“Aku bangga nek kowe nduwe keputusan koyo ngono,” kata Zuhdi ketika dengan tegas Banyu mengatakan dia memberi kesempatan untuk Nadia menentukan arah, mau terus monggo kita penjajakan maksimal satu tahun tapi kalau mau putus ya silakan. Tapi Nadia katanya mau terus penjajakan, jadi bukan Banyu menolak untuk melamar Nadia. Tidak dia tidak menolak melamar Nadia, hanya mengundurkan waktu saja. Dia akan melamar bila mereka sudah punya kecocokan. Tapi bila belum dia akan mundur. Tapi saat ini tidak bisa dibilang dia menolak, dia hanya mundur untuk mempersatukan misi dan visi mereka untuk berumah tangga kedepannya.
“Ya kalau memang dia jodoh terbaikmu aku setuju. Tapi nek ora arep piye meneh?” kata Zuhdi selanjutnya.
Sekarang Zuhdi yang ada di angkringannya Banyu.
“Aku pikir kamu di angkringanmu, aku mau ke sana malah kamu bilang kamu on the way ke sini.
“Kita kalau on the way ke angkringan masing-masing harus lapor jadi nggak selisih jalan,” tegas Banyu.
“Aku mengerti mergo kui aku mau lapor sik karo kowe,” kata Zuhdi dia memang lebih senang menggunakan bahasa Jawa sehari-hari. Begitu pun di kampus atau di angkringannya.
“Bener daripada kita kecewa, misalnya aku nggak ada di angkringanku, kamu tahunya sudah nongol. Atau aku lagi sama Nadia tentu kamu males karena kamu nggak suka sama Nadia,” balas Banyu. Dia tahu Zuhdi tak suka akan pilihannya.
“Aku bukan nggak suka. Aku nggak ngelarang kamu sama Nadia, cuma menurutku dia tuh bukan type kamu, bukan apa ya, bukan type kamu banget begitu loh. Dia kolokan segala macam yang kamu tuh nggak suka.”
“Kamu kan sama dengan aku. Sama suka cewek yang mandiri, yang pinter, enggak kemayu. Cuma kamu senangnya perempuan ke ibuan, aku senang perempuan tomboy. Itu saja perbedaan kita. Tapi untuk kriteria kemandirian, kepintaran dan segala macamnya kita sama.”
“Itu yang aku bingung. Kamu kok suka sama Nadia. Nadia itu sudah keluar terlalu jauh dari kriteriamu.”
“Nadia itu terlalu bergantung sama orang lain, enggak mandiri dan segala macamnya yang bertolak belakang sama kriteria idolamu.”
“Aku juga nggak mengerti kenapa tiba-tiba kepengen deketin dia, walau jujur aku ya nggak SIR ( tidak naksir atau suka ) amat dalam artian nggak yang gimana ya, aku enggak yang merasa klik banget begitu loh,” Banyu selalu jujur pada sahabatnya itu.
“Semua orang suka dia, semua orang bilang dia sedang single sehabis putus dengan Damar dan semua orang berlomba-lomba untuk ngedapetin dia. Jadi aku yang berupaya untuk ngedapetin dia. Hanya itu tujuanku awalnya.”
“Dan karena aku ngedapetin dia aku merasa beruntung. Artinya aku menang dari semua kompetitor. Itu saja,” kata Banyu.
“Aku bisa ambil kesimpulan kamu tidak mencintai Nadia! Jadi kalau dalam tiga bulan ini kamu tidak mencintainya, tidak menemukan titik temu, lebih baik kamu katakan saja padanya.”
“Daripada kamu buang waktu sembilan bulan kedepannya lagi. Cukup tiga bulan penjajakanmu. Cukup tiga bulan,” kata Zuhdi karena jelas-jelas Banyu itu tidak mencintai Nadia.
Sahabatnya itu hanya merasa tertantang, semua teman-temannya di kampus mengejar-ngejar Nadia yang baru jadi jomblo. Jadi Banyu nggak punya rasa cinta sama sekali, dia hanya ingin memenangi tantangan tak resmi karena semua orang mengejar-ngejar Nadia. Itu saja.
Banyu langsung berpikir apa yang Zuhdi katakan adalah benar. Dia tidak cinta sama Nadia. Dia hanya merasa harus memenangkan pertarungan dan dia mendapatkannya. Itu saja.
Tapi Banyu juga nggak mau dong sembarangan melepas. Jadi ya sudahlah sekarang dia akan jalanin saja. Mudah-mudahan tiga bulan kedepan dia dapat titik temu untuk menjadi kekasih Nadia yang sepenuhnya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Agung datang bersama dua orang temannya juga adik perempuannya rupanya sang adik sedang ditaksir oleh Ali teman kampus Agung tentu. saja orang tua Agung tidak mengizinkan Rini adik Agung keluar sendiri karena adiknya masih SMA kelas tiga dan mau ujian.
Karena larangan orang tuanya seperti itu, jadi Agung minta sama temannya menanti di tempat pertemuan saja, nanti dia akan keluar bareng dengan Rini.
Di angkringan Agung duduk bersama satu orang temannya yang bernama Utoro, dan Ali duduk bersama Rini beda meja. Hanya semua yang bayar adalah Ali. Daripada dia nggak bisa keluar sama Rini, lebih baik dia bawa Agung dan Utoro untuk menemani mereka jalan.
Sekarang bukan malam Minggu, tadi Agung bilang mau cari buku untuk pelajarannya Rini, jadi diperbolehkan oleh sang ibu.
“Falisha itu sudah cantik, pinter, suaranya bagus, nggak pernah neko-neko, nggak punya sifat buruk, apalagi ya yang bikin dia itu ngangenin,” Utoro merinci semua sifat baik Falisha.
Tentu saja Agung merasa jadi kalang kabut, dia salah bawa teman. Ternyata Utoro juga suka pada Falisha. Setidaknya Utoro mengagumi Falisha.
“Aku juga punya perasaan seperti itu. Dia pintar, bertanggung jawab, nggak pernah malu kalau bilang dia kerja sambil kuliah. Pokoknya dia apa adanya. Dia juga nggak punya yang tadi kamu bilang track record buruk, mentang-mentang kekurangan lalu seperti teman-teman kita. Banyak lah, lebih-lebih anak sekretaris. Tahu sendiri. Jadi ani-ani.”
“Sedang Falisha tidak. Lalu yang aku suka juga, dia jujur. Lima hari lalu aku tawarin dia untuk jadi pengurus angkatannya dia, supaya sering rapat sama aku. dia jujur dia bilang bahwa dia kuliah sambil kerja dan segala macamnya.”
“Begitupun Eni sahabatnya. Eni juga seperti itu, jujur. Dia kepengen ikut semua kegiatan, tapi tidak diperbolehkan oleh orang tuanya, karena dia anak pingitan. Aku suka keduanya,” kata Agung.
“Ya satu saja lah yang kamu sukai, dan aku harap bukan Falisha karena kayaknya aku pengen kejar Falisha,” kata Utoro.
“Kalau begitu kita bersaing secara jantan. Jangan main sikut-sikutan. Siapa yang dapat silahkan, yang nggak dapat ya sudah legowo. Tapi kalau kita nggak dapat dua-duanya ya apa mau dikata. Sepertinya dia belum punya niat untuk berdekatan dengan pria karena fokusnya adalah mencari uang untuk adiknya. Adiknya sekarang masih SMP kelas 2 kalau nggak salah. Tahun depan dia ingin menyekolahkan adiknya kembali ke sekolah swasta. Itu yang aku dengar dari teman-temannya,” ajak Agung pada Utoro. Dia ingin main fair.
“Wah kamu sudah menyelidiki dia?” tanya Utoro. Dia tak mengira Agung serius ingin mendekati primadona angkatan satu itu.