Bab 6. Katakanlah, I’m Not Alone

967 Words
Katakanlah, I’m Not Alone "Makasih, Fras," kata ku saat sudah turun dari mobil dan berdiri tepat di sebelah pintu mobil. "Sama-sama, Ca." Perkataan Fras membuat aku terdiam dengan panggilan yang barusan dirinya lontarkan. Bagaimana bisa dia memanggil namaku dengan sebutan itu. Apa mungkin sedari tadi dia menyimak obrolan kami sewaktu di resto. Tapi biarlah, aku tak peduli. "Apa aku boleh panggil kamu Caca, kaya orang-orang terdekat kamu," pinta Fras. Aku pun mencoba tersenyum dan mengangguk singkat. "Sebaiknya kamu segera pulang, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan," ucapku asal saat menatap langit-langit yang mulai mendung. "Baiklah. Dah, Ca!" Fras yang saat itu melemparkan senyuman indah ke arahku. Aku sengaja tidak menyuruh dirinya mampir terlebih dahulu ke tempat di mana aku tinggal. Bukan tidak sopan atau sekedar basa basi, melainkan aku tidak mau memberikan harapan palsu pada dirinya dengan memberikan peluang lebih, itu saja. Pintaku hanya satu, dia merasa kapok dan enggan bertemu kembali denganku. Entah apapun itu alasannya yang pasti aku tidak ingin dia menemui diriku lagi. Bukan tanpa alasan aku bersikap seperti itu, melainkan hati yang belum siap untuk memulai kisah baru. Kosan khusus perempuan memang sering menjadi senjata ampuh untuk menolak para lelaki yang ingin masuk atau sekedar mampir ke dalamnya, dan terkadang aku juga sering membuat alasan seperti itu agar teman kantor dan sejenisnya tidak main ke tempat ku. Kejam memang, tapi lebih kejam lagi jika aku memberi harapan palsu pada lelaki yang menaruh hatinya. Aku bingung, kenapa Tuhan akhir-akhir ini menguji kesabaran ku dan malah mempertemukan kembali dengan Mas Hanif. Belum lagi, aku di kenalkan dengan lelaki yang nama panggilannya sama dengan mantan kekasih ku, yaitu Fras. Untung saja client dia tadi datang tepat waktu, kalau tidak bisa-bisa dirinya maksa buat nganter aku pulang. Karena memang sebelum itu dia pengen banget buat nganter balik. Sepanjang perjalanan untungnya Fras juga tidak banyak bertanya tentang sosok Mas Hanif. Bukan untuk menyembunyikan kebenaran, hanya saja urusannya akan panjang jika dia banyak bertanya. Gara-gara pertemuan konyol yang direncanakan Arini, hampir saja aku lupa untuk menghubungi Bunda, padahal sedari tadi Bunda memintaku untuk segera menghubungi dirinya. Sesegera mungkin aku mencoba menghubungi bunda saat itu juga, dan tak lama Bunda mengangkat panggilannya. "Assalamualaikum, Ca. Kamu kemana aja, Bunda itu tungguin telepon kamu dari tadi." "Wa'alaikumsalam, Bunda. Iya, maaf, Bun!" jawabku merasa bersalah. "Ca! bunda itu kemarin pengen banget nanya sama kamu, tapi ada Hanif. Kamu itu balikkan lagi bukan sama dia?" tanya Bunda yang membuatku menghela napas berat saat mendengarnya. Kenapa juga bunda bertanya seperti itu. Apa mungkin Bunda berpikir kalau aku dan Mas Hanif memiliki hubungan lagi. Tapi bagaimana bisa bunda berpikir seperti itu. Karena jelas-jelas itu tidak mungkin terjadi. "Bun, kok nanya nya kaya gitu, sih!" "Bunda itu gak akan berpikiran kayak gitu, kalo adik kamu si Rara gak ngomong sama Bunda kalian pulang bareng ke Bandung. Bener begitu, Ca?" Ya ampun, lagi-lagi Rara. Kenapa juga Raina cerita hal yang gak penting sama Bunda perihal itu. "Bunda...! Caca itu nggak balikan lagi sama Mas Hanif. Kalo masalah bisa pulang bareng, itu hanya kebetulan saja." Tegas ku mencoba meluruskan kesalahpahaman. Aku dengar bunda menghela napas panjang saat itu. "Syukurlah, jangan sampai kamu mempermainkan pernikahan. Cerai, nikah, terus cerai lagi. Duh ..., Bunda gak bisa bayangin gimana kata tetangga. Dulu juga sebelum kalian cerai Bunda udah wanti-wanti sama kalian bakalan menyesal apa enggak kedepannya, lalu kamu jawab, tidak. Begitu juga Hanif. Lain kali kali kalo mau nikah kamu pikirkan matang-matang. Jangan sampe nikah, terus cerai lagi. Bikin malu aja." Aku terdiam dengan apa yang dikatakan bunda, mencoba mencerna setiap kata demi kata yang telah dilontarkannya. Tapi kenapa juga Bunda bicara seperti itu. Karena tanpa dirinya sadari perkataannya justru malah menyakiti perasaan ku. Wanita mana yang ingin pernikahan yang gagal. Di satu sisi aku juga bingung harus bicara dan berbuat apa. Bicara juga rasanya percuma karena apa yang aku katakan pasti tidak akan diterima dengan baik. Tapi ucapan Bunda saat itu mampu membuatku merasa jadi orang yang selalu di salahkan. Tak terasa butiran bening malah mengalir di pipi ku begitu saja. Mungkin ini suatu bukti kalau hati ku tak sekuat apa yang orang lain lihat dari luarnya. Karena sejujurnya aku seorang wanita yang teramat rapuh. Aku pun mencoba menarik napas panjang dan menghindar dari perdebatan. "Bun, kalau begitu Caca pamit dulu yah, soalnya Caca belum mandi. Soalnya seharian tadi habis nganter Arini," ucap ku beralasan. "Yasudah, kalau begitu. Assalamualaikum!" "Wa'alaikumsalam, Bun." Aku yang menunggu Bunda untuk memutuskan panggilannya. Jujur aku bingung pada Bunda, bukankah yang sering menuntut diriku segera menikah itu Bunda dulunya. Bahkan dulu saja bunda yang mendesak diriku untuk segera menikah, tanpa mau bertanya terlebih dahulu bagaimana perasaan ku saat itu. Jadi seorang janda tentu bukanlah pilihan, tidak ada wanita yang ingin menyandang status itu. Bahkan sebelumnya saja tidak pernah terbesit dalam pikiran ku, kalo akan menyandang status itu. Aku sadar pernikahan yang terlalu dipaksakan itu tidak akan berjalan baik akhirnya. Satu tahun lebih tidak mudah untukku melewati semua itu sendirian, bahkan saat aku dekat dengan lawan jenis pun terkadang orang sering kali menganggapku w************n, wanita gatel, sekalipun dengan partner kerja tanggapan mereka seakan sinis kepadaku. Menganggapku wanita tidak baik saat bicara berdua dengan kekasih orang, sekalipun yang kami bicarakan adalah urusan bisnis. Bunda, aku ini anak kandung Bunda, bukan orang lain. Aku lelah saat engkau membandingkan diriku dengan anak yang lainnya, aku juga lelah memiliki alur hidup yang rumit seperti ini. Bahkan bully an itu datang menghampiriku bergantian. Apa Bunda tau dan merasakan kesedihan anakmu ini. Hampir setiap hari aku menangis, tanpa seseorang yang mengerti keadaan ku. Sekali saja memeluk diriku dan bertanya bagaimana keadaanku saat ini. I was born as an unlucky child. Aku ingin engkau bertanya. "Anakku apa kamu kuat? apa kamu baik-baik saja? apa kamu butuh ibu. Apa yang kamu rasakan saat ini, masa-masa sulit itu, Bunda akan tetap bersamamu, menguatkan dirimu."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD