FIRST KISS

1324 Words
"Astaga... Astaga... Anda sudah bekerja keras hari ini tuan." Pak Lukman selaku kepala sekolah atau kepsek geleng-geleng kepala meletakkan air dingin di atas meja, sesekali melirik ke arah Aziel. Lelaki itu berbaring di sofa, lebih tepatnya tepar habis di jemur, terus keliling lapangan, belum berhenti disana, dia pun harus menyapu halaman sekolah. Sial. Bukan double sial lagi, tetapi kill. 'Semua gara-gara gadis tipis itu.' Aziel berdecak kesal, melonggarkan dasinya lalu duduk dan menyambar air dingin pemberian pak Lukman meneguknya dengan sekali tarikan nafas. "Eerrhh.. aah.. leganya." Pak Lukman membuang nafas, ikut lega melihat Aziel tampak puas walau hanya air dingin. "Jadi... Anda mau di tempatkan dimana?" "Sebelum itu," Aziel memperbaiki dasi, merapikan tatanan rambut sambil berkata, "apa di sekolah ini tidak punya peraturan?" "Apa?" Aziel melanjutkan melihat tatapan bingung pak Lukman. "Maksud saya, peraturan tentang murid perempuan mengendarai motor ugal-ugalan sampai mengakibatkan kecelakaan." "Apa!? Ah, saya memang mendengar tentang kegaduhan tadi pagi. Apa jangan-jangan.." "Benar sekali tebakan anda pak, saya korbannya. BHAHAHAHAHA. Sial." Pak Lukman meringis, dalam hati ngedumel tau kelakuan siapa lagi kalau bukan Jovan si anak badung. "Tapi, bapak baik_" "Sama sekali tidak. Karena itu.. buat peraturan untuk melarang murid perempuan..." Terhenti kala mendengar suara teriakan dari luar sana. "Ada apa lagi ini? Sebentar, anda duduk saja." pinta pak Lukman, sudah pasti Aziel tidak akan menurut begitu saja dan memilih ikut bangkit dari sofa. Ingin tahu apa yang terjadi, pak Lukman dan Aziel mengintip dari jendela. Sayangnya malah sepi, membuat keduanya heran. "Biar saya saja," ucap Aziel saat pak Lukman hendak keluar, dan menahan beliau. Lari dan terus berlari di kejar Johanes, biasa ketahuan lagi nyari masalah sama si abang jadinya gini. Jovanka mengibas tangan. "Minggir woi!!" teriaknya. Gadis berpipi chubby itu berlari menerobos kerumunan siswi yang sedang menonton permainan basket. Suara jeritan dan teriakan protes bersahutan, beberapa bahkan sampai jatuh terjengkang karena tidak sengaja tertabrak oleh Jovanka yang berlari kencang seperti banteng. “Jovan! Berhenti!” Johanes mengacungkan tinjunya sambil melotot. Melihat itu, alih-alih menurut, justru Jovanka malah semakin mempercepat larinya. “Stop ngejar gue! Lu kalo mau ajak main india-indiaan ajak si Ryu aja sono!” Sumpah serapah hampir saja dilontarkan oleh Johan. Sebagai Ketua OSIS, tengsin, dong, kalau ketahuan ngomong kasar. Wibawa dan karismanya bisa hancur seketika. “Sialan.” Kaki Johannes mulai pegal. Fisiknya memang lebih kuat daripada Jovanka, tetapi adik kembarnya itu lebih gesit. Tubuhnya yang ramping membuatnya mudah menyelip di antara kepadatan murid yang menghambur keluar dari kelas, saling berlomba menyerbu kantin. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh Jovanka, dan menyulitkan Johannes karena sulit untuk melihat Jovan di tengah lautan para zombie yang kelaparan. “Cewek itu lagi!” Aziel mengepalkan tangannya dan menatap ke arah Jovanka yang sedang berlari menuju ke arahnya. “Biar saya yang urus dia.” Aziel membuka pintu ruangan, dan langsung melesat menghampiri Jovanka. Kepala Sekolah tidak sempat mencegah Aziel, dan hanya bisa berdo’a akan keselamatan cowok itu. “Uwaaaa!” Kolam ikan besar di tengah taman sekolah menghentikan laju Jovanka. Kakinya berusaha untuk mengerem, tetapi karena saking cepatnya ia berlari, Jovanka tidak bisa mengontrol tubuhnya. Badannya condong ke depan, kepalanya hampir mencium ikan koi yang sedang mengambil oksigen di permukaan. “Eits! Hup!” Dengan gesit Jovanka memutar tubuhnya hingga jatuh ke samping. Pantatnya mendarat di rerumputan samping kolam. “Fiuhh! Hampir aja! Masa first kiss gue sama ikan monyong!” Johannes melihat Jovanka duduk di pinggir kolam setelah berhasil menerobos kerumunan. “Heh! Kena lu sekarang.” Terlalu kepedean itu tidak baik. Karena prasangka akan berbalik menyerang. Begitulah yang dialami oleh Johannes. Jovanka yang sedang memulihkan rasa terkejutnya, seketika merinding dengan aura dingin dan mencekam yang datang dari arah belakang. “Sial! Abang!” Kedua kaki cewek bak boneka itu langsung melompat bangkit. “Diam di sana! Lu gak bisa lari ke mana-mana lagi!” Teriakan macam emak-emak mengamuk karena tupperware yang dihilangkan sang anak, terdengar menggelegar sampai membuat orang sekitar menoleh. “Idih! Siapa juga yang mau nurut! Bilang sama ikan, Jovanka yang imut gemesin cantik membahenol menolak untuk—Uwahhh!” Sebuah sepatu melayang tepat ke arah Jovanka. Beruntung cewek itu refleks menghindar, sedangkan sepatu yang kehilangan sasarannya terjatuh ke dalam kolam. Ikan-ikan koi serentak berenang menjauh dengan panik. “Woy! Dah gila lu ya!” Johannes hanya menyeringai miring sambil menatap Jovanka. Sebelah kakinya hanya memakai kaus kaki, tetapi ia tidak terlihat terganggu sama sekali. “Beneran dan kesurupan dia.” Buru-buru Jovanka melepas sepatunya lalu melempar ke arah Johannes. Tentu saja sama seperti Jovanka, dengan mudah cowok itu berlari zig-zag untuk menghindari serangan balasan dari sang adik. “Sialan! Dia jago.” Jarak antara mereka semakin dekat. Jovanka semakin panik. Pasalnya, kolam yang berada di taman itu sangat besar. Jika Jovanka berlari memutari kolam, sudah pasti Johannes akan mudah menyusulnya. “Argh! Bodo amat!” Detik selanjutnya Johannes terpana melihat sang adik kembar bertindak gila. Bagaimana tidak? Jovanka melompat ke atas air terjun buatan di tengah kolam. Cewek itu memanjat cepat sampai puncak, lalu memeletkan lidah pada Johannes sebelum ia kembali meloncat turun ke sisi seberang. Hanya ada satu hal yang melintas di benak Johannes saat ini. “Sejak kapan adek gue jadi titisan monyet?” *** Di sisi lain, Aziel tengah bersembunyi di balik pilar koridor kelas. Ia berencana untuk membuat Jovanka tersandung dengan kakinya. Semakin dekat jarak di antara mereka, Aziel tidak bisa menahan tawanya. Suara cekikikan tertahan lolos dari bibirnya, membuat siswi yang sedang membaca buku di kelas dekat Aziel bersembunyi, bergidik ngeri. “S-suara apa itu? Kunti?” Siswi tersebut langsung terbirit-b***t keluar kelas, tidak menyadari bahwa Aziel-lah sumber dari suara itu. “Sebentar lagi ... ayo mendekat ... ayo ... sedikit lagi ....” Aziel menjulurkan kakinya sepanjang mungkin dari balik pilar, menunggu Jovanka datang. Cewek itu masih berlari kencang, pandangannya lurus ke depan. Ia tidak menghiraukan kanan dan kiri karena terlalu fokus memperhatikan jalan. “Udahan woy! Gue dah capek!” teriak Jovanka frustasi. Kakaknya masih semangat mengejarnya, sedangkan dia sendiri sudah mulai ngos-ngosan. Pandangan Jovanka tiba-tiba tertuju pada koridor kelas. Di ujung, terdapat jalan kecil yang mengarah ke kebun belakang sekolah. Jovanka menyeringai puas, merasa hebat dengan idenya. Tanpa Jovanka tahu, di balik pilar koridor kelas sebelah ujung, tersembunyi Aziel yang sedang mengamatinya dan bersiap untuk menjebaknya. Alhasil, ketika Jovanka berbelok di ujung koridor, ia tersandung oleh kaki Aziel yang terulur. “Uwaaaaa!” “Pffft—Eh? Aakkhh!” Gubrak! Jebakan Aziel berhasil. Jovanka tersandung dan terjatuh, terjerembap ke tanah. Namun, anehnya Jovanka tidak merasakan sakit sedikit pun. Alih-alih sakit dan perih karena jatuh, Jovanka malah merasa bahwa bibirnya membentur sesuatu yang hangat, lembut, dan kenyal. Hal yang sama juga dialami oleh Aziel. Matanya melotot sempurna, dan tubuhnya terkapar di tanah. Tadi, ketika ia tertawa melihat Jovanka terjatuh, tanpa disangka tangan kanannya tertarik oleh Jovanka yang sedang menggapai mencari pegangan. Aziel tidak sempat bereaksi apa pun ketika tubuhnya terjatuh ke tanah sebelum Jovanka. Tubuh gadis itu otomatis menindih dirinya dengan suara gedebuk keras. “Ukh!” Sikut Jovanka mengenai bahu Aziel, membuat cowok itu mengaduh dengan mulut terbuka. Saat itulah benda kenyal dan lembut, juga hangat menginvasi bibirnya. Bukan hanya itu, setelah beberapa detik berlalu dan Aziel tersadar dari syok, ia bisa merasakan perih di bibir dan rasa seperti karat yang menyentuh ujung lidahnya. “Huwaaaaaa bibir gue berdaraaahh!” Jovanka menutup mulutnya dengan tangan lalu menangis. Tentu saja ia tidak benar-benar mengangis. Tidak ada air mata keluar, hanya suara cempreng yang membahana sampai membuat telinga Aziel berdengung sakit. Baru saja Aziel akan memprotes, Jovanka tiba-tiba menghentikan rengekannya dan memukul d**a Aziel. “Lo apain bibir gue, hah!? Tanggung jawab! Bibir gue udah gak suci lagi! Huwaaaaa! Padahal gue udah simpen kesucian bibir gue buat ayang di masa depan! Ini bukannya dapet ayang, malah dapet anying! Huwaaaa!” Lah? Baru saja Aziel hendak protes, Johannes datang. "Jovan," "HUAAA abang... bibir adik gadismu di kecup! Aku sudah tidak suci lagi, ABANG CEKEK DIA!!" "LAH? Salah saya apa? SITU YANG NUBRUK WOI!! Kurang asem nih bocah!!" Johannes hanya mampu berdesis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD