3. Kehilangan bayi kembar

1886 Words
Seminggu sudah Fani tak sadarkan diri sejak insiden yang menimpanya. Fani bahkan kehilangan i kembar buah hatinya yang baru berumur hampir enam belas minggu. Kejadian mengenaskan yang menimpa Fani, membuat Bu Sundari dan pak Karim stres, bahkan bu Sundari harus dirawat empat hari di rumah sakit yang sama, karena serangan jantung. Hampir tak percaya mendengar ucapan dokter mengenai kondisi Fani saat dilarikan ke UGD. Flashback " Maaf, keluarga ibu Fani," panggil dokter memanggil. Bu Sundari dan Pak Karim masuk ke dalam ruangan yang tertutup tirai, sedangkan Munos berada di balik tirai dengan wajah pucat pasi dengan aksesoris lebam biru di pipi kanan dan kirinya, papanya telah memukulinya di rumah sakit, hingga babak bekur, jika tidak dipisahkan security tentu Munos bisa mati saat itu juga. "Saya sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi dengan anak ibu, yang jelas lebam bekas pukulan di tubuhnya cukup banyak, bibirnya juga harus dijahit, organ intimnya juga terlihat ..." dokter menarik nafas tak sanggup melanjutkan penjelasannya. "Seseorang atau mungkin suaminya memasukinya dengan kasar, sehingga terlihat tidak baik dan mengkhawatirkan, lebih tepatnya seperti korban pemerkosaan," jelas dokter lagi. "Dan maaf Pak, Bu... sekarang kami harus mengangkat janin kembar di dalam rahimnya, karena mereka sudah tidak ada." Dokter mengatakan dengan sangat halus penuh kepasrahan. DEG! Bu Sundari sudah menebak, bahwa cucunya pasti tak akan selamat mengingat cara Fani terguling dari lantai atas. Namun penjelasan dokter mengenai kondisi Fani membuat Bu Sundari dan Pak Karim lebih terkejut. Betapa kejamnya anak lelakinya. Bu Sundari memegang dadanya yang nyeri, lalu kemudian pingsan di pangkuan suaminya. Munos masuk ke dalam tirai tanpa melihat kondisi Fani yang terkapar tak sadarkan diri, Munos bergegas mengangkat ibunya, untuk berbaring di ranjang UGD tepat di sebelah Fani. Flash back off Bu Sundari sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit kemarin, namun bu Sundari bersikeras menunggui Fani hari ini, di kamar perawatan VVIP. Wajah Fani sudah terlihat segar, namun Fani masih belum sadarkan diri. "Ma, sebaiknya kita pulang ya hari ini," ucap Pak Karim sambil mengelus punggung istrinya. "Tidak Pa, Mama mau menunggui Fani, siapa tahu Fani sadar, Pa." Bu Sundari menatap wajah suaminya dengan tatapan memelas. "Biar saya yang di sini Ma," sela Munos. Bu Sundari memandang anak lelaki satu-satunya itu dengan tatapan garang. "Mana mungkin mama meninggalkan wanita ini dengan seorang pembunuh sepertimu!" bentak bu Sundari kepada Munos. "Ma...Munoskan sudah minta maaf," ucap Munos lirih. "Kamu pikir dengan minta maaf bisa mengembalikan cucuku!" ucapnya ketus. "Ya Allah Munos, apa yang harus kami katakan pada keluarganya, bahkan kita belum bertemu orang tuanya, jangan sampai mereka lihat kondisi anaknya yang mengenaskan sampai seperti ini, kamu benar-benar tega Nak, apa yang ada di kepalamu saat itu," isak Bu Sundari lagi. "Bersyukur Fani selamat, kalau tidak, ya Allah, kamu udah ada di penjara sekarang, kamu denger ga?!" bentak Bu Sundari dengan emosi berapi-api. "Udah Ma, tenang, nanti dadanya sakit lagi," bujuk Pak Karim menenangkan Bu Sundari. Munos masih terdiam, membenarkan semua yang diucapkan mamanya. Jauh di lubuk hatinya, Munos juga merasakan penyesalan, bagaimana bisa dia tega berbuat keji kepada wanita yang sedang mengandung anaknya, keturunan keluarga Karim yang dinanti-nanti orang tuanya. Namun semua sudah terlanjur, sekarang bagaimana dia harus bersikap pada Fani saat istrinya itu sadar. Yah, tentu dia akan minta maaf dan mungkin akan memperbaiki sikapnya, jika tidak bisa bersikap sebagai suami, paling tidak dia akan mencoba bersikap sebagai seorang kakak bagi Fani. Entah Fani mau memaafkannya atau tidak, yang jelas segala usaha harus dicoba. Atau mungkin jika Fani ingin berpisah itu malah lebih baik. Sore hari, Bu Sundari kembali ke rumah bersama suaminya. Sedangkan Munos masih berada di hotel menyelesaikan beberapa urusan. Di rumah sakit sudah ada Bik Ina yang menunggui Fani. Bik Ina merasa sangat sedih dengan kondisi Fani, Bik Ina adalah salah satu saksi mata yang mendengar dan melihat kejadian mengenaskan seminggu yang lalu. Bahkan Bik Ina selama tiga hari tidak bisa memejamkan mata bila mengingatnya. "Cepat sembuh ya, Non Fani. Bibik kangen, nanti bibik masakin ikan acar bumbu kuning, atau mungkin Non Fani lagi pengen makan sambel goreng kentang hati sapi? Atau mau asinan buah? Bibik janji akan masakin semua masakan kesukaan Non Fani, tapi non bangun dulu, Non harus bangun, jangan menyerah," bisik Bik Ina tepat di telinga Fani sambil meneteskan air mata. Air bening itu mengalir dari sudut mata Fani yang masih terlelap. Bik Ina terkesiap lalu tersenyum sambil mengusap air mata Fani yang menetes. " Mana yang sakit, Non? Bilang sama bibik," ucap bik Ina lagi sambil terisak pilu, tangannya memegang jemari Fani. Adzan magrib berkumandang, Bik Ina mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat magrib, setelah sholat, Bik Ina mengaji di samping ranjang Fani, dengan suara merdu bik Ina melantunkan ayat suci Alqur' an, berharap nona mudanya bisa mendengarnya dan cepat sadar kembali. Cekleekk! Pintu kamar perawatan dibuka, tampak Munos dengan wajah lelah masuk sambil menenteng ponselnya. "Eh..tuan Muda," sapa Bik Ina sambil menyunggingkan senyum yang dipaksakan. "Bagaimana bik, apakah istri saya sudah ada respon?" tanya Munos pada bik Ina. "Istri katanya, hhuuhh..biasanya juga nyonya muda dipanggil bodoh, lambat, jalang, najis, udah hampir mati baru disebut istri!" umpat Bik Ina dalam hati merasa kesal dan benci dengan tuan mudanya. "Biik...ehh si bibik malah ngelamun," panggil Munos lagi saat terlihat bik Ina yang cuma bengong. "Ehh..iya tuan, belum ada respon, masih ya begini tidur terus," jawab Bik Ina, tak memberi tahu kalau tadi Fani meneteskan air mata. "Ya udah, tolong belikan saya kopi di kafe bawah ya, kopi s**u," perintah Munos. Bik Ina mengangguk ragu, dia takut meninggalkan Fani dan Munos berduaan saja di kamar, khawatir Munos berbuat nekat dengan mencekek Fani misalnya. Bik Ina bergidik sendiri lalu berusaha menghapus pikiran buruknya dengan cepat mengerjakan perintah tuannya. Sepeninggal Bik Ina, Munos mendekati ranjang Fani dan duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah Fani yang seperti tertidur pulas. "Saya tahu saya tidak pantas dimaafkan, tapi ini benar-benar saya ucapkan dari hati s-saya menyesal Fan, tolong maafkan saya, maafkan....tolong segera sadar, agar saya bisa memperbaiki semuanya," bisik Munos di telinga Fani. "Saya hanya meminta, setelah kamu sadar, tolong jangan perkarakan ini ke polisi, mau ya?" bisiknya lagi. Bik Ina berlari menuju kamar perawatan Fani, hatinya gelisah meninggalkan Fani dan Munos hanya berduaan. Untunglah saat membuka pintu, Munos tengah duduk di sofa sambil bermain ponsel, dan Fani terlihat masih pulas. Bik Ina menyerahkan kopi pesanan Munos, lalu duduk kembali di kursi samping ranjang Fani. "Mmm..tuan tidak pulang?" tanyanya ragu. "Iya..nanti saya pulang, masih ingin di sini dulu," jawab Munos sambil menyesap kopinya. **** "Sayang, kalau masih pusing ga usah ikut ke rumah sakit," ucap Bambang pada istrinya yang saat ini sedang bersiap-siap menjenguk Fani. "Ga papa Mas, aku mau ikut, jujur aku sedih Fani dan Munos kehilangan calon bayi kembarnya," tatapan Risti sayu. Yah, kabar yang beredar adalah menantu keluarga Karim mengalami keguguran setelah terjatuh dari tangga, namun Bambang dan Fani masih kurang percaya dengan kabar yang beredar. "Ya sudah, Mas tunggu di bawah ya, jangan kelamaan dandan, kalau terlalu cantik dandannya, bisa-bisa semua pasien rumah sakit nanti jatuh cinta sama kamu, Yang," goda Bambang sambil mengecup pipi istrinya. "Siap bos," jawab Risti membalas kecupan Bambang. Mereka sudah sampai di ruang perawatan Fani, setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Bambang membuka pintu, lalu masuk dengan perlahan, diikuti oleh Risti. Bambang dan Risti menatap miris kondisi Fani, masih terlihat bekas jahitan di pinggir bibir kanan dan kirinya. "Yang, emang kalau jatuh dari tangga, bibir bisa robek gitu ya?" bisik Bambang pada Risti. Risti menggeleng keras. "Kayaknya ga mungkin Mas, tapi ga tau juga," sahut Risti sembari mengangkat bahu. Bambang berjalan mendekati ranjang Fani. "Fani...ini aku Bambang dan istriku datang," bisik Bambang. "Maaf kami baru datang sekarang, karena kami baru aja tahu kabarnya," ucap Bambang lagi. "Pules amat tidurnya Fan, ayo bangun, semangat." Bambang berbisik dengan nada gemetar menahan kesedihan melihat kondisi Fani. "Fani...ini saya mba Risti, ayo bangun! Pasti cape tiduran terus begini." Risti ikut membisiki kalimat semangat pada Fani. "Ikhlasin si kembar ya, mudah-mudahan Allah segera beri gantinya," ucap Risti lagi. Kemudian Bambang dan Risti terdiam. Risti memandang ke arah jendela, suasana pusat kota Jakarta yang begitu ramai dan indah dapat dipandang dari jendela kamar perawatan Fani. "To..lo..ng...sa..ya...," lirih Fani membuka mata. Bambang menoleh kaget, begitu juga Risti. " Fani...." Panggil Bambang lega melihat Fani sudah sadar. Risti dan Bambang mendekat lalu mereka menyunggingkan senyum pada Fani. "Tolong saya Bang...sa...saya..ti..tidak m-maau matii, tolooong," lirihnya terbata-bata. "Mu..munos..yang melakukannya, dia mendorong saya, tolong saya ingin ... pergi ... dari Munos," ucapnya lagi dengan lemas. Risti dan Bambang terperanjat. " Ya Allah Fani..." mata Risti ikut berkaca-kaca dengan degub jantung yang tidak karuan. " Maafkan kami, tidak pernah tahu keadaan kamu yang sebenarnya," ucap Risti sedih. "Baaang..toloong..toloong saya." Fani terisak memohon bantuan Bambang. Risti dan Bambang saling pandang. " Baiklah Fan, tapi kami tidak bisa bantu banyak." jawab Risti sambil mengambil uang di dalam dompet, lalu menuliskan sesuatu di secarik kertas. " Pergilah ke alamat ini, saya rasa untuk sementara kamu aman di situ." Risti menyerahkan uang dua juta rupiah dari dalam dompetnya serta secarik kertas berisi alamat seseorang. "Terimakasih Mbak, Bambang. Yolong s-sembunyikan ini semua da..dari Muu..nos, dan keluarganya." Nafasnya terengah. Fani menyembunyikan uang dan alamat tadi di bawah bantalnya. Cekleekk! Suara pintu terbuka. Risti dan Bambang kaget. Ternyata Bik Ina baru saja datang dari kantin bawah, membeli makan siang. "Ehh ada Non Risti dan Tuan Bambang," sapa Bik Ina ramah. Fani sudah berpura-pura tidur kembali. "Mari duduk." Bik Ina mempersilakan Bambang dan Risti duduk di sofa. Setelah tidak terlalu lama berbasa-basi menanyakan kondisi Fani, akhirnya Risti dan Bambang pamit. "Kamu yakin, Yang, Bik Ina ga denger obrolan kita tadi." Bambang sedikit khawatir, saat ini mereka sudah dalam perjalanan kembali ke rumah, karena hari sabtu, Risti dan Bambang tidak ke kantor. "Kayaknya sih engga Mas, yah mudah-mudahan aja, jujur aku sedih banget liat kondisi Fani, aku masih ga percaya Munos sengaja mendorongnya," ucap Risti sedih. **** "Inaa.....Inaa...!" teriak Bu Sundari memanggil Bik Ina. Namun tak ada jawaban, sedangkan ranjang pesakitan Fani sudah kosong. Mendengar mamanya yang berteriak, Munos dan Pak Karim yang jalannya belakangan, langsung berlari masuk ke kamar Fani. Betapa kagetnya mereka tak ada siapapun di dalamnya. " Eh Nyonya sudah datang." suara bik Ina dari ujung pintu. "Astaghfirulloh, Non Fani ke mana? Tadi masih ada," ujar Bik Ina dengan gemetar. " Kamu dari mana Ina, kok bisa ga tau Fani ke mana? Memangnya menantu saya sudah sadar?" tanya Bu Sundari histeris. "Belum nyonya, dari kemarin juga kondisinya masih tertidur pulas," jawab Bik Ina takut. " Ma..ini sepertinya surat dari Fani." ucap pak Karim, lalu memberikan secarik kertas pada istrinya. [Mama, papa saya pamit, mohon maaf tidak bisa mempertahankan cucu mama dan papa, tolong jangan cari saya, saya baik-baik saja. Anggap mama dan papa tidak pernah punya menantu miskin, jelek, bodoh dan lambat seperti saya. Terimakasih untuk kebaikan, cinta dan kasih sayang mama dan papa pada saya, mungkin saya tidak bisa membalasnya, hanya Allah yang akan membalasnya. Pak Munos sudah saya maafkan, saya tidak akan lapor polisi, semua kesakitan saya sudah terkubur bersama anak kita. semoga kelak bapak menemukan pasangan yang saling mencintai. Bik Ina terimakasih sudah menjaga saya dan sering membacakan ayat Alqur'an di telinga saya,itulah yang membuat kesadaran saya kembali. I love you bik. I love you ma..pa.. Selamat tinggal Pak Munos Karim, semoga kita tak pernah bertemu lagi. Kita sudah selesai.] **** Suka dengan ceritanya? Jangan lupa tab love dan simpan di library kalian ya. Terima kasih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD