas banget kalo mau nolongin Gina, biasanya Gina juga selalu nebeng bang Gito, kan? Sekarang kenapa minta Gina buat bayar? Gina nggak punya duit bang, kemarin udah abis buat bayar arisan di kelas, hehehe ...." Tangan yang terkepal sangat kuat, diikuti gigi yang bergemelutuk nyaring, Gito mencoba meredam emosinya. Gadis ini memang rada-rada, jadi sebisa mungkin Gito harus mampu mengendalikan dirinya. Gito tidak langsung membalas ucapan Gina, biar saja gadis b***t itu sadar akan kesalahannya sendiri. Telapak tangan Gito masih tertodong ke arahnya, terbuka dengan sempurna. "TANTE FARAH, OM HUDA, TOLONGIN GINA, BANG GITO MAU NGRAMPOK DU—" Ya ampun, apa-apaan itu! Gina dengan tampang bodohnya malah berteriak seperti itu. Kuatkanlah hati Gito yang tersakiti ya Tuhan! Gito kembali membekap mulut tukang ngadu milik Gina itu, kali ini ia tekan dalam-dalam, sesekali gadis s****n ini harus diberi pelajaran. "Eh Gina b***t, kenapa lo teriak gue ngerampok duit lo segala?! Emang gue kekurangan uang saku apa!" Gito berdecak kesal, ia kemudian mendorong tubuh Gina ke belakang. Lama-lama dirinya bisa stres kalau terus-menerus berdekatan dengan Gina. "Nah betul, kan? Tadi kenapa bang Gito ngangkat tangan, itu namanya apa kalo nggak mau minta Gina duit? Dasar bang Gito jelek, mata duitan, nggak ikhlas nolongin orang lain," maki Gina sambil menjulurkan lidahnya, tentu saja di tujukan untuk Gito. "Eh manusia kerdil, situ masih waras nggak sih, tadi lo mau minta bantuan gue apaan?!" Gito bersedakep, menatap nyalang ke arah gadis dihadapannya ini, wajahnya sedikit membungkuk karena tubuh Gina memang pendek. "Gina cuma pengin dipakein jaket sama bang Gito," jawabnya jutek, bersama dengan wajahnya yang kembali ditekuk muram. "Lha, nih anak emang b***t atau pura-pura polos sih?! Ya udah jaketnya mana?! Gue tadi bukan minta duit, tapi minta jaket elo, katanya mau dipakein." Spontan kening Gito menunjuk garis-garis lurus vertikal karena gadis dihadapannya ini malah mengusap-usap wajahnya. Begitu mendengar perkataan Gina setelahnya, mendadak amarah Gito kembali mencuat, siap meledak sekarang juga. "Bang Gito kalo ngomong nggak usah pakek kuah bisa nggak sih, wajah Gina jadi jelek kena iler bang Gito tau, pokoknya bang Gito harus tanggung jawab!" Gito memilih tidak menyahut, bergeming di tempat, tetapi mulutnya sudah bergerak naik-turun, menahan kesal yang teramat sangat dalam. "TANTE FARAH, BANG GITO NGGAK MAU TANGGUNG JAWAB SAMA GINA!" "Serah lo deh Gin, terus aja lo ngadu sama nyokap gue." Gito sudah menyerah. Oke, cukup sampai sini saja, dia lelah. Entah dengan gadis itu. Setiap hari pasti selalu begini, dasar Gina tukang ngadu, bocah tengik yang bertindak semaunya, tukang suruh dan perusuh, pokoknya segala sesuatu sifat buruk sudah terlibat di diri gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD