Pengenalan
Dengan wajah jauh dari dari kata dewasa meski sudah sesukses sekarang, itu sedikit kebanggaan tersendiri bagi seorang Aziel Abraham Kusuma 22 tahun CEO perhotelan dan Resort terbesar di Jakarta dan beberapa kota lainnya.
Kaki panjang, tubuh tegap melangkah memasuki lift dengan kedua tangan berada di saku celana, di sebelahnya ada Haris Bramasta 25 tahun sekretaris sekaligus sahabatnya.
Ting…
Beberapa karyawan menunduk hormat melihat sang presdir tiba dengan selamat. Pria bernama Aziel itu hanya abai tetap melanjutkan langkahnya sebelum ia berbalik sontak menghentikan Haris yang kini melempar tatapan bingung.
"Apalagi?"
Aziel memiringkan kepala, dia juga bingung dengan tingkahnya yang tiba-tiba itu. "Entah, saya juga bingung." ucapnya polos mengangkat bahu kembali berbalik melanjutkan langkah meninggalkan Haris tengah memasang wajah datar.
"Untung bos, kalau bukan sudah saya lempar ke kandang buaya betina sekalian." dengus nya menerima berkas dari karyawan kemudian mengikuti Aziel masuk ke ruangan kebanggaan keluarga Kusuma.
"Beberapa catatan para tamu VVIP baik hotel dan resort ada disana, anda hanya perlu mengeceknya." ucap Haris, meski dia sahabat Aziel dan lebih tua tetapi tau posisinya jika sudah berada di kantor.
Aziel mengangguk. "Berikan pada manajemen untuk tim, semua sudah tercatat di sana." katanya kembali memberikan dokumen lain pada Haris.
"Oyah satu lagi, beberapa berkas dari tim pemasaran ada yang perlu anda tinjau ulang. Dan juga ini… " Haris mencari berkas di meja Aziel lalu menaruhnya di atas berkas pemberiannya tadi. "Catatan dari Resort yang ada di Jogja, bandung dan juga… "
"Kapan kelulusan SMA Kusuma?"
"Hah!?"
Aziel mendongak menopang dagu. "Kapan kelulusan SMA Kusuma?" sekali lagi bertanya dengan kalimat yang sama. "Hanya bosan dengan semua berkas ini jadi pengen melakukan sesuatu yang berbeda biar jauh dari berkas-berkas yang semakin menumpuk." ucapnya lagi membuat Haris menangkap sesuatu di balik omongannya itu.
"Intinya?"
"Katakan pada kepsek saya mau sekolah di sana."
"Muke gile! Situ waras bos?"
"Sialan. Saya serius Haris."
"Saya lebih serius."
Aziel berdecak menyandarkan punggungnya mengetuk-ngetuk jarinya di meja. "Saya cuma mau sedikit lepas dari kejenuhan ini Ris, itu aja." mengubah posisinya. Tangannya bergerak membuka berkas-berkas di meja kerjanya. "Siapa tau mengenang masa remaja bisa sedikit menghibur saya."
Haris menarik kursi lalu duduk. "Gini saya sebagai sahabatmu sekarang berpikir kalau itu gak bener." katanya.
"Why? Apa yang salah sama__"
"Badanmu itu yang jadi masalah. Makanya jangan nge gym mulu kalau mau aneh-aneh. Muka boleh oke, tapi kan__ "
"Bukannya cewek sekarang pada suka kekar-kekar ber—ABS— seperti saya?"
"Telinga saya bocor dengernya."
"Sialan."
"Ck, serius mau masuk sekolah lagi?"
"Kenapa? Gini-gini saya… "
"Serah gak usah muji diri sendiri bisa gak, ngeselin saya dengernya."
"Iri bilang. Pendek sih."
"Heh kelinci berotot, saya dengar ya situ ngomong apa. Dasar kangguru."
Aziel hanya meledek Haris dengan mengikuti pergerakan lelaki itu. Haris memutar bola mata kesal.
"Ck, gini deh pikirkan sebelum melakukannya. Lihat, bukan hanya badan kamu jadi masalah tapi tindik terutama tatto. Mau di hapus?!"
"Ya gak lah, gila kali ya!"
"Ya terus gimana?"
"Kan bisa minta sama Lia buat nutupin semuanya sama make up."
"Niat banget kamu kayaknya,"
Aziel menggaruk-garuk kepalanya mengangguk. "Saya jenuh butuh hiburan, ke club juga ujung-ujungnya artikel bakal aneh-aneh." katanya.
"Aneh gara-gara situ sendiri, ngapain masuk ke hotel bareng… "
"Heh, itu gara-gara anda pergi tanpa pamit kek doi. Ghosting doang bisanya."
"Idih, curhat."
"Ck, pokoknya urus semuanya soal tindik bisa dilepas begitu juga dengan tato." lontar Aziel tak ingin dibantah dengan alasan apapun.
*
*
*
"Ciwiwiw… senyum dong."
Plak!
"Awwh, kamu kok kasar sih mas! Jahat deh kan atit tak berdarah tau ini."
"Diem gak, gue pites juga lu."
"Hehe piss mas bro, nge bakso yuk beb." gadis cantik berwajah bulat namun terlihat manis dengan pipi chubby, jangan lupakan rambut kuda poni dengan pakaian basketnya terlihat begitu… menyebalkan. Apalagi mulutnya yang minta dijahit. Gadis itu tanpa dosa mengalungkan tangannya menarik laki-laki seumuran dengannya bahkan wajah mereka bagai pinang dibelah dua, hanya saja ada ketegasan nampak dalam diri pria itu. Jika bertanya mereka siapa?
Gadis itu Jovanka Lovata Hugo dan kakaknya Johannes Lovata Hugo, sepasang saudara kembar dengan sifat dan tingkah laku yang terbalik.
Jovan si brandal langganan ruang bk gara-gara selalu bikin guru baper, Johan si cuek anak osis pula. Gimana bisa seorang Johan tahan kalau yang berbuat masalah cuma kembarannya dan selalu anak itu.
"Mbak Murti, bakso sama mie ayamnya satu ya jangan di tambahin rasa sayang, kasian abang Jovan gak kuat." lontar Jovanka mengacungkan jempol tersenyum menaik turunkan alisnya pada mbak yang jualan bakso di kantin sekolah.
Dinistain? Udah biasa, jadi kalau ingin aman Johan memilih diam.
"Siap neng geulis."
"Han liat," Jovanka menopang dagu memiringkan kepalanya tersenyum manis. "Kata mbak nya gue geulis pisan." ucapnya ingin mendengar pujian dari sang abang.
"Hem."
Jovanka berdecak kesal meraih sedotan memukul lengan Johan.
"Kali-kali kek muji muka… "
"I know, gue tampan dari lahir."
"Gak denger apa-apa."
Johannes mengangkat bahu tak peduli. Tak lama Bastian dan Andi anggota basket sekaligus teman-teman mereka datang lalu ikut bergabung.
"Gimana sama besok? Lo berdua ikut? Makasih mbak, tau aja lagi lapar." tanya Andi sekaligus berterima kasih pada mbak Murti yang tengah meletakkan mangkuk bakso punya Jovanka.
Pak!!
Bastian berpaling menahan tawanya melihat nasib sang sahabat.
Sebelum Andi menyendok bakso tersebut, Jovanka lebih dulu memukul kepalanya untung Johan sudah paham situasi langsung menarik mangkuk menghindari muka Andi.
"Enak banget hidup lu! Udah disekolahkan gratis sama orang tua sampe mereka harus banting tulang buat kerja, lu cuma pesan bakso doang kagak bisa. Mati aja lu, dasar beban." cecar Jovanka meraih mangkuk miliknya dari Johannes.
Andi hanya pasrah dengan muka terpukul, bukan karena pukulan yang ia terima tapi perkataan sahabatnya ini begitu menusuk-nusuk hatinya hingga berdarah di dalam sana. Belum lagi tepukan-tepukan menyebalkan dari Bastian semakin meremukkan hatinya.
"Mbak, pesan dua lagi." kata Johannes membuat senyum Andi dan Bastian merekah.
"Thank you bro, dirimu terbaik gak kayak onoh." sindir Andi melirik Jovanka.
Street!!
Bayangin aja kucing ketemu anjing imut tapi garang dengan tatapan tajamnya, seperti itulah Jovanka di mata teman-temannya. Andi menciut pelan-pelan memindahkan tempat duduknya ke sebelah Bastian.
"Makin serem."
"Lu sih, makanya jangan mulai."
"Hehe."
Johannes hanya menggeleng melihat mereka. Tangannya merogoh saku mengambil handphone pemberitahuan tentang rapat osis.
"Siapa?" tanya Bastian.
"Rapat osis."
"Oh. Oyah, sekolah sebelah pengen kita tanding dengan syarat yang kalah bakal ngelakuin sesuatu." lontar Bastian mengalihkan Jovanka dari mangkuknya.
"Sesuatu apa? Jangan aneh-aneh, lagian tanding besok diatur sekolah jadi ngapain pakai syarat segala." kata Johannes mendahului Jovanka.
"Tuh deng… "
"Diem lu kunyuk." sela Jovanka, Andi di buat cemberut seketika kembali melanjutkan makannya.
"Jovan." Johannes menegur adiknya.
"Hehe, love you." Jovanka mengecup pipi Johannes lalu beranjak dari duduknya berlalu pergi meninggalkan kedua sahabatnya yang cengo melihat hal itu.
Sementara Johannes diam pasang muka datar. Mau marah adik kesayangannya jadi pasrah bae dah.
***
Jovanka berjalan ke arah lapangan menghentikan langkahnya lalu berjalan mundur melihat seseorang yang ia kenali sedang duduk terisak. Ia menengok ke belakang terus ke samping kanan kiri tak ada siapa-siapa selain para siswa yang sedang terlelap.
"Putus cinta memang sakit bu, ya mau gimana lagi daripada di terusin yang ada situ sendiri yang berjuang kan gak banget. Masa perempuan dibawah? Jatuh dong harga diri ibu sebagai pejuang demokrasi cinta damai, mau ditaruh dimana coba? Eh tapikan perempuan biasanya emang di... uummhhh!!" Jovanka menoleh melihat Johan sedang membungkam mulutnya lalu menariknya pergi sebelum guru kelas 2 mengamuk.
"JOVANKA!!"
Johannes meringis mendengar teriakan sang guru, sedangkan Jovanka hanya cengengesan masih dalam bekapan Johan.
"Lu gak ada bosen-bosen nya ya nyari masalah." Johannes melepas tangannya dari mulut Jovanka. Gadis itu hanya melakukan peregangan otot pada mulutnya.
"Jovanka,"
"Apa sih, dedek dengar kok."
Johannes berkacak pinggang menghela nafas."Poin lu makin banyak, udah kelas…"
"Bas, latihan sekarang!" Jovanka memotong ucapan Johannes dan berlari menghampiri Bastian dan Andi.
"Mentang-mentang adik osis, seenaknya sendiri." celetuk Amanda Haruka salah satu siswa yang memang tidak menyukai Jovan, anehnya dia malah menyukai Johan.
"Bacot." umpat Johannes berlalu pergi meninggalkan Haruka dengan hentakan kaki kesal.
*
*
*
Jam pulang SMA Kusuma sedang berlangsung, Jovanka keluar dengan motor retro miliknya mendahului Johannes.
"Langsung pulang, jangan keluyuran apalagi nongkrong bareng anak-anak sebelah." pesan Johannes di balas hormat oleh Jovan.
"Siap kakanda Johannes, dinda yang imut, cantik, semok ini akan mematuhi perintah kakanda."
Semok mbahmu. Tepos gitu kok.
Percayalah Johannes geli, tangannya terasa gatal ingin mengetuk kening gadis di hadapannya namun diurungkan dengan suatu alasan.
"Ulululu nahan emosi gini nih, gemesin. Dah gue balik luan, paling mampir di toko antik sebelah pom. Bye sayangku emuacchh." Jovanka membawa motornya pelan meninggalkan sekolah.
Johannes melirik jam tangannya, "Sial rapatnya." ia pun kembali memasuki sekolah, sebagai ketua osis banyak yang harus ia kerjakan jadi dia masih harus berada di lingkungan sekolah di jam pulang.
Sementara itu bunyi dentingan lonceng pintu masuk membuat seorang pria tinggi semampai, wajah rupawan bak idol dengan rahang begitu tegas melirik sebentar dan sepintas melihat gadis berseragam SMA masuk setelah itu kembali fokus melihat-lihat barang-barang antik di rak-rak.
"Kakek, pesanan saya gimana udah ada kan? Janji adalah hutang loh kek."
"Dasar pemaksa."
"Hehe. Entar saya bilangin nenek di surga mau,"
"Idih ngancem nya nakutin."
Aziel menggeleng pelan mendengar obrolan mereka. Jarinya memainkan gelang yang melingkar di tangan kanannya. Dia kemari untuk mencari pesanan dari sang kakek yang mengatakan jika pasangan gelang yang ia pakai berupa kalung berbentuk hati ber kunci dengan permata merah delima dan itu harusnya ada disini tapi ternyata tidak ada.
Jadi lebih baik pergi saja, toh yang ia cari nggak ada. Setelah kaki panjang Aziel keluar, kakek pemilik toko mengeluarkan kalung berbentuk hati dengan hiasan merah delima namun ada bentukan kunci disana.
"Ih, bukan ini yang saya mau kakek." Jovanka merengut mendorong pemberian kakek pemilik toko tidak menerima kalung tersebut. Yang dia inginkan itu sebuah kalung beruang yang di hiasi permata biru laut.
"Yang kamu mau tidak ada disini, adanya ini aja. Kalau gak mau ya sudah saya berikan pada orang… "
"Ya udah saya ambil ini."
"Gitu dong, siapa tau kamu dapat jodoh dari kalung ini."
"Tahayul. Tapi kok ini ada kuncinya?"
"Kan kakek bilang siapa tau kamu dapat jodoh dari kalung ini."
"Haish, Jovan serius kakek."
"Saya lebih serius lagi. Udah sana pulang, salam sama orang tuamu, saya mau tutup toko."
"Kok cepet, gak kayak biasanya."
"Cucu sama menantu saya mau datang jadi harus pulang cepat."
"Ah, oke. Ya udah deh, makasih kakek kalungnya. Nanti Johan yang bayar hehe. Bye-bye," Jovanka membawa kotak perhiasan di dalamnya terdapat kalung berkunci itu sementara kakek si pemilik toko tersenyum misterius melihat kepergian gadis itu.